Diduga Jadi Makelar Cawalkot, Komisioner KPU Kota Bogor Terancam Sanksi Pemecatan

86
Komisioner Bawaslu Kota Bogor Supriantona Siburian

Aartreya - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Bogor tetapkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bogor Dede Juhendi langgar kode etik. Dede dinilai terbukti menjadi perantara atau makelas salah satu Calon Walikota (Cawalkot) Bogor dalam mengurus dokumen persyaratan pendaftaran di Pilkada.

Kasus ini menarik perhatian publik karena melibatkan transaksi keuangan sebesar Rp30 juta yang disebut sebagai ‘titipan uang’. Komisioner Bawaslu Kota Bogor Supriantona Siburian mengatakan, penetapan ini berdasarkan hasil pleno dan pemeriksaan.

Supriantona menjelaskan, kasus ini bermula pada Juli 2024 ketika Dede Juhendi bertemu dengan Dr. Raendi Rayendra, yang menanyakan proses pencalonan sebagai Wali Kota Bogor. Dalam pertemuan informal tersebut, Dede menyebutkan beberapa persyaratan administrasi untuk pencalonan, termasuk peluang melalui partai politik atau jalur perseorangan. Selanjutnya, Dr. Rayendra mengutus seorang bernama Ian untuk mengurus administrasi terkait, termasuk perubahan nama di pengadilan.

"Saya sampaikan ini adalah keputusan dari dugaan pelanggaran Pilkada karena adanya transaksi uang antara Komisioner KPU dengan salah satu calon," katanya kepada wartawan, Jumat (6/11/2024).

Dia melanjutkan, untuk saksi yang diperiksa berjumlah empat orang.

Mulai dari Ketua KPU, komisioner, dan dua orang dari pihak calon walikota dengan transaksi uangnya sendiri yakni sebesar Rp 30 juta. Uang tersebut adalah uang pembayaran dari salah satu calon wali kota kepada seorang advokat yang membantu mengurusi berkas pendaftaran.

"Transaksi yang diterima itu adalah uang titipan untuk pembayaran jasa advokat tersebut," ujarnya.

Ian, sambungnya, meminta agar nama resmi “Dr. Raendi Rayendra” diubah menjadi “Dr. Rayendra.” Untuk proses ini, Dede merekomendasikan seorang advokat, yang kemudian diberi kuasa hukum untuk menangani perubahan nama di Pengadilan Negeri Bogor.

Pada 16 Agustus 2024, Ian mentransfer uang sebesar Rp30 juta ke rekening Dede Juhendi sebagai “titipan” untuk membayar jasa pengacara. Uang tersebut, berdasarkan klarifikasi Dede, segera diserahkan kepada advokat Bayu Noviandi untuk mengurus administrasi, termasuk pembuatan dokumen yang diperlukan.

Supriantona menyebutkan bahwa dalam pemeriksaan Bawaslu, bukti transfer, chat, dan kuitansi telah dikumpulkan. Namun, pengadilan menolak permohonan perubahan nama yang diajukan oleh advokat terkait. Tidak ditemukan indikasi bahwa Dede menerima komisi dari transaksi ini.

“Dari hasil pleno dan konsultasi dengan Sentra Gakkumdu, tidak ada unsur pidana dalam kasus ini. Namun, kami menganggap tindakan saudara Dede Juhendi sebagai pelanggaran kode etik karena dia tidak seharusnya menjadi perantara atau mediator dalam aktivitas politik, terlebih saat belum masuk tahapan resmi pendaftaran calon wali kota,” ujar Supriantona.

Bawaslu memastikan tidak ada pelanggaran pidana yang terjadi dalam kasus ini.

"Tidak adanya niatan untuk melakukan perbuatan yang memuluskan si calon walikota. Namun kami menilai ini adalah dugaan pelanggaran kode etik yang akan dilimpahkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)," jelasnya.

Menurutnya pelanggaran kode etik ini terjadi karena Dede terbukti menjadi mediator ataupun perantara si calon walikota untuk bisa melakukan aktivitas politik.

Padahal Dede seharusnya mengarahkannya ke desk Pemilu yang bertugas menangani kendala terkait pendaftaran di Pilkada. Bawaslu Kota Bogor memutuskan untuk melimpahkan kasus ini ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

“Sebagai seorang pejabat penyelenggara pemilu, saudara Dede tidak boleh menerima uang transfer dari pihak lain untuk urusan administrasi seperti ini,” tambah Supriantona.

Sanksi yang paling berat dari DKPP adalah pemecatan. Proses ini akan dilanjutkan ke DKPP setelah laporan diserahkan ke Bawaslu Provinsi. Diperkirakan proses registrasi di DKPP akan dilakukan dalam beberapa hari ke depan.

"Jadi keputusan kami adalah Dede Juhendi melanggar kode etik karena beliau itu pejabat tidak boleh menerima transfer dari orang lain. Jadi saran kita melanggar dan akan diantarkan ke DKPP lewat Bawaslu provinsi," tuntasnya. (Nesto)  

 

SHARE

KOMENTAR