Enak Zamanku To? Opone, Korupsinya Yo?

2146

Jika ada yang merasa kangen dengan era Orde Baru, atau terbius dengan propaganda ‘Enak Zamanku To?’, sungguh tak masuk akal. Kenapa?, sebab era Orde Baru, adalah masanya korupsi, kolusi dan nepotisme menggurita. Soeharto yang tak ingin lengser dari jabatan presiden, dan 32 tahun berkuasa dengan ‘pemilu akal-akalan telah merusak demokrasi.

Mengutip data dari BBC, selama berkuasa Soeharto berhasil ‘menyulap’ sekitar USD35 miliar atau senilai Rp500 triliun selama rezim berkuasa. Bahkan, versi Transparency International, Soeharto disebut sebagai pemimpin paling korup di lembar sejarah.

Dilasnir dari Historia, era Soeharto menguap kasus dugaan korupsi Pertamina. Bermula dari investasi modalnya ke sejumlah bidang usaha di luar minyak dan gas. Investasi itu merentang dari hotel, restoran, biro perjalanan, sampai persewaan pesawat terbang di luar negeri pada 1969. Investasi ini mengeluarkan biaya sebesar 3,5 miliar rupiah dan 600 ribu dolar AS. Tapi yang tercatat hanya 153 juta rupiah dan 132 ribu dolar AS.

Harian Indonesia Raya mengendus ketidakberesan kebijakan investasi dan ketiadaan pengawasan keuangan di Pertamina, termasuk hasil kontrak Pertamina dengan perusahaan minyak asing. Indonesia Raya melaporkan hal-hal janggal di Pertamina secara berkala sejak November 1969. Misalnya laporan pada 22 dan 24 November 1969. Laporan tersebut menyorot posisi dominan Letjen TNI Ibnu Sutowo sebagai Direktur Pertamina dan ketiadaan inventarisasi kekayaan Pertamina.

Kasus dugaan korupsi ini kian kentara ketika Komisi Empat —komisi ad hoc yang bertugas memberikan saran dan kajian terhadap kebijaksanaan pemberantasan korupsi pemerintah— mengeluarkan laporan tentang Pertamina pada Juli 1970.

“Kompleksnya kegiatan-kegiatan perminyakan seperti eksplorasi, eksploitasi pengolahan, pemurnian, pengangkutan dan pemasaran, juga dalam hubungannya dengan berpuluh-puluh perusahaan asing, memberikan lapangan yang sangat luas bagi kesempatan korupsi,” kata Wilopo, ketua Komisi Empat dalam Ekspres, 26 Juli 1970.

Bulog, juga tak lepas dari persoalan korupsi. Untuk memastikan semua tugas itu aman, rezim Orde Baru menempatkan kalangan tentara di posisi pucuk Bulog. Tetapi kebijakan ini menimbulkan sejumlah masalah.

Para pemimpin Bulog terlibat pengadaan, penjualan, dan pendistribusian beras secara gelap. Laporan Komisi Empat pada Juli 1970 menyebut bahwa pengeluaran lebih besar daripada penerimaan. “Untuk tahun 1970/1971 lembaga tersebut merencanakan pengadaan beras dengan iaya Rp69,571 miliar. Tapi jumlah itu hanya akan kembali Rp56,7miliar,” tulis Komisi Empat seperti dikutip Ekspres.

Indonesia Raya menduga ketidakberesan di dalam Bulog telah bermula sejak 1966. Ketidakberesan itu mencakup sisi kelembagaan, manajemen, kepemimpinan, dan tindak penyelewengan. Terkait tindak penyelewengan, Indonesia Raya mengumbar cerita seputar pembelian beras rusak oleh okum pegawai Bulog. Jumlahnya mencapai 200 ton beras.

Sejumlah nama muncul di Indonesia Raya terkait dugaan kasus korupsi dalam Bulog. Nama-nama itu tak hanya berasal dari internal Bulog, melainkan juga dari rekanannya seperti Go Swie Kie dan Budiadji. Masing-masing berlatar belakang pengusaha.

Go Swie Kie dan Budiadji diduga terlibat dalam penggelapan beras di Jakarta dan Kalimantan. Selain penggelapan beras, Go Swie Kie diduga pula bermain dalam pembelian karung goni tanpa tender.

