Aartreya.com- Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menuai polemik. Meski hingga akhirnya disahkan. Hal itu lantaran sejumlah pasal dalam revisi UU KUHP dianggap kontroversial. Masyarakat menilai, dalam revisi KUHP masih banyak mengandung pasal yang multitafsir.
RKUHP kini resmi menjadi KUHP dan rencananya Undang-Undang. Pembahasan RKUHP ini telah berjalan selama 64 tahun, melewati 7 periode presiden, 15 menteri, dan 17 profesor. KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan warisan hukum kolonial Belanda.
Itu artinya KUHP itu telah berlaku sepanjang satu abad lebih. KUHP memiliki nama asli yakni, Wetbock van Strafrecht voor Nederlansch Indie atau WvSNI berlaku di Indonesia sejak 1 Januari 1918. Saat Indonesia merdeka pada 1945, WvSNI ini diadopsi menjadi hukum nasional melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Di negeri asalnya WvS Belanda sudah tidak berlaku. Bagaimana mungkin WvSNI yang diadopsi dari WvS Belanda, dan berubah nama menjadi KUHP, justru masih hendak dipertahankan di Indonesia?
Setidaknya terdapat beberapa isu seputar materi RKUHP, yang hingga kini masih mengundang penolakan masyarakat luas. Antara lain, pasal 218 - 220 tentang penghinaan presiden; pasal 240 - 241 tentang penghinaan presiden yang sah; pasal 353 - 354 tentang penghinaan kekuasaan umum atau lembaga negara.
Selain itu, juga masih ada beberapa pasal yang menyulut pro-kontra. Menyenangkan semua pihak dengan mengakomodasi semua ide dan aspirasi dari semua kelompok tentu bukanlah resep terbaik. Namun memastikan RKUHP harus sesuai dengan spirit dan nilai-nilai demokrasi sebagai amanat agenda Reformasi 1998, bagaimanapun adalah tugas yang harus ditorehkan untuk menyemai tegaknya supremasi hukum sebagai salah satu pilar peradaban bagi Indonesia yang lebih baik.
Sejarah KUHP
KUHP yang berlaku di Indonesia ialah warisan hukum kolonial Belanda, yang notabene sudah berlaku di Indonesia sepanjang satu abad lebih. Memiliki nama asli Wetbock van Strafrecht voor Nederlansch Indie atau WvSNI. Regulasi ini diberlakukan di tanah Hindia Belanda melalui Koninklijk Besluit (Titah Raja Belanda -- Invoerings-verordening) Nomer 33 pada Oktober 1915 dan mulai diberlakukan pada 1 Januari 1918. WvSNI sendiri merupakan produk hukum turunan dari Wvs Belanda yang dibuat pada 1881 dan diberlakukan di Belanda pada 1886.
Memasuki era penjajahan Jepang, Pemerintah Jepang di Indonesia tidak pernah mencabut berlakunya WvSNI. Meskipun demikian Jepang bukan tak sesekali juga memberlakukan maklumat ketentuan hukum pidana tertentu di Indonesia. Maka di sepanjang sejarah pendudukan Jepang bisa dikata terdapat dua aturan pidana secara bersamaan, yaitu aturan pidana yang dikeluarkan oleh pemerintahan Jepang dan aturan pidana peninggalan pemerintahan kolonial Belanda WvSNI.
Memasuki periode Indonesia merdeka pada 1945, supaya tidak terjadi kekosongan hukum pidana nasional, maka WvSNI diadopsi menjadi hukum nasional melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Sementara itu, hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang dihapuskan.
Sudah tentu upaya Indonesia memperbaruhi hukum pidana nasional sudah dilakukan sejak lama. Bahkan bisa dikata, menyusun KUHP baru yaitu KUHP Indonesia, seakan menjadi obsesi tiap menteri hukum di negeri ini.
Bagaimana tidak? Selain KUHP sendiri sudah berusia lebih dari satu abad sehingga tentu sudah tidak sesuai dengan spirit dan konteks perkembangan zaman, lebih jauh KUHP warisan kolonial Belanda ini juga dirumuskan berdasarkan konteks sosiologi hukum masyarakat Belanda yang nisbi berbeda dari konteks sosiologi hukum masyarakat Indonesia.
