Sepenggal Kisah Marhaen dan Bung Karno

3876
illustrasi

Nama Marhaen menjadi legenda dalam sejarah politik Indonesia. Soekarno pun menciptakan suatu ideologi bernama Marhaenisme. Marhaenisme merupakan paham yang menentang penindasan kepada rakyat kecil. Ki Marhaen sendiri sudah wafat pada tahun 1943. Makam Ki Marhaen berada di Jalan Batununggal Kampung Cipagalo, RT 04/03, Kelurahan Mengger, Kecamatan Bandung Kidul, Kota Bandung.

Ki Marhaen merupakan seorang petani gurem di pinggiran Bandung Selatan. Dialah yang menjadi inspirasi ideologi bagi Presiden pertama RI, Soekarno. Bahkan, Soekarno mendengungkan nama Marhaen dalam pidato pembelaan Indonesia Menggugat pada Agustus 1930 dikutip dari Pikiran Rakyat 2 Februari 2014.

Saat ini, makam ini berada di paling pojok di pinggir pemukiman padat penduduk. Untuk mencapai ke lokasi makam ini harus melewati gang kecil padat penduduk yang berkelok-kelok dan gang ini hanya bisa dilewati oleh dua motor. Tetapi ada dua jalur untuk mencapai lokasi ini, pertama dari arah Jalan Bojongsoang menuju Mengger dan bisa juga melewati Perumahan Batununggal Indah.

Di depan makam tersebut terdapat plakat yang berada di sebelah kanan pintu bahwa pemugaran pertama kali dilakukan oleh Yayasan Saluyu Bandung Badan Hukum Nomor 91 Tahun 1980. Untuk peresmiannya sendiri dilakukan pada 5 April 1981 dan ditandangani oleh Ketua Yayasan Saluyu Bandung yaitu Drs. A. Soetarman Soemawiganda.

Makam Ki Marhaen berada di dalam sebuah bangunan yang dipagar dan dikunci. Di dalamnya tidak hanya ada makam Ki Marhaen, disampingnya ada makam Istrinya, dan Mang Damin yang dahulunya mengetahui seluk beluk Ki Marhaen.

Marhaen adalah seorang petani sederhana yang ditemui Soekarno secara tidak sengaja. Soekarno menemukan seorang petani berbaju lusuh yang sedang bekerja di sawah tahun 1920-an di Bandung. Hal ini dikisahkan dalam buku Biografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams.

Saat itu Soekarno bolos kuliah dan berkeliling Bandung dengan sepedanya. Di sebuah sawah dengan luas kurang dari sepertiga hektar, seorang petani sibuk bekerja. Soekarno kemudian menyapa petani itu.

"Siapa pemilik sawah ini?" tanya Soekarno.

"Saya juragan. Ini tanah turun temurun. Diwariskan dari orangtua," jawab petani itu.

Lalu bajak dan cangkul itu, apa punyamu?

"Iya, gan."

Lalu hasilnya untuk siapa?

"Untuk saya gan, hasilnya hanya cukup untuk hidup sehari-hari," kata petani itu.

"Kemudian aku menanyakan nama petani muda itu. Dia menyebut namanya, Marhaen. Marhaen adalah nama umum seperti Smith dan Jones. Di saat itu cahaya ilham melintas di otakku. Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti dia. Semenjak saat itu kunamakan rakyatku, Marhaen," kata Soekarno.

Para petani berusaha di atas tanah yang sangat kecil. mereka korban feodalisme, diperas para bangsawan selama berabad-abad. Rakyat dipaksa mengikuti pola ekonomi imperialisme dimana hanya bisa memenuhi kebutuhannya sekadar untuk makan.

"Seorang Marhaen adalah orang yang memiliki alat-alat yang sedikit, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri. Bangsa kita yang puluhan juta jiwa, yang sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang bekerja untuk dia. Tidak ada pengisapan tenaga seorang oleh orang lain. Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam praktik," kata Soekarno.

"Perkataan Marhaenisme adalah lambang dari penemuan kembali kepribadian nasional kami," kata Soekarno lantang. (Dikutip dari berbagai sumber/nesto)

SHARE

KOMENTAR