Bung Karno, Sang Proklamator, dan Pimred Koran yang Tajam Menulis

2363

Semasa masih remaja, pada usia belasan tahun, sekitar tahun 1920-an, dunia jurnalistik sudah didalami Sukarno. Sejumlah karya tulisannya diterbitkan melalui koran Sarekat Islam, Oetoesan Hindia. Saat itu dia menggunakan nama pena dari tokoh pewayangan, Bima.

Dilansir dari berdikarionline, tulisan Rudi Hartono, pengurus Komite Pimpinan Pusat– Partai Rakyat Demokratik (PRD), di koran itu Sukarno menulis sekitar 500-an artikel maupun komentar. Tulisannya, tajam menohok kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme. “..hancurkan segera kapitalisme yang dibantu budaknya imperialisme. Dengan kekuatan Islam, Insyah Allah, itu segera dilaksanakan,” tulis Sukarno di salah satu artikelnya.

Selain melalui Oetoesan Hindia, Sukarno juga sempat menjadi redaksi di koran Bendera Islam. Belakangan, koran ini berganti nama menjadi Fadjar Asia, yang terbit tiga kali dalam seminggu. Koran ini mengambil semboyan: “Melawan Imperialisme Barat! Berjuang untuk Kebebasan Bangsa dan Tanah Air.”

Pada tahun 1926, Sukarno mendirikan kelompok studi bernama Algemene Studie Club. Kelompok studi ini punya koran bernama Soeloeh Indonesia Muda. Koran ini dibiayai oleh Soekarno sendiri dari honorariumnya sebagai arsitek. Di koran inilah Sukarno menerbitkan risalahnya yang sangat terkenal, Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Di artikel itu Sukarno mengeritik penyakit ‘berpandangan sempit’ dan sektarian di kalangan pergerakan anti-kolonial di Indonesia.

Setahun kemudian, Sukarno mendirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Bagi Soekarno, PNI adalah alat politik untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Karena itu, PNI mengambil jalan radikal dan non-koperasi (menolak kerjasama dengan pihak kolonial).

Tahun 1928, PNI menerbitkan koran resminya, Persatoean Indonesia. Untuk memulai koran ini, Sukarno mengumpulkan donasi sebesar 500 gulden dari cabang-cabang PNI. Persatoen Indonesia ini menjadi corong PNI untuk berbicara kepada massa-marhaen.

Sukarno dan PNI mengidamkan sebuah pergerakan massa yang sadar akan alasan dan tujuan perjuangannya. Karena itu, untuk menyuluhi kesadaran massa dari onbewust (tidak sadar) menjadi bewust (sadar), peranan koran menjadi vital. “Massa aksi zonder kursus-kursus, brosur-brosur, dan surat kabar, adalah massa aksi yang tidak hidup dan tidak bernyawa,” kata Sukarno.

Beberapa tulisan Sukarno di Persatoean Indonesia: “Melihat Kemuka…”, “Tempo jang tak Dapat Dikira-kirakan Habisnja”, “Indonesianisme dan pan Asiatisme”, “Kearah Persatuan, Menjambut Tulisan H.A. Salim”, “Pidato Ir Sukarno pada tanggal 15 September 1929″, “Kewajiban Kaum Intelektual terhadap kepada Pergerakan Rakjat”, dan “Soal Pergerakan Wanita”.

Sayang, seiring dengan penangkapan Sukarno dan tokoh-tokoh PNI, koran Persatoean Indonesia juga kena getahnya. Koran sempat berhenti terbit. Namun, atas keinginan Sukarno, koran ini terbit kembali dengan meminjam nama ‘Nyonya Soekarno’ alias Inggit Garnasih. Proses penerbitannya dikerjakan oleh Mr Sartono dan kawan-kawan.

Keluar dari penjara, Sukarno tidak berhenti menulis. Dengan penanya, ia kembali menghunjam kekuasaan kolonial melalui artikel berjudul “Sendi dan Azas Pergerakan Kemerdekaan Bangsa Indonesia”. Alhasil, karena gerah dengan tajamnya pena Sukarno, penguasa kolonial membredel koran Persatoean Indonesia.

Tahun 1931, sebagian bekas anggota PNI mendirikan partai baru: Partai Indonesia (Partindo). Azas dan garis politik Partindo tidak berbeda jauh dengan PNI. Begitu keluar dari penjara, Sukarno segera bergabung dengan Partindo ini.

Di Partindo, pada tahun 1932, Sukarno menerbitkan koran baru bernama Fikiran Ra’jat. Di koran ini Sukarno bertindak sebagai pemimpin redaksi-nya. Terbit sekali seminggu, koran politik ini mengambil slogan: Kaoem Marhaen! Inilah Madjallah Kamoe!

