Bulan Bung Karno, Ayo Warisi Api Juang Soekarno dengan Gemar Baca Buku!

562

Bulan Juni setiap tahunnya disebut sebagai Bulan Bung Karno. Hal ini lantaran mengandung tanggal-tanggal penting yang berkaitan dengan hidup Sang Proklamator. Diantaranya Juni disebut sebagai Bulan Bung Karno, pertama karena kelahiran Pancasila pada 1 Juni, yang diambil pada pidato Bung Karno di Sidang BPUPKI Pertama. Kedua, 6 Juni 1901 Bung Karno lahir, dan pada 21 Juni 1970 Bung Karno wafat.

Merayakan Bulan Bung Karno, perlu. Kenapa? Karena, tak beda mengenang, mewarisi api juangnya sekaligus merayakan perjuangan Bung Karno untuk Indonesia. Soekarno, tak hanya sekedar tokoh milik bangsa. Tapi, juga mendunia, melalui perjalanan dan perjuangannya mengharumkan nama Indonesia.   

Salah satu yang penting diwarisi generasi saat ini yakni menghidupkan kembali kegemaran membaca seperti yang biasa dilakukan Bung Karno. Seperti diketahui, Bung Karno merupakan seorang kutu buku. Kegemarannya membaca buku bermula saat mondok di kediaman HOS Tjokroaminoto, menempuh pendidikan HBS (setara SMA) di Surabaya. Dalam otobiografi berjudul "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia", dia mengaku diberikan banyak buku milik Tjokroaminoto yang dianggapnya begitu berharga.

Bung Karno juga memliki kebiasaan melewati waktunya di perpustakaan di Surabaya hanya untuk membaca buku.

“Buku-buku menjadi temanku. Dengan dikelilingi oleh kesadaranku sendiri aku memperoleh kompensasi untuk mengimbangi diskriminasi dan keputusasaan yang terdapat di luar. Dalam dunia kerohanian dan dunia yang lebih kekal inilah aku mencari kesenanganku. Dan di dalam itulah aku dapat hidup dan sedikit bergembira,” demikian tulis Soekarno, dilansir dari laman Historia.

Buku sudah menjadi bagian dari keseharian Soekarno. Dia pun mulai aktif menuangkan gagasan-gagasan tentang kesetaraan dan kemerdekaan. Melalui buku, Soekarno muda sudah memperkaya keilmuannya dan berhasil menguasai berbagai ilmu dari ideologi, politik, sosial dan ekonomi. Dia juga mampu menguasai banyak bahasa. Bahkan memiliki koleksi buku berbahasa Belanda, Jerman, Inggris, dan Prancis.

Menurutnya, dia telah menulis 500 karangan lebih di majalah Oetoesan Hindia milik Sarekat Islam, dengan menggunakan nama pena “Bima”, seorang tokoh pewayangan yang artinya “Prajurit Besar”.

Sepanjang hayatnya, Bung Karno tak berhenti menuliskan buah pikirannya. Banyak karya tulisan lahir dari tangannya. Di antaranya "Lahirnya Pancasila" (1945), "Sarinah" (1951), dan yang paling terkenal kumpulan tulisan dalam buku "Di Bawah Bendera Revolusi" Jilid 1 (1959) dan Jilid 2 (1960). Dalam buku-buku tersebut Soekarno selalu memberikan rujukan nama pengarang beserta judul bukunya.

Pada karya "Sarinah", contohnya, Bung Karno mencatat sumber kutipan hingga 224 orang rujukan. Hal ini menjadi bukti kegilaan Bung Karno dalam membaca.

Dalam rangka mengenang perjuangan Bung Karno dan meneruskan api perjuangannya, berikut ulasan singkat biografi dan pemikiran Bung Karno.

Bung Karno lahir pada 6 Juni 1901 tepatnya di Jalan Peneleh Gang Pandean IV, Nomor 40, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, dan wafat pada 21 Juni 1970 di Jakarta. Bung Karno adalah anak dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai. Karena sakit-sakitan, Soekarno kecil dirawat kakaknya bernama Raden Hardjodikromo di Tulungagung. Soekarno kembali tinggal dengan bapak dan ibunya pada 1909 di Mojokerto.

Dalam penuturannya kepada Cindy Adams, penulis otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, Bung Karno menceritakan saat-saat kelahirannya itu. Bung Karno mengatakan, ketika ia masih anak-anak, ibunya Ida Ayu Nyoman Rai, pernah bercerita kepadanya tentang saat-saat kelahirannya.

“Engkau sedang memandangi fajar nak. Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing,” demikian Ida Ayu berkata kepada Bung Karno kecil.

Sang Proklamator itu pertama kali menempuh pendidikan di Tulungagung, sebelum dipindahkan ke Mojokerto ikut orang tuanya. Semula, dia belajar di Eerste Inlandse School dan kemudian pindah ke Europeesche Lagere School (ELS) bulan Juni 1911.

Di Kediaman Cokroaminoto, Bung Karno muda mulai banyak belajar politik dan banyak berlatih pidato. Di sanalah Bung Karno mulai kenal dan berinteraksi dengan tokoh-tokoh hebat, seperti Dr. Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara. Merekalah pemimpin organisasi National Indische Partij saat itu. Setelah lulus dari HBS, Bung Karno melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini ITB) dan mengambil jurusan Teknik sipil dan lulus tahun 1926.

(Penulis : Wakil Ketua Badiklat PDI Perjuangan Kota Bogor, Rudi Girsang SE.Ak, M.Ak)    

SHARE

KOMENTAR