Mengenang 26 Tahun Kerusuhan Berdarah Era Rezim Orde Baru dan Lahirnya Reformasi

94
Kerusuhan 13 Mei 1998 di Jakarta. Foto - Quora

Aartreya – Pada Mei 2024 ini, boleh dibilang ‘Bulan Lahirnya Reformasi’. Karena, ada peristiwa besar yang dicatat sejarah dimulai dari kerusuhan berdarah hingga terjungkalnya rezim Orde Baru dan Soeharto. Cerita kelam berdarah ini bermula saat gelaran demo mahasiswa yang berbuntut empat mahasiswa Trisakti meninggal dunia tertembak saat aksi di dalam kampus pada 12 Mei 1998 dan menyusul kerusuhan yang disulut amarah massa.

Mahasiswa yang meninggal adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Peristiwa berdarah itu menjadi catatan pelanggaran HAM berat di Tanah Air. Bermula dari Jakarta, kerusuhan semakin luas ke kota-kota lain diantaranya Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Amuk massa juga pecah dan terjadi aksi pembakaran serta penjarahan di Kota Solo. Tak hanya kerugian harta, sejumlah nyawa pun ikut terenggut dalam kejadian.

Mahasiswa di beberapa daerah pun turun ke jalan. Unjuk rasa besar-besaran pun terjadi di Jakarta menyuarakan reformasi dan menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya yang dipicu krisis ekonomi pecah di sejumlah kota.

Pada 14 Mei 1998, 26 tahun lalu, kerusuhan di Jakarta mencapai puncaknya. Saat itu, kondisi di Ibu Kota sangat mencekam. Mengutip okezone.com, dari data dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Tragedi Mei ‘98, para pelaku kerusuhan saat itu terdiri atas dua golongan, yaitu massa pasif (pendatang) yang karena diprovokasi berubah menjadi massa aktif, dan provokator yang umumnya bukan dari wilayah setempat.

Para provokator tersebut secara fisik tampak terlatih. Mereka berpakaian seadanya, tidak ikut menjarah dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar. Para provokator juga membawa sejumlah barang untuk keperluan merusak dan membakar, seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan, bom molotov, dan sebagainya.

Titik picu kerusuhan di Jakarta terletak di wilayah Jakarta Barat, tepatnya di seputar Universitas Trisakti pada 13 Mei 1998. Sementara pada 14 Mei 1998, kerusuhan meluas dengan awalan titik waktu hampir bersamaan, yakni rentang pukul 08.00 sampai 10.00 WIB.

Jika dilihat dari urutan waktu, ada semacam aksi serentak. TGPF berpendapat, faktor pemicu kasus kerusuhan di Jakarta ini ialah terbunuhnya empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998.

Akibat kerusuhan massa ini, sejumlah bangunan seperti toko, swalayan, atau rumah rusak dan terbakar. Harta benda berupa mobil, sepeda motor, barang dagangan, dan barang-barang lain juga dijarah, serta ada pula yang dibakar massa. Sejumlah warga juga terpaksa kehilangan pekerjaan karena gedung atau tempat kerjanya dirusak, dijarah, dan dibakar massa. Ironisnya, mereka yang menjadi korban hanyalah masyarakat biasa.

Hingga kini, sulit diketahui angka pasti jumlah korban dan kerugian dalam kerusuhan tersebut. Untuk kerusuhan di Jakarta saja, sejumlah lembaga memiliki data yang simpang siur satu sama lain. Polda Metro Jaya mencatat sebanyak 451 orang tewas akibat kerusuhan ini.

Jumlah tersebut berbeda dengan data yang diperoleh Kodam Jaya yang mencatat 463 meninggal dan Pemprov DKI Jakarta yang merilis ada 288 korban yang tewas. Data tersebut belum termasuk aksi pelecehan seksual dan perkosaan yang dialami sejumlah perempuan etnis tertentu.

Dari hasil verifikasi saksi dan korban, TGPF menemukan fakta bahwa koordinasi antara satuan keamanan kurang mamadai, adanya keterlambatan antisipasi, adanya aparat keamanan di berbagai tempat tertentu membiarkan kerusuhan terjadi, ditemukan adanya di beberapa wilayah clash (bentrokan) antarpasukan, dan adanya kesimpangsiuran penerapan perintah dari masing-masing satuan pelaksana.

Di beberapa tempat juga didapatkan bukti jasa-jasa keamanan yang dikomersilkan. TGPF pun menemukan adanya kesenjangan persepsi antara masyarakat dan aparat keamanan. Masyarakat beranggapan bahwa di beberapa lokasi telah terjadi vakum kehadiran aparat keamanan, atau bila ada tidak berbuat apa-apa untuk mencegah atau meluasnya kerusuhan.

Pra Kerusuhan  

Melansir liputan6.com, penyebab kerusuhan Mei 1998 yang memicu terjadinya kerusuhan massal adalah krisis finansial Asia yang terjadi sejak tahun 1997. Akibat adanya krisis moneter, nilai mata uang yang sebelumnya berkisar pada angka Rp2.000 turun drastis hingga menjadi sekitar Rp14.000.

Hal ini membuat banyak perusahaan yang bangkrut, jutaan pegawai yang dipecat dan munculnya pengangguran massal di berbagai wilayah di Indonesia, hal ini juga menyebabkan naiknya harga berbagai bahan pokok yang semakin mencekik masyarakat. Krisis ekonomi yang tengah terjadi kemudian memicu rangkaian aksi unjuk rasa di sejumlah wilayah di Indonesia.

Selain itu maraknya praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di masa pemerintahan orde baru membuat masyarakat dan mahasiswa kian geram, hal ini kemudian membuat merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Dan memunculkan kerusuhan di berbagai wilayah di Indonesia.

Saat itu, Presiden Soeharto yang mengetahui peristiwa Kerusuhan Mei 1998 bergegas kembali ke Tanah Air dari Kairo pada hari sebelumnya yaitu pada tanggal 14 Mei 1998. Kembalinya presiden memunculkan isu bahwa Presiden Soeharto bersedia untuk mundur dari jabatannya sesuai dengan tuntutan demonstran. Namun berita tersebut langsung ditampik oleh Menteri Penerangan Alwi Dahlan.

Namun, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Soeharto sudah hilang dan kerusuhan belum dapat mereda hingga tanggal 15 Mei 1998 masih terjadi kerusuhan di beberapa daerah. Walau sudah mulai mereda. Sepekan setelah itu, tepatnya tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri dan mengalihkan kekuasaannya kepada BJ Habibie. (*)

(Sumber : okezone.com/liputan6.com/Eko Okta)

SHARE

KOMENTAR