Beredar kabar organ yang menamakan diri Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) akan menggelar demonstrasi besar-besaran pada 21 Mei 2022, bertepatan dengan momentum reformasi. Ironisnya, tuntutannya salah satunya mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mundur. Jelas hal ini terkesan kuat, kelompok gerakan buruh dari komunitas Gebrak  tak memahami aturan.
Kenapa? Karena, idealnya, gerakan buruh, akan lebih tepat membawa isu perjuangan buruh. Bukan isu pemakzulan presiden. Secara konstitusional dan politik, terlalu lebay jika buruh mengusung isu memakzulkan Presiden Joko Widodo.
Sebab, setidaknya, ada tiga syarat yang harus dipenuhi terkait pemakzulan presiden. Pertama, berdasarkan Pasal 7A Undang-undang Dasar atau UUD 1945, presiden bisa diberhentikan oleh MPR atas usul DPR. Hal ini jika terbukti melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau melakukan perbuatan tercela.
Selain itu, pemakzulan presiden bisa dilakukan jika adanya pelanggaran etika. Dan, pemakzulan jika karena alasan administrative jika presiden dan wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana diatur di UUD 1945. Artinya, jika demo buruh dari Gebrak akan memakzulkan Jokowi, pertanyaannya mereka mewakili siapa? Dan, yang sudah dilakukan Jokowi semasa pandemi Covid-19 tak ada unsur pidana.
Hal lain, jika ditilik Hari Buruh Internasional atau Mayday itu umumnya diperingati pada 1 Mei, karena secara historis merupakan kesempatan untuk mengenang perjuangan heroik dari para pekerja dalam mendapatkan hak atas delapan jam kerja. Bukan pada 21 Mei. Karena, hari itu merupakan peristiwa sejarah lahirnya Gerakan Reformasi. Bukan Hari Buruh.
Semasa merebaknya Covid-19, pemerintah diketahui sudah melakukan upaya optimal. Hal itu diketehui, pada 2021 pertumbuhan ekonomi terkontraksi 2,07% dan pemberlakuan UU Cipta Kerja. Meski, Kementerian Ketenagakerjaan memutuskan tidak ada kenaikan upah minimum berdasarkan pertimbangan dampak ekonomi pandemi Covid-19.
Namun, pemerintah telah berusaha menciptakan iklim investasi yang menarik bagi para investor, dengan harapan bisa meyerap tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi di masa pandemi. Salah satunya, diterbitkannya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2021 tentang pelaksanaan Pengupahan pada Industri Padat Karya Tertentu dalam Masa Pandemi Covid-19 yang memungkinkan sebagian perusahaan melakukan penyesuaian upah pekerja.
Meski, penyesuaian tersebut tak bisa dilakukan secara sepihak dan penyesuaian besaran dan cara pembayaran upah oleh industri padat karya tersebut harus berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh.
Kesejahteraan Buruh Era Orba
Kesejahteraan buruh era Orde Baru, dengan buruh era Reformasi, jelas memiliki perbedaan yang menyolok dalam kesejahteraan. Pada era kepemimpinan Soeharto, sejarah mencatat pemerintah melumpuhkan gerakan buruh. Cerita penculikan, intimidasi, bahkan dibunuh, seperti yang terjadi dengan Tokoh Buruh, Marsinah, merupakan bagian dari sejarah buruh di masa Orba. Ini terjadi pada Mei 1993.
Di era Soeharto berkuasa, berlaku peraturan kebebasan berorganisasi dan berunding, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1956 sebagai ratifikasi Konvensi ILO Nomor 98. Ada juga Undang-Undang Pokok-Pokok Tenaga Nomor 14 Tahun 1969, yang mengatur dasar-dasar berorganisasi, hak-hak buruh dan sebagainya. Tapi, semuanya cuma omdo atau indah di atas kertas saja.
Ketika Soeharto berkuasa, tidak mudah bagi buruh mendirikan serikat di luar Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), mengorganisasikan pemogokan, apalagi mengkritik pemerintah. Tak hanya itu, terkait upah buruh, perbedaan dewan pengupahan dulu dan setelahnya terletak pada jumlah komposisi serta fungsi pengambil keputusan.
Di zaman Soeharto, upah minimum diputuskan dua tahun sekali oleh menteri berdasarkan saran dewan pengupahan di berbagai tingkatan. Serikat buruh yang dizinkan terlibat hanya SPSI. Itu pun dengan tugas pemberi saran, jika diperlukan.
Survei barang-barang kebutuhan terkait penentuan upah buruh pada era Orba berpatokan pada buruh lajang dan mengacu pada kebutuhan fisik minimum (KFM) tahun 1956. Bisa dibayangkan bagi buruh yang sudah berkeluarga, kesimpulannya kesejahteraan buruh masih sebatas mimpi, ketika itu.
Masih pada era Orba, gerakan buruh saat itu dituduh PKI. Era kepemimpinan Soeharto, buruh ditekan dengan menggunakan tangan militer. Keterlibatan itu dilegalisasi lewat Kepmenakertrans No. 342/1986 yang menyatakan aparat keamanan boleh ikut campur dalam penyelesaian perselisihan perburuhan terutama yang mengarah pada aksi mogok. Hingga tahun 1994, intervensi itu terus berlangsung. Kepala Staf Kopkamtib Soedomo berhasil mendorong “Deklarasi Penyatuan†buruh di Kongres FBSI pada tahun 1981.
Perjalanan waktu gerakan buruh, baru memperoleh kebebasan saat Orba runtuh. Tepatnya, saat Orde Reformasi pasca Habibie mengesahkan UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja. Kebijakan regulasi memberikan keleluasaan buruh untuk membentuk serikat atau organisasi lantaran syarat yang diberikan cenderung mudah untuk dipenuhi.
Â
(Penulis Aktivis 98: Eko Octa)