Selain itu, bahkan hingga kini sebenarnya belum pernah ada teks resmi KUHP terjemahan WvSNI (Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie) yang telah dikeluarkan oleh negara. KUHP yang berlaku selama ini hanya memiliki terjemahan versi tidak resmi yang dilakukan oleh para pakar hukum pidana.
Sebutlah misalnya KUHP versi terjemahan Mulyatno, atau Andi Hamzah, Sunarto Surodibroto, atau R Susilo, dan atau versi Badan Pembinaan Hukum Nasional. Namun toh demikian semua KUHP tersebut bukanlah terjemahan versi resmi yang telah dikeluarkan dan ditetapkan oleh negara. Akibatnya jelas sangat mungkin setiap versi terjemahan KUHP itu akan memiliki redaksi yang berbeda.
Mengingat urgensinya keberadaan hukum pidana nasional, yang bukan saja bersifat pascakolonial, namun juga dirumuskan dengan latar belakang konteks sosiologi hukum masyarakat Indonesia sendiri, maka proyek KUHP baru ini sebenarnya proses perumusannya telah dimulai jauh hari yaitu sejak era presiden pertama di Indonesia, Presiden Soekarno.
Tercatat upaya melakukan pembaruan KUHP mulai terasa gregetnya sejak 1958, yaitu ditandai dengan berdirinya LPHN (Lembaga Pembinaan Hukum Nasional). Selanjutnya juga diselenggarakan Seminar Hukum Nasional I pada 1963. Seminar ini menghasilkan berbagai resolusi, yang antara lain adanya desakan untuk merumuskan KUHP baru. Masih di tahun yang sama, upaya tersebut juga telah didorong oleh Menteri Kehakiman saat itu, Sahardjo, dengan membentuk tim perumus KUHP.
Namun hingga periode kekuasaan Presiden Soekarno berakhir, upaya merumuskan KUHP Indonesia masih jauh dari terwujud. Bahkan di sepanjang pemerintahan Orde Baru di bawah komando Presiden Soeharto selama 32 tahun praktis belum juga berhasil diwujudkan.
Di masa era Orde Baru ini kita mengenang nama Menteri Kehakiman Ismail Saleh (1984 - 1993), yang boleh dikata paling gencar mendorong penyusunan KUHP baru. Pada 1993 sebenarnya rumusan KUHP praktis telah berhasil dirampungkan. Namun upaya ini, entah mengapa terhenti saat Menteri Kehakiman berganti di bawa kepemimpinan Oetojo Oesman (1993 - 1998).
Baru saat Muladi menjabat menjadi Menteri Kehakiman pada 1998, RKUHP ini kembali diajukan. Agenda ini dilanjutkan saat Yusril Ihza Mahendra pada 2001 - 2004 menjabat menjadi Menteri Hukum dan Ham, sebuah nomenklatur baru menggantikan istilah Menteri Kehakiman. Pada 2004, RKUHP masuk progam legislasi nasional prioritas. Saat itu kementerian itu dipimpin oleh Hamid Awaluddin (2004 - 2007). Tapi, pembahasan tak jua kunjung usai hingga 2009, saat posisi menteri dijabat oleh Mohammad Andi Mattalatta (2007 - 2009).
Empat tahun kemudian Komisi III DPR memulai kembali upaya perumusan RKUHP. Akan tetapi surat presiden (supres) untuk membahasnya bersama DPR ternyata baru keluar di tahun 2015, saat kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah digantikan oleh Presiden Joko Widodo.
Tim perumus pun dibentuk. Diketuai oleh mantan menteri yang pernah concern dengan isu penyusunan KUHP baru yaitu Muladi. Bagaimana keseriusan Muladi memimpin perumusan RKUHP ini terlihat dari pernyataannya belum lama ini, saat kontroversi penolakan pengesahan RKUHP menjadi undang-undang sedang pasang naik terjadi:
Bayangkanlah, RKUHP ini telah melewati 7 kali pergantian presiden dan 20 kali pergantian menteri di sepanjang dimulainya upaya untuk merumuskan KUHP sendiri oleh Menteri Kehakiman Sahardjo (Menteri Hukum dan Ham sekarang) di era Presiden Pertama. Bagaimana mungkin WvSNI yang diadopsi dari WvS Belanda, serta selama ini hanya diubah namanya menjadi KUHP, kini masih hendak dipertahankan di bumi Indonesia? (Sumber : Indonesiabaik/Eko Octa)