Sejarah mencatat sebelum Era Reformasi, Perayaan Imlek tidak diberi tempat. Namun sejak memasuki Reformasi, diberi ruang seluas-luasnya dan kebebasan. Pada era Presiden RI keempat, Abdulrahman Wahid mencabut Inpres No 14 Tahun 1967 dan menerbitkan Keppres No 6 Tahun 2000
Kemudian, pada tahun 2003, Megawati Soekarnoputri, Presiden RI Kelima (Tahun 2001-2004), menyatakan sebagai Hari Libur Nasional. Kedua pemimpin negara tersebut telah menorehkan upaya merekatkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa.
Hingga saat ini, semangat bersatu tanpa pembedaan dan saling hormat menghormati sudah makin matang di masyarakat. Warga Tionghoa, kini tak lagi ada pembeda. Mereka juga telah mendapat ruang kebebasan politik yang sama dengan WNI yang lain. Serta, terundang memberi kontribusi dan partisipasinya dalam membangun bangsa Indonesia dalam kesejahteraan bersama.
Melalui Imlek, semakin mengukuhkan para WNI keturunan, bersama menghadapi persoalan bangsa Indonesia dan memajukan negeri Nusantara. Dan, mempertebal jiwa nasionalisme warga Tionghoa, bangga sebagai anak bangsa Indonesia.
Saat ini, di banyak tempat, warga keturunan Cina diketahui sudah lebih merasa bangga sebagai anak bangsa Indonesia. Perasaan keterikatan mereka pada segala yang berbau Cina sesungguhnya hampir tidak terasa lagi. Mereka sudah membaur. Hal itu bisa diketahui dari nama, bahasa, dan cara hidup sehari-hari membuat mereka merasa sebagai orang Indonesia.
Bahasa Mandarin pun lebih banyak dipelajari oleh masyarakat yang bukan keturunan Cina. Mereka yang belajar Mandarin bukan karena dia punya darah keturunan Cina, tapi semata karena keperluan bisnis atau mendalami ilmu pengetahuan, atau juga karir.
Pasca tumbangnya Orde Baru, merupakan kebangkitan semangat nasionalisme WNI keturunan. Terdorong rasa bangga sebagai Indonesia dan memiliki Merah Putih, politisi WNI keturunan pun muncul satu persatu.
Sebagaimana diketahui, pada era Orba, etnis Tionghoa pernah terbelenggu dengan Instruksi Presiden 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Adat istiadat China dianggap sebagai hambatan proses asimilasi. Kala itu, ibadah dan perayaan harus dilakukan secara internal, tak boleh mencolok, dan bahkan butuh izin khusus.
Ditinjau dari sejarah, perjuangan Kemerdekaan Indonesia tak lepas dari dukungan berbagai pihak, diantaranya juga peran serta dari etnis Tionghoa. Sejarah mencatat, pada tanggal 29 April 1945, Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau di Dokuritsu Zyumbi Choosakai dibentuk Seikou Sisikan.
BPUPKI dipimpin Ketua (Kaicou) Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat, Ketua Muda (Fuku Kaicou) Ichbangsase yang merupakan orang Jepang, dan Ketua Muda R.P. Soeroso yang merupakan orang Indonesia, seperti dikutip dari Pancasila Dasar Negara Paripurna oleh Prof. Dr. Tukiran Taniredja, M.M. dan Prof. Dr. Suyahmo, M.Si.
Anggota BPUPKI tersebut ada 60 orang seperti Soekarno, Mohammad Yamin, R. Kusumah Atmadja, R. Abdulrahim Pratalykrama, R. Aris, Ki Hadjar Dewantara hingga Ki Bagoes Hadikoesoemo. Dan, 3 diantaranya adalah WNI keturunan. Mereka yakni Oeij Tiang Tjoei, Eng Hoa, dan Oei Tjong Hauw.
Beberapa tokoh keturunan Tionghoa yang merasa memiliki Indonesia juga tercatat dalam sejarah, ikut berjuang diantaranya yakni Laksamana Muda TNI (Purn) John Lie Tjeng Tjoan. Perjuangan John Lie melakukan penyelundupan senjata untuk membantu para pejuang dalam berperang membuatnya dikenal dengan sebutan Hantu Malaka.
Selain itu, Lie Eng Hok, lahir di Tangerang, 7 Februari 1893. Dirinya mengawali karier sebagai wartawan di surat kabar Sin Po. Lie Eng Hok dikenal pada perjuangannya mempelopori pemberontakan Banten melawan Belanda. Lie Eng Hok wafat pada 1961 disemayamkan di Taman Makam Pahlwan Nasional Giri Tunggal, Semarang.
Selain itu, Ferry Sie King Lien. Era pendudukan Belanda, dirinya bahkan bergabung dalam sebuah pertempuran yang pernah terjadi di Solo pada 1949. Ia dan beberapa temannya juga diarahkan untuk mengajak mengajak masyarakat berjuang melawan Belanda. Pada akhirnya, Ferry Sie King Lien harus gugur diusianya yang masih muda dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Jurug, Solo.
Juga, Djonie Liem. Djonie Liem turut berperan dalam Operasi Dwikora. Dirinya merupakan seorang pembantu Letnan Dua dalam PRRI, Permesta, RMS, hingga operasi tempur di Aceh dan operasi Seroja di Timor-Timor.
Hingga, Yap Thiam Hien. Namanya masuk daftar pahlawan Indonesia keturunan Tionghoa yang ketujuh adalah Yap Thiam Hien. Diketahui Yap merupakan seorang pengacara.
Ia bahkan mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Diceritakan pada era Presiden Indonesia pertama, Soekarno, Yap pernah menulis gagasan yang dimuat dengan tujuan membebaskan beberapa tokoh penting seperti M. Natsir, hingga Mochtar Lubis.
Hadirnya perayaan tahun baru Imlek yang kini sudah semakin memasyarakat, diharapkan dapat semakin meningkatkan nasionalisme, patriotisme dan kebersamaan bangsa Indonesia. Karena, Imlek sudah menjadi bagian dari Indonesia, maka keberadaannya menjadi penguat dan perekat ikatan kebhinekaan yang menjadi modal utama bangsa Indonesia dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI.
(Penulis : Aktivis Komunitas Kritis, Gunawan Suryana)