Bung Karno Sudah Buktikan Pantang Ditindas Asing, Amerika Kita Setrika Inggris Kita Linggis!

116
Bung Karno saat pidato, foto net, warna aartreya

Aartreya – Saat menjadi kepala negara Indonesia, Soekarno sudah menunjukan tak pernah takut dengan negara adikuasa, Amerika, juga Inggris. Pidato yang selalu menyala-nyala membuat rasa perlawanan rakyat Indonesia bangkit. "Persetan dengan PBB! Amerika kita setrika! Inggris kita linggis!"

"Saudara saudara, musuh kita yang terbesar yang selalu merusakan keselamatan dan kesejahteraan Asia dan Indonesia ialah Amerika dan Inggris. Oleh karena itu, didalam peperangan Asia Timur Raya ini, Maka segenap kita punya tenaga, punya kemauan, punya tekad harus kita tunjukan kepada hancur leburnya Amerika dan Inggris itu." Demikian kata Bung Karno, menukil republika.co.id

"Selama kekuasaan dan kekuatan Amerika dan Inggris belum hancur lebur, maka Asia dan Indonesia tidak bisa selamat. Oleh karena itu, semboyan kita sekarang ini ialah hancurkan kekuasaan Amerika dan hancurkan kekuasaan Inggris. Amerika kita setrika! Inggris kita Linggis! Go to hell with your aid!," lanjut Bung Karno.

Pada  20 Januari 1965 Bung karno menarik Indonesia dari keanggotaan PBB. Itu karena ketidakbecusan PBB dalam menangani persoalan anggotanya termasuk konflik Indonesia-Malaysia.

“Malaysia kita ganyang. Hajar cecunguk Malayan itu! Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu," kata Sukarno saat Indonesia berkonfrontasi dengan di negara boneka bernama Malaysia.

Bagi sebagian kepala negara, langkah Bung Karno keluar dari PBB dianggap nekat. Tapi Bung Karno membuktikan jika Indonesia mampu berdikari. Bahkan, Sukarno membentuk Converensi kekuatan baru (Converence of new emerging force/Conefo). Conefo dibentuk Sebagai alternatif persatuan bangsa bangsa selain PBB pada 1966. Langkah tegas Bung Karno langsung mendapat dukungan banyak negara khususnya Asia, Afrika, Amerika Selatan bahkan sebagian Eropa.

Sebagai tandingan Olimpiade, Bung Karno bahkan menyelenggarakan Ganefo (Games of the new emerging forces) di Senayan, Jakarta pada 10-22 November 1963. Pesta olahraga itu tak main-main. Bahkan diikuti 2.250 atlet dari 48 negara Asia, Afrika dan Amerika Selatan dan diliput 500 wartawan asing.

Bung Karno yang selalu membela perjuangan bangsa-bangsa tertindas, dikenal sangat gigih membela perjuangan rakyat Palestina. Pada 1962, ketika di Jakarta diselenggarakan Asian Games ia menolak kehadiran kontingen Israel. Jakarta terpaksa harus menghadapi konsekuensi dari Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang menarik diri sebagai pelindung AG IV.

Bahkan, IOC melarang benderanya dikibarkan di Jakarta. Puncaknya, Indonesia keluar dari IOC. Setahun kemudian, Indonesia menyelenggarakan Ganefo di Jakarta, yang sukses besar dan dihadiri 48 negara.

Sebelumnya (1957), ketika Timnas Indonesia lolos di zona Asia dan tinggal menghadapi Israel untuk ikut ke Piala Dunia, Indonesia menolak bermain di Jakarta atau di Tel Aviv. Indonesia hanya mau bermain di tempat netral, tanpa lagu kebangsaan.

Tapi persatuan sepak bola dunia (FIFA) menolak usul RI. Akibatnya Indonesia terhambat ke Piala Dunia. Ketika Indonesia keluar dari PBB pada 7 Januari 1964, salah satu alasan Bung Karno adalah, “Dengan menguntungkan Israel dan merugikan negara Arab (termasuk Palestina), PBB nyata-nyata menguntungkan imperialisme dan merugikan kemerdekaan bangsa-bangsa.”

