Saat Rezim Soeharto dan Anteknya Berkuasa, ini Cerita Pilu Hari-hari Akhir Bung Karno

1438
Soeharto dan Soekarno

Pada akhir kepemimpinannya, Proklamator RI, Presiden Soekarno melewati masa tragis. Dikisahkan dari buku berjudul "Maulwi Saelan, Penjaga Terakhir Soekarno" terbitan Penerbit Buku Kompas 2014 dan ditulis oleh Asvi Warman Adam, Bonnie Triyana, Hendri F. Isnaeni, M.F. Mukti, pada suatu pagi di Istana Merdeka, Soekarno minta sarapan roti bakar seperti biasanya.

Namun, langsung dijawab oleh pelayan, “tidak ada roti.” Dikutip dari intisari.grid.id, Soekarno yang saat itu tengah lapar, kembali minta dibawakan makanan. “Kalau tidak ada roti, saya minta pisang,” kata Bung Karno. Kembali pelayan menjawab, itu pun tidak ada.” Karena lapar, Soekarno meminta, “Nasi dengan kecap saja saya mau.”

Lagi-lagi pelayan menjawab, “Nasinya tidak ada.” Akhirnya, Soekarno berangkat ke Bogor untuk mendapatkan sarapan di sana. Maulwi Saelan, mantan ajudan dan kepala protokol pengamanan presiden juga menceritakan penjelasan Soekarno bahwa dia tidak ingin melawan kesewenang-wenangan terhadap dirinya.

“Biarlah aku yang hancur asal bangsaku tetap bersatu,” kata Bung Karno.

Di saat lain, setelah menjemput dan mengantar Mayjen Soeharto berbicara empat mata dengan Presiden Soekarno di Istana, Maulwi mendengar kalimat atasannya itu, ”Saelan, biarlah nanti sejarah yang mencatat, Soekarno apa Soeharto yang benar.”

Maulwi Saelan tidak pernah paham maksud sebenarnya kalimat itu. Ketika kekuasaan beralih, Maulwi Saelan ditangkap dan berkeliling dari penjara ke penjara.

Dari Rumah Tahanan Militer Budi Utomo ke Penjara Salemba, pindah ke Lembaga Pemasyarakatan Nirbaya di Jakarta Timur. Sampai suatu siang di tahun 1972, alias lima tahun setelah ditangkap, dia diperintah untuk keluar dari sel.

Ternyata itu hari pembebasannya. Tanpa pengadilan, tanpa sidang, namun dia harus mencari surat keterangan dari Polisi Militer agar tidak dicap PKI. “Sudah, begitu saja,” kenangnya.

Disingkirkan Soeharto  

Akhir kepemimpinan Bung Karno, setelah Jenderal Soeharto perlahan-lahan mengambil alih panggung. Ketika itu, usai Sukarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966. Esoknya Soeharto pada 18 Maret menangkap 15 menteri loyalis Sukarno. Lalu pada 27 Maret, Sukarno dengan sangat terpaksa mengumumkan kabinet baru bentukan Soeharto.

Dikutip dari Tirto.id, setelah segala kewenangannya dipereteli, Sukarno diperlakukan tak lebih sebagai tukang teken dokumen. Selanjutnya Soeharto-lah yang pegang kendali dan mulai menjalankan kebijakan-kebijakan yang sebagian besar bertolak belakang dengan kebijakan Sukarno. Ia bahkan dibatasi berbicara di hadapan publik. "

'Saya diam dalam seribu bahasa,' katanya ketika melihat kekuasaannya mulai berangsur-angsur diambil dari tangannya, sedangkan ia sangat ingin menyatakan pendapatnya," tulis Legge (hlm. 464). Sukarno bukannya tak berbuat apa-apa. Pada 22 Juni 1966, di hadapan MPRS, ia menyampaikan pidato pertanggungjawaban selama jadi presiden dan soal Peristiwa G30S. Pidato berjudul Nawaksara itu ditolak MPRS. Sukarno lalu menyampaikan Pelengkap Nawaksara pada 10 Januari 1967 yang lagi-lagi ditolak MPRS.

Pada 12 Maret 1967 MPRS mengumumkan secara resmi pencabutan mandat Sukarno sebagai presiden dan kemudian menunjuk Soeharto sebagai pejabat presiden. Tak lagi punya kuasa, dunia Sukarno seperti dijungkirbalikkan. Atas perintah Soeharto, Sukarno dan keluarganya diultimatum untuk angkat kaki dari Istana Merdeka dan Istana Bogor sebelum 17 Agustus 1967.

Dulu, setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada Desember 1949, Sukarno masuk istana dengan seluruh kebesarannya sebagai pemimpin. Kini, ia keluar dari istana dengan hanya berkaos oblong dan celana piyama. Segala kekayaan yang ia bawa adalah bendera merah putih, beberapa botol minuman ringan, kue-kue, dan obat-obatan.

