Mengenang Sang Penjahit Bendera Pusaka, Fatmawati

1117

Fatmawati, istri presiden pertama Indonesia, Soekarno, merupakan figur yang menginspirasi bagi sejarah kemerdekaan bangsa. Keikutsertaan Fatmawati dalam membela Tanah Air sudah dirintis sejak remaja. Lingkungan dan keluarga turut mendukung perkembangan jiwa patriot dalam diri Fatmawati.

Wanita yang bernama asli Fatimah tersebut lahir di Bengkulu, 5 Februari 1923. Ia meninggal di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 14 Mei 1980 di usia 57 tahun. Ia adalah istri dari Presiden Indonesia pertama Soekarno, dan juga pernah menjadi Ibu Negara Indonesia pertama dari tahun 1945 hingga tahun 1967 dan merupakan istri ke-3 dari Presiden Soekarno.

Ia dikenal jasanya dalam menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih yang turut dikibarkan pada upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945. Dibalik itu ternyata ada kisah menarik yang jarang diketahui banyak orang saat Fatmawati merajut sang saka Merah Putih. Dikutip dari Kompas.com, jelang kemerdekaan, Fatmawati mendapatkan tugas untuk menjahit bendera Merah Putih. Sejumlah kutipan Fatmawati yang cukup heroik ditulis oleh Bondan Winarno (2003) dalam bukunya Berkibarlah Benderaku.

“Berulang kali saya menumpahkan air mata di atas bendera yang sedang saya jahit itu,” kenang Fatmawati, istri Proklamator Republik Indonesia, Soekarno.

Ungkapan tersebut dikarenakan Fatmawati sedang hamil tua dan sudah bulannya untuk melahirkan Guntur Soekarnoputra, putra sulung pasangan Bung Karno dan Fatmawati.

“Menjelang kelahiran Guntur, ketika usia kandungan telah mencukupi bulannya, saya paksakan diri menjahit bendera Merah Putih,” kata Fatmawati.

Ia menghabiskan waktunya menjahit bendera besar itu di ruang makan dengan kondisi fisik yang cukup rentan selama dua hari.

“Jadi saya jahit berangsur-angsur dengan mesin jahit Singer yang dijalankan dengan tangan saja. Sebab, dokter melarang saya menggunakan kaki untuk menggerakkan mesin jahit,” katanya.

Bendera Merah Putih berukuran 2 x 3 meter itu akan dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Bendera yang dijahit Fatmawati itu menjadi Bendera Pusaka hingga saat ini.

Tetesan air mata Fatmawati merupakan ungkapan keharuannya atas perjuangan panjang rakyat Indonesia dan para pemimpinnya meraih kemerdekaan secara mandiri hingga tahap akhir. Perjuangannya menjahit dua kain katun halus itu menunjukkan sumbangsih seorang perempuan Indonesia yang ikut memperjuangkan nasib bangsanya. Fatmawati telah mengisi kepingan besar perjuangan kemerdekaan Indonesia

Bendera yang telah dijahit dengan susah payah dan tetesan air mata itu kini menjadi Bendera Pusaka sekaligus simbol nasionalisme yang selalu dibentangkan oleh masyarakat Indonesia hingga saat ini dan ke depannya.

Di pusat Kota Bengkulu, peninggalan-peninggalan bersejarah milik Fatmawati dapat ditemui di kawasan Simpang Lima Ratu Samban. Dilansir dari MediaIndonesia.com, disana, di Jalan Fatmawati Nomor 10, berdiri rumah bersejarah milik Ibu Negara Indonesia pertama.

Rumah tersebut merupakan rumah panggung dengan ukuran tidak terlalu besar. Dinding rumah terbuat dari kayu bercat cokelat dengan kaki-kaki penyangga yang terbuat dari beton bercat putih. Di halaman rumah, berdiri patung Fatmawati. Letaknya strategis di pinggir jalan, bersisian dengan masjid sehingga tampak sangat indah dan asri.

Setiap hari, pintu dan jendela rumah bersejarah itu terbuka lebar. Hal itu menandakan siapa saja boleh datang berkunjung tanpa membayar.Di dalam ruangan, koleksi-koleksi pribadi dan perabot rumah milik Fatmawati tertata rapi, seperti lemari, ranjang besi, meja hias, dan kursi yang terawat baik. Di bagian dinding terpajang foto-foto kenangan sejak masa kecil hingga dewasa, termasuk foto kenangan bersama Soekarno.

Sumber: Kompas.com/ MediaIndonesia.com

SHARE

KOMENTAR