Menyebut nama Enny Arrow, bagi yang melewati masa remaja di tahun 80-an umumnya sudah mengenal akrab. Namanya melegenda sebagai penulis novel vulgar. Tak banyak yang tahu, Enny lahir pada tahun 1942 di Hambalang, Bogor, dan wafat pada tahun 1995. Tidak diketahui detail lengkap tanggal lahir maupun tanggal wafat penulis tersebut, Konon, pasar Senen, Jakarta merupakan tempat awal namanya mengorbit. Bahkan, saking meledaknya karya-karya Enny Arrow di pasaran, novelnya sampai-sampai di koleksi di Perpustakaan Leiden, Belanda.
Novel-novel Enny Arrow tidak tebal, hanya puluhan lembar. Namun demikian, isinya mampu membuat remaja yang membacanya merem melek, bahkan panas-dingin. Hubungan seks digambarkan secara detail dan hiperbola.
Novel-novel karya Enny Arrow terbilang sangat murah. Per buku, rata-rata dijual hanya Rp 1.000-Rp 5.000. Sifat idealis Enny membuat ia tidak memikirkan royalti saat menjual karyanya. Enny hanya ingin menunjukkan kalau setiap orang berhak memiliki bahan bacaan, bahkan kelas menengah ke bawah sekalipun. Karena pada masa itu, buku bacaan terlalu eksklusif. Kini karya-karya Enny Arrow banyak diburu oleh para kolektor yang ingin bernostalgia dengan tulisannya.
Meski berisi erotis, novel-novel Enny Arrow memang menjadi kenangan tersendiri. Karena tak ada yang berani membaca novel Enny Arrow di depan umum, maka pengalaman membaca novel erotis itu diam-diam menjadi romansa tersendiri bagi banyak orang.
Sejumlah tulisan tentang Enny Arrow menyebut nama Enny Sukaesih Probowidagdo sebagai penulis novel itu. Enny adalah perempuan yang lahir di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, pada 1924. Informasi yang dihimpun dari sejumlah sumber, dulu dia bekerja di toko usaha jahit “Arrow” di kawasan Kalimalang, Jakarta Timur. Entah bagaimana prosesnya, Enny kemudian menulis novel pertamanya berjudul Sendja Merah di Pelabuhan Djakarta-yang terkesan “kiri”-pada 1965. Lalu dia kabur ke Filipina dan Hong Kong serta tinggal di Seattle, Amerika Serikat, pada April 1967.
Enny disebut-sebut sebagai wartawan yang memulai karier pada masa Jepang. Belajar Steno di Yamataka Agency, lalu ia menjadi salah satu propagandis Heiho dan Keibodan. Pada masa revolusi, dia bekerja sebagai wartawan Republikein, yang mengamati jalannya perang di wilayah Bekasi.
Di Amerika, Enny belajar penulisan kreatif gaya sastrawan dan peraih Hadiah Nobel John Steinbeck. Setelah menemukan irama Steinbeck, dia mencoba menulis untuk beberapa koran terkenal di Amerika. Salah satunya cerita bersambung berjudul Mirror Mirror.
Pada 1974, dia kembali ke Jakarta dan bekerja sebagai copywriter di salah satu perusahaan asing. Setelah itu, dia kembali menulis. Begitulah kisah penulis Enny Arrow yang sebenarnya tak jelas sumbernya. Cerita itu pula yang dikutip Sunardian Wirodono dalam tulisan berjudul Enny Arrow, Pejuang, Pendidik, Generasi Bangsa yang diunggah di blog pribadinya pada Sabtu, 14 November 2015. (Dikutip dari beragam sumber/nesto)