TPK tak mampu mengendus kasus korupsi dalam Bulog. Harian Pedoman 23 November 1972 mencatat ketidaberesan dalam Bulog sebagai “korupsi yang sulit ditembus”. Hal ini mengulang apa yang diungkap oleh Mochtar Lubis, pemimpin redaksi Indonesia Raya, pada 13 Februari 1969.

Berbeda dari kasus dugaan korupsi di Pertamina dan Bulog, TPK kelihatan begitu bertaring dalam mengusut kasus dugaan korupsi di PN Telekomunikasi. TPK menghitung negara rugi sebesar satu miliar rupiah akibat penyelewengan direksi PN Telekomunikasi.

Ketua TPK Sugih Arto menceritakan kronologis dugaan penyelewengan direksi PN Telekomunikasi dalam harian Merdeka, 30 April 1970. Semua bermula dari pembelian rumah dinas di Bandung dan tanah di Jawa Tengah.

Sejumlah direksi PN Telekomunikasi memanipulasi harga pembelian rumah. Harga beli rumah menjadi lebih mahal di laporan keuangan ketimbang harga beli di lapangan. Sedangkan untuk memanipulasi pembelian tanah, mereka menulis luas tanah yang dibeli lebih luas daripada luas tanah yang sesungguhnya dibeli.

Dilansir dari Tempo.com, kasus korupsi lainnya adalah mobnas atau mobil nasional. Pada 1996, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1996 yang menginstruksikan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman modal agar secepatnya mewujudkan industri mobil nasional.

Bersamaan dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 2 Tahun 1996 itu, ditunjuklah PT Timor Putra Nasional (TPN) sebagai pionir mobil nasional. TPN adalah perusahaan milik Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto. Dengan ditunjuknya TPN sebagai pionir mobil nasional, perusahaan itu dibebaskan dari bea masuk dan pajak lainnya dengan syarat TPN harus menggunakan komponen lokal sebesar 20 persen pada tahun pertama, 40 persen pada tahun kedua, dan 60 persen pada tahun berikutnya.

Demi melancarkan proyek mobnas Timor, bukannya membangun pabrik perakitan dan industri komponen untuk menunjang mobnas, Presiden Soeharto malah mengeluarkan kembali Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1996. Inti dari keppres itu adalah TPN tak perlu melalui tahapan pemenuhan komponen lokal itu dan boleh mengimpor mobil secara utuh atau completely built up. Dengan begitu, TPN memperoleh fasilitas antara lain pembebasan bea masuk impor mobil.

Akibat meng-anakemas-kan TPN inilah, Indonesia kemudian digugat oleh Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), karena dianggap antara lain melanggar pasal memberikan perlakuan dikriminatif terhadap perusahaan lainnya.

Upaya mengendus harta Soeharto juga sempat dilakukan dua lembaga raksasa yakni Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia. Mereka pernah meluncurkan berkas setebal 48 halaman berjudul Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative atau Prakarsa Pengembalian Aset Curian.

Dalam berkas di halaman 11 dilansir sepuluh pemimpin politik paling korup di dunia, dan mantan presiden Soeharto bertengger di urutan pertama. Berdasarkan data itu total hasil curiannya mencapai US$ 15-35 miliar atau sekitar Rp 135-315 triliun pada kurs tahun 2007.

Adapun pemerintah mengusut harta Soeharto dimulai setelah ia lengser. Pada 1 September 1998, Kejaksaan Agung menemukan sejumlah penyelewengan pada yayasan yang dikelola Soeharto. Soeharto saat itu membantah tudingan tersebut. Muncul di televisi, Soeharto berkata, "Saya tidak punya uang satu sen pun di luar negeri."

Korupsi di era Soeharto tak lepas dari keputusan presiden yang dikeluarkan saat itu. Menurut Hamid Chalid, salah satu pelopor pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, mengatakan ada puluhan keppres yang menyimpang di era Orde Baru. Hal itu terungkap dari hasil kajian yang dilakukan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)

 

 

(Sumber : Historia/Tempo.co/ Nesto)

SHARE

KOMENTAR