Sukarno menyebut Fikiran Ra’jat sebagai ‘madjallah politik popoeler”. Alasannya, koran ini memang diperuntukkan untuk pembaca luas di kalangan marhaen. Terutama mereka yang hanya bisa membaca dan menulis. Tidak mengherankan, bahasa yang dipergunakan Fikiran Ra’jat lebih sederhana dan mudah dipahami oleh rakyat jelata.

Edisi pertama Fikiran Ra’jat terbit 15 Juni 1932. Di koran ini, Sukarno banyak menorehkan penananya. Antara lain: “Maklumat Bung Karno kepada Kaum Marhaen Indonesia”, “Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi”, “Socio Nationalisme dan Socio Demokrasi”, “Orang Indonesia Tjukup Nafkahnja Sebenggl Sehari”, “Kapitalisme Bangsa Sendiri”, “Djawaban Saja pada Sdr. M. Hatta”, “Sekali lagi, Bukan Banjak Bitjara, Bekerdjalah, tetapi Banjak Bitjara, Banjak Bekerdja”, “Memperingati 50 Tahun Wafatnya Karl Marx”, “Reform Actie dan Doels Actie”, “Bolehkah Sarekat Sekerdja Berpolitik?”, “Marhaen dan Marhaeni, Satu Massa Actie”, “Membesarkan Fikiran Rakjat”, Azas-azas Perdjuangan Taktik”, dan “Marhaen dan Proletar”.

Tak hanya itu, untuk memperkuat pemahaman rakyat akan isu yang diketengahkan sekaligus menerjang musuh politiknya, Sukarno juga suka membuat karikatur. Hampir setiap edisi Fikiran Ra’jat disertai gambar karikatur. Dan pembuatnya adalah Soekarno sendiri. Ia sering memakai nama samaran: Soemini.

Selain Fikiran Ra’jat, Sukarno juga menerbitkan kembali Soeloeh Indonesia Muda. Namun, berbeda dengan Fikiran Ra’jat, koran Soeloeh Indonesia Moeda lebih diperuntukkan sebagai koran teori. Sasarannya lebih diprioritaskan ke kalangan kaum terpelajar dan pemimpin pergerakan.

Yang menarik adalah gaya menulis Sukarno. Banyak yang menyebutnya sebagai penulis pamflet. Setiap artikelnya berisi pembongkaran masalah, akar masalah, dan bagaimana hal itu diselesaikan. Tak hanya itu, ia juga selalu terang-terangkan menunjukkan keberpihakan politik, yakni pemihakan terhadap kaum marhaen dan mereka yang tertindas. Kemudian, di hampir semua tulisannya, Sukarno menghajar kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme sebagai akar yang menciptakan ‘kepincangan’ di dalam masyarakat.

Ia juga menggunakan gaya bahasa populer. Ketika menggunakan suatu istilah ilmiah, entah ekonomi, politik, maupun sosial-budaya, ia akan menjelaskan artinya. Dalam tulisan-tulisannya, Sukarno gemar menggunakan perumpamaan-perumpamaan untuk membimbing daya imajinasi pembacanya agar mengerti apa yang dimaksudkannya.

Tulisan-tulisan Sukarno juga kaya dengan data dan literatur. Hal ini, tentu saja, untuk memperkuat dasar analisis dan kesimpulan-kesimpulannya. Selain itu, banyak tulisan Sukarno yang mengandung polemik, baik terhadap penguasa kolonial maupun dengan sesama kaum pergerakan. Dengan sesama kaum pergerakan, Sukarno kerap berpolemik dengan Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, dan tokoh-tokoh komunis.

Ada dua goresan pena Sukarno yang sangat terkenal dan paling mengguncang tatanan kolonial, yakni Indonesia Menggugat dan Mencapai Indonesia Merdeka. Indonesia Menggugat ditulis oleh Soekarno di dalam ruang pengap dan lembab penjara Bantjeuy, Bandung, yang diperuntukkan sebagai pidato pembelaan di hadapan pengadilan kolonial.

Sedangkan Mencapai Indonesia Merdeka ditulis oleh Sukarno di tahun 1933, di sebuah tempat bernama Pangalengan, Bandung. Artikel panjang ini berisi 10 bagian (chapter), yang mengupas asal-usul imperialisme di Indonesia dan bagaimana melawannya. Penutup artikel itu membahas mengenai gagasan Indonesia Merdeka. Tak pelak lagi, penguasa kolonial ketar-ketir dengan artikel itu. Alhasil, Soekarno kembali ditangkap dan dibuang ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Begitulah, karena goresan penanya yang tajam, Sukarno berulangkali keluar-masuk penjara kolonial. (sumber: berdikarionline)

SHARE

KOMENTAR