Bung Karno yang menuduh PBB merupakan kepanjangan tangan AS dan sekutunya, menamakan PBB lebih jelek dari mimbar omong kosong.

Belkangan ini, AS diketahui tidak segan-segan menghukum negara-negara yang tidak disenanginya. Bung Karno sendiri telah mengkonstatasi adanya ancaman semacam ini.

“Kaum imperialis,” kata Bung Karno, “paling suka menyebut dirinya ‘beradab’. Mereka paling suka menganggap kita-kita ini ‘biadab’, sehingga mereka harus datang dengan pasukan-pasukannya untuk mengajarkan ‘peradaban’ kepada kita. Dalam mengajarkan ‘peradabatan’ kepada kita, mereka tidak sayang harta dan tidak sayang benda."

"Dan jika kita ‘membandel’ maka dibomnya kita: di bomnya Maluku, Kamboja, Laos, dan Kuba. Pada saat ini, rupanya yang paling ‘membandel’ bangsa Vietnam. Sehingga bangsa ini setiap hari, setiap menit, dan setiap detik dihujani bom oleh pembawa ‘misi suci’ dari Washington. Kalau ‘misi suci’ itu gagal total, sudah tentu yang salah, katanya, ya kaum ‘biadab’ itu.”

Menurut Bung Karno, “Kaum imperialis tidak akan pernah memperkenankan kemerdekaan tipe Sukarno, Norodom Sihanouk (Kamboja), Mao Tse Tung (RRC), Boumedienne (Aljazair), Jamal Abdel Nasser (Mesir), dan Nkrumah (Ghana).”

Mereka hanya ‘merestui kemerdekaan’ orang-orang yang bisa diatur dan mau menjadi anteknya Mengenai politik ‘persetan dengan bantuan Amerika Serikat’ (go to hell with your aid), yang sering dikumandangkan Bung Karno, seperti yang dijelaskannya sendiri, ‘bukan berarti Indonesia menolak bantuan AS'.

Di masa kepemimpinan Presiden Sukarno, Indonesia menjadi rebutan dua negeri adidaya, Uni Soviet dan Amerika Serikat. Maka tak heran, ketika Sukarno terlihat mesra dengan Uni Soviet, AS pun seperti kebakaran jenggot dan menuding Bung Karno bermain mata dengan Blok Timur.

Mesranya hubungan RI-Soviet waktu itu tidak dapat dipisahkan dari persahabatan akrab antara Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Nikita Kruschev. Kruschev berbadan gemuk dan pendek. Kepalanya botak dan hanya sedikit ditumbuhi rambut yang sudah memutih. Ada persamaan antara keduanya. Setidak-tidaknya ketidaksenangan mereka terhadap PBB.

Sedangkan Kruschev pernah membuat heboh ketika berpidato di Sidang Umum PBB. Sambil berteriak mengecam AS, ia kemudian melepaskan sepatunya. Lalu berulang-ulang diketokkan ke meja tempat berpidato.

PM Kruschev dan Presiden Voroshilov pernah berkunjung ke Indonesia, seperti juga berbagai delegasi Uni Soviet lainnya. Termasuk tim sepak bola, kesenian, kebudayaan, dan film yang berkali-kali berkunjung ke Tanah Air.

Bahkan Yuri Gagarin, kosmonot pertama ke ruang angkasa, juga berkunjung ke Indonesia. Ketika Kruschev tiba di Indonesia, dari Bandara Kemayoran hingga Istana Merdeka yang jaraknya hampir 10 kilometer, lautan manusia mengelukannya di kiri kanan jalan.

Karuan saja hubungan mesra RI-Uni Soviet (US) membuat gerah AS. Kedua adidaya ini tengah bersaing untuk memengaruhi dunia.

Cindy Adams dalam buku 'Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat' memuat penuturan Bung Karno tentang memburuknya hubungan RI-AS. ”Kepergiannya ke Peking (Beijing) dan Moskow pada 1957, oleh AS dinilai sebagai langkah salah,” tutur Bung Karno.

”Itulah asalnya mereka mulai mencap seorang maha pencipta Tuhan sebagai seorang komunis yang pekat,” tambahnya.