Statusnya saat itu, adalah tahanan Orde Baru. Mulanya ia ditahan di rumahnya di daerah Batu Tulis, Bogor, lalu dipindahkan ke Wisma Yasoo, Jakarta pada 1969. Penahanan itu rupanya berefek buruk bagi kesehatan Bung Besar. Ini karena tim dokter kepresidenan sebelumnya, yang tahu detail soal kondisi medis Bung Karno, telah dibubarkan. Padahal Sukarno diketahui mengidap sakit ginjal parah. Ginjal kanannya sudah mati, sedangkan ginjal kiri hanya berfungsi 25 persen. Lain itu, ia juga mengidap sakit jantung dan darah tinggi.

Sejak ditahan, diagnosis baru muncul: rematik dan gejala katarak. Paling tragis dari Sukarno adalah kenyataan bahwa ia harus menghadapi semua itu nyaris sendirian. Ia dijaga demikian ketat dan diputus dari dunia luar. Bahkan anak-anak dan istrinya harus dapat ijin khusus untuk sekadar menemuinya—itu pun dengan waktu terbatas.

“Sampai akhirnya Bung Karno terkena depresi. Setiap hari hanya duduk sambil termenung. Malah kadang-kadang ngomong sendirian. Memorinya berubah, kesehatannya terus-menerus semakin merosot,” kenang Ketua Tim Dokter Kepresidenan yang merawat Bung Karno, Mahar Mardjono, sebagaimana dikutip Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (2011: 80).

Pada 6 Juni 1970 Sukarno merayakan ulang tahunnya yang ke-69. Kelima anaknya dari Fatmawati serta Hartini dan dua anaknya, Bayu dan Taufan, hadir di Wisma Yasoo di hari bahagia itu. Tak ada karangan bunga, ucapan selamat, atau hadiah-hadiah sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Yang ada hanyalah Sukarno yang semakin ringkih digerogoti penyakit dan depresi. Tak ada yang menyangka itu adalah ulang tahun terakhir Sukarno.

Pada 11 Juni Sukarno dilarikan ke RSPAD Gatot Subroto karena kondisi tubuhnya memburuk. “Sukarno terbaring lemah di sebuah ruangan yang terletak di ujung rumah sakit, bercat kelabu. Untuk mencapai kamar itu harus melalui beberapa koridor yang dijaga militer dengan persenjataan lengkap,” tulis Peter Kasenda dalam Hari-hari Terakhir Sukarno (2013: 230).

Di saat-saat kritis itu, datanglah dua tamu yang barangkali bisa memberi sedikit kelegaan di hati Sukarno. Tamu pertama adalah sahabat lamanya, Mohammad Hatta, yang datang menjenguk pada 19 Juni. Dua proklamator yang pecah kongsi sedari 1956 itu akhirnya bertemu dalam momen yang amat menyentuh. Sejak mereka berpisah, Hatta menjadi salah satu kritikus Sukarno yang paling vokal.

"Hatta dan aku tak pernah berada dalam getaran gelombang yang sama," tutur Sukarno dalam autobiografinya. Tapi perbedaan jalan politik tak melunturkan persahabatan mereka. Bagaimanapun, dua orang itu pernah menghadapi masa sulit bersama-sama. “Hatta, kau di sini?” kata Sukarno terkejut melihat kedatangan Hatta.

“Ya, bagaimana keadaanmu, No?” Keduanya lantas berpegangan. Tak ada kata-kata lain yang terucap di antara keduanya. Sukarno terisak laiknya anak kecil. “No...” Hatta yang berusaha tegar luluh juga akhirnya. Ia ikut menitikkan air mata. Dan hanya tangis itulah yang mengisi pertemuan terakhir dwitunggal itu. “Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang,” tulis Meutia Hatta, putri Hatta, sebagaimana dikutip Peter (hlm. 231).

Pada 21 Juni 1970, Sukarno tutup usia. Lantas apakah perlakuan kasar rezim Orba saat itu terhadapnya berakhir? Tidak. Permintaan Fatmawati agar Sukarno disemayamkan di rumahnya ditolak rezim Soeharto. Sukarno harus disemayamkan di Wisma Yasoo.

Permohonan Dewi dan Hartini untuk memakamkannya di Batu Tulis setali tiga uang. Soeharto hanya memperkenankan Sukarno dimakamkan di Blitar.

“Bung Karno sewaktu hidupnya sangat mencintai ibunya. Beliau sangat menghormatinya. Kalau beliau bepergian jauh, ke mana pun beliau sungkem dahulu, meminta doa restu kepada ibunya. [...] Melihat kebiasaan Bung Karno begitu, maka saya tetapkan alangkah baiknya kalau Proklamator itu dimakamkan di dekat makam ibunya di Blitar,” demikian dalih Soeharto.

(Sumber : Intisari.grid.id/ Tirto.id/Nesto)  

 

SHARE

KOMENTAR