Catatan Pak E : Mengenal Lebih Dekat Fatmawati Sang Perajut Nusantara

730
Eko Octa

Hari ini, Minggu (5/2/2023), tepat seabad lalu, 5 Februari 1923, Fatmawati dilahirkan di Bengkulu. Istri Proklamator RI, Soekarno itu ternyata merupakan sosok sederhana yang patut ditauladani. Tak hanya setia menemani Bung Karno melewati masa sulit pada era jelang merebut kemerdekaan RI. Namun, ibu negara pertama itu juga memiliki jiwa juang yang berapi-api tak beda dengan sang suami, Soekarno.   

Momen perjuangan Sang Ibunda itu juga dikenang putrinya, Megawati Soekarnoputri.

"Ketika keadaan negara tidak aman, maksudnya di Jakarta, Bung Karno dan para pemimpin lainnya diminta untuk keluar dari ibu kota dan pindah ke Yogyakarta," kata wanita yang juga Ketua DPP PDI Perjuangan dalam acara Fatmawati Ibu Negara Pejuang: Sang Penjahit Merah Putih yang diselenggarakan PDI Perjuangan pada Minggu (5/2/2023).

Sebagaimana diketahui Hajah Fatmawati adalah istri dari Presiden Indonesia pertama Soekarno. Ia menjadi Ibu Negara Indonesia pertama dari tahun 1945 hingga tahun 1967

Ia juga dikenal akan jasanya dalam menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih yang turut dikibarkan pada saat upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.

Dikuti dari berbagai sumber, Fatmawati lahir dari kedua orangtua yang merupakan Suku Minangkabau, dari Sumatera Barat, Hasan Din dan Siti Chadijah, dengan nama Fatimah. Orang tuanya merupakan keturunan Putri Indrapura, salah seorang keluarga raja dari Kesultanan Indrapura, Pesisir Selatan, Sumatra Barat Ayahnya merupakan salah seorang pengusaha dan tokoh Muhammadiyah di Bengkulu.

Dinukil dari situs Kemdikbud, pada tanggal 1 Juni 1943, Fatmawati menikah dengan Soekarno, yang merupakan presiden pertama Indonesia. Dari pernikahan itu, ia dikaruniai lima orang putra dan putri, yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.

Pada usia setahun lebih pernikahannya, Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia dan mengizinkan Merah Putih berkibar dan lagu Kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan. Kala itu, terpikir oleh Ibu Fatmawati memerlukan bendera Merah Putih untuk dikibarkan di Pegangsaan 56.

Dilansir dari Kompas.com, saat itu tidak mudah untuk mendapatkan kain merah dan putih. Beruntung, akhirnya bisa didapat berkat bantuan Shimizu kain merah putih, yang merupakan orang ditunjuk oleh Pemerintah Jepang sebagai perantara dalam perundingan Jepang-Indonesia. Bendera itulah yang berkibar di Pegangsaan Timur saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Bondan Winarno dalam "Berkibarlah Benderaku, Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka" (2003), menuliskan, Fatmawati menghabiskan waktunya untuk menjahit bendera itu dalam kondisi fisik yang cukup rentan. Pasalnya, Fatmawati saat itu sedang hamil tua dan sudah waktunya untuk melahirkan putra sulungnya, Guntur Soekarnoputra.

Tak jarang, ia menitikkan air mata kala menjahit bendera itu. "Berulangkali saya menumpahkan air mata di atas bendera yang sedang saya jahit itu," kata Fatmawati dalam buku itu.

"Menjelang kelahiran Guntur, ketika usia kandungan telah mencukupi bulannya, saya paksakan diri menjahit bendera Merah putih. Saya jahit berangsur-angsur dengan mesin jahit Singer yang dijalankan dengan tangan saja. Sebab dokter melarang saya menggunakan kaki untuk menggerakkan mesin jahit," sambungnya.

Tak hanya menjahit bendera, Fatmawati juga satu-satunya wanita yang ikut diculik bersama Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat pada 16 Agustus 1945. Kala itu, Fatmawati harus membawa anaknya yang masih kecil, Guntur Soekarnoputra. Demikian dinukil dari Kompas.tv.

Setelah kemerdekaan, pada Desember 1945 juga diadakan perjalanan Bung Karno-Hatta ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka ditemani oleh sejumlah manteri yang belum lama dilantik, seperti Menteri Penerangan Amir Sjarifudin, Menteri Kesehatan Dr Darmasetiawan dan Menteri Pekerjaan Umum Ir Putuhena. Bung Karno ditemani oleh Fatmawati, sementara Rahmi, isteri Bung Hatta tidak bisa ikut.

Saat perjalanan tiba di Cirebon, diadakan rapat raksasa di pagi yang cerah. Sebelum Bung Karno berpidato, dia meminta kepada isterinya untuk naik mimbar.

"Saya kira maksudnya untuk memperkenalkan Fatmawati kepada rakyat. Ternyata tidak," kata Rosihan Anwar, wartawan Merdeka yang ikut dalam rombongan, yang dituliskan dalam "Kisah-Kisah Jakarta Setelah Proklamasi".

Setelah Fatmawati naik ke mimbar dengan mengenakan kerudung putih, dia justeru melantunkan ayat suci Al-Qur'an dengan suaranya yang merdu di depan corong mikrofon. "Ia mengaji di luar kepala, tetapi tiada satu kali pun dia terantuk-antuk. Ia mengaji memuji-muji kebesaran Allah subhanahu wa Ta'ala di alam terbuka," kata Rosihan. Seketika, semua yang hadir terdiam membisu.

"Saya memandang kepada Fatmawati yang mengaji dengan bening. Saya memandang kepada rakyat yang menundukkan kepala dengan hening. Rapat raksasa menjadi terpekur terdiam," kenang Rosihan. 

Fatmawati meninggal dunia pada usia 57 tahun di Kuala Lumpur ketika dalam perjalanan pulang dari setelah melangsungkan ibadah umrah pada 1980 akibat serangan jantung. Fatmawati mendapatkan gelar pahlawan nasional dari pemerintah pada tahun 2000, dua puluh tahun setelah wafatnya. Pemberian gelar pahlawan itu berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 118/TK/2000.

(Sumber : Kemdikbud/ Kompas.com/ Kompas.tv/ Eko Octa)

SHARE

KOMENTAR