Hoogere Burgerschool (HBS) Surabaya, merupakan salah satu sekolah lanjutan tingkat menengah pada zaman Hindia Belanda, khusus orang Eropa, Belanda dan elite pribumi. Masa studi HBS berlangsung dalam lima tahun atau setara dengan MULO dan AMS (red. kini SMP + SMA).
Dikutip dari wikipedia, Bung Karno merupakan salah satu murid HBS di Surabaya sebelum dia masuk THS di Bandung. Ketika itu, jumlah anak pribumi yang masuk HBS pada tahun 1900 hanya 2%, pada tahun 1915 sebanyak 6,1% dari 915 siswa di tiga HBS (Jakarta, Surabaya, dan Semarang). Pemerintah Hindia Belanda sudah mengizinkan anak pribumi masuk HBS sejak tahun 1874.
Gedung HBS Surabaya yang berlokasi di Jalan Ketabang masih digunakan, sekarang ditempati SMA Kompleks yaitu SMAN I, SMAN 2, SMAN 5, dan SMAN 9 Surabaya. Sedangkan lokasi gedung HBS di Jalan Baliwerti ditempati Fakultas Teknik Kimia ITS. Kemudian di Jalan Regen berubah namanya menjadi Jalan Kebon Rojo dan gedungnya ditempati Kantor Pos Besar Surabaya.
Dinukil dari liputan6.com, perkembangan pendidikan pada masa kolonial, berawal ketika Belanda kembali berkuasa di Hindia Belanda pada 1816 yang sebelumnya Hindia Belanda dikuasai oleh Kerajaan Inggris. Pada penanda awal, pemerintah kolonial Belanda bertanggung jawab terhadap pendidikan di negeri jajahan. Demikian mengutip journal.unair.ac.id
Saat itu, sekolah resmi pertama kali didirikan di Batavia pada 24 Februari 1817 yang diberi nama Europeesche Lagere School atau ELS. Sekolah yang didirikan mencontoh sekolah dasar yang ada di Belanda. Sekolah ini dikhususkan untuk anak Eropa.
Pembangunan sekolah pun dilakukan di Surabaya untuk memperhatikan pendidikan di tanah jajahan dan menyediakan tenaga terdidik. Sekolah-sekolah pun dibangun dengan mengadopsi sekolah yang sebelumnya ada di Batavia.
Surabaya memiliki beberapa sekolah yang didirikan oleh pemerintah kota, tetapi yang dapat memasuki sekolah tersebut hanya beberapa orang tertentu saja yang sebagian besar orang Eropa, dan beberapa tokoh terkemuka Bumiputra.
Mengutip journal.unair.ac.id, HBS Surabaya didirikan pada 1875. HBS dibangun sebagai sekolah lanjutan. Sekolah dibentuk sesuai dan berkesinambungan dengan sekolah sebelumnya yaitu ELS. Sekolah lanjutan yang akan dibentuk bagi golongan Eropa dan kaum elite Bumiputra.
Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya Raja Belanda Willem III mengizinkan untuk mendirikan sekolah lanjutan itu. Pertama kali sekolah dibuka di Batavia pada 1860. Kemudian untuk hormati Raja Willem III, sekolah itu diberi nama Gymnasium Willem III. Kemudian diubah menjadi HBS. Waktu belajar di sekolah tersebut selama lima tahun.
Sebagian besar alasan pembangunan sekolah lanjutan karena orang Eropa tinggal di kota dagang lainnya seperti di Surabaya membutuhkan sekolah lanjutan dari ELS. Pada 1875, sekolah HBS berdiri di Surabaya. Kemudian pada 1877 didirikan di Semarang.
Pada periode kolonial hingga pascakemerdekaan HBS di Surabaya pernah menempati tiga lokasi. Pertama pada 1875-1881 di Jalan Baliwerti. Kemudian pada 1881-1923 berada di Regenstraaat atau Jalan Kadipaten. Lalu pada 1923-1950 berada di Jalan ketabang.
Perpindahan HBS yang terjadi pada 1923 karena dua faktor. Pertama, karena di tempat lamanya yaitu di Regentstraat situasinya kurang mendukung lantaran terlalu ramai akan kegiatan warga Surabaya. Kedua, ada perluasan Surabaya oleh pemerintah kota pada 1906-1940. Perluasan Surabaya pada saat itu karena banyaknya oang Eropa yang datang ke Surabaya Hal itu memberi dorongan pemerintah kota agar membentuk permukiman elite untuk memfasilitasi orang Eropa yang datang ke Surabaya.
Pada 1916, daerah Ketabang dibeli Gemeente atau kotamadya untuk dijadikan perumahan elite. Sejalan dengan itu, HBS pun dibangun untuk mengembangkan daerah Ketabang.
HBS yang merupakan sekolah menengah yang didirikan untuk masyarakat koloni Belanda di tanah jajahannya di Hindia Belanda. Oleh karena karena itu, pendidikan diterapkan berdasarkan concordantie-beginsel yaitu prinsip mencocokkan dan menyamakan. HBS di Hindia Belanda dahulu dicocokkan dan disamakan dalam segala hal dengan HBS yang ada di Belanda. Persamaan pendidikan itu meliputi pengajarnya orang Belanda, bahasa pengantarnya menggunakan Bahasa Belanda termasuk juga kurikulum dan pelajaran yang diajarkan.
Berdasarkan kesaksian Presiden Sukarno yang pernah bersekolah di HBS pada 1917-1922, sulit untuk seorang Bumiputra bersekolah di HBS. Hal ini karena biaya yang mahal. Sukarno diwajibkan untuk membayar f15,00 sebulan untuk uang sekolah dan uang buku setiap tahun f75,00.
HBS didirikan untuk kalangan menengah atas. Sedangkan untuk kalangan dari tarif ekonomi rendah pihak HBS sudah memberi toleransi biaya menurut besar gaji orangtua. Untuk kasus Sukarno, keluarganya memang tergolong di bawah standar taraf ekonomi rendah yang diberikan oleh HBS sehingga biaya yang wajib dibayar adalah biaya paling murah di HBS.
(Sumber : wikipedia/liptan6.com/journal.unair.ac.id)