Kala itu, Menlu AS John Foster Dulles dengan angkuh mengatakan pada Bung Karno, ”Politik AS bersifat global. Aliran netral adalah tidak bermoral.”

Bung Karno lalu menjawab, ”Sebagai sahabat yang bijaksana dan lebih tua, Amerika memberikan kami nasihat itu bisa. Akan tetapi jangan mencampuri persoalan kami.”

AS juga mencap komunis terhadap tiap gerakan kemerdekaan dunia ketiga. Karena politik AS itulah, setidak-tidaknya turut membesarkan kekuatan Partai Komunis Indonesia di sini.

Lalu Bung Karno menuturkan bagaimana di Uni Soviet dia disambut besar-besaran. ”Di Moskow 150 orang barisan musik menyanyikan lagu 'Indonesia Raya' sebagai penyambutanku di lapangan terbang. Sungguh pun aku datang dengan pesawat Pan Am (milik perusahaan AS)," kata Bung Karno.

"Pemandangan ini," kata Putra Sang Fajar ini melanjutkan, "membuat mataku berlinang karena bangga. Bangga karena negeri kami mendapat penghargaan demikian.”

Jenderal AH Nasution selaku menko hankam/pangab yang terlebih dulu berada di Moskow sebelum Bung Karno tiba dalam buku 'Memenuhi Panggilan Tugas' jilid 6 menulis, ”Bung Karno mendarat dengan pesawat Pan Am. Kemudian para pramugari Amerika yang cantik-cantik berseragam biru itu membuat jajaran di tangga pesawat.”

Maka PM Kruschev menggoda saya, ”Jenderal alangkah manisnya gadis-gadis Indonesia.”

Terhadap kritik halus ini Pak Nas menyahut, ”Ah PM telah pernah berkunjung ke Indonesia. Di sana tidak ada rambut-rambut yang pirang demikian.”

Setelah kunjungan ke Moskow ini, berbagai gosip diembuskan oleh Barat terhadap pribadi Bung Karno. Termasuk majalah terkemuka Time, Newsweek, dan Life.

”Barat selalu menuduhku terlalu memperlihatkan muka manis kepada negara-negara sosialis. Oohh, kata mereka lihatlah Sukarno lagi-lagi bermain mata dengan Blok Timur,” kata Bung Karno.

Oleh Bung Karno dijawab, negara sosialis tidak pernah mempermalukannya, seperti dilakukan Barat. ”Kruschev mengirimkan jam dan puding dua pekan sekali, dan memetikkan apel, gandum, dan hasil tanaman lainnya dari panen yang terbaik.”

Konon, Bung Karno juga pernah menerima hadiah sebuah pesawat Ilyusin dari US yang kemudian diberi nama Dolok Martimbang. ”Jadi, apakah salahnya bila aku berterima kasih kepadanya. Siapakah yang tidak akan bersikap ramah, terhadap seseorang yang bersikap ramah kepadanya? Apa yang aku ucapkan itu adalah tanda terima kasih, bukan komunisme. Pandirlah aku bila aku membuang muka, bilamana ia diberi begitu banyak,” kata Bung Karno berkilah.

Di antara bantuan Uni Soviet yang hingga kini berdiri dengan megah adalah Stadion Utama Bung Karno beserta kompleks Istora Senayan. Stadion ini pernah menjadi tempat pesta Asian Games IV dan Ganefo.

Ganefo diselenggarakan untuk mematahkan dominasi IOC (Komite Olimpiade Internasional) yang telah menskorsing Indonesia karena menolak kehadiran Israel pada AG ke-IV. Di stadion ini Bung Karno sering berpidato pada rapat-rapat raksasa yang dihadiri ratusan ribu massa.

Kala itu, kekuatan politik seperti Partai Nasional Indonesia, PKI, dan Nahdlatul Ulama saling bersaing dalam mengerahkan massa seperti yang terjadi pada hari ulang tahun PNI, PKI, dan NU. Bung Karno kurang berkenan bila –saat berpidato– stadion yang dapat menampung lebih 100 ribu massa itu tidak penuh. (*)

 

Sumber : Republika

SHARE

KOMENTAR