Hardiknas Menyala, Jejak Ki Hadjar Dewantara hingga Jadi Menteri Pendidikan Era Bung Karno

35
Ki Hajar Dewantara dan Bung Karno, sumber foto Historia

Aartreya - Setiap tahunnya, Indonesia memperingati kelahiran Ki Hajar Dewantara atas jasa-jasanya dalam memperjuangkan pendidikan di era pergerakan nasional dan pascakemerdekaan. Hari ini, Jumat (2/5/2025) diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas 2025.

Penetapan Hardiknas ini berdasarkan Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959. Nama Ki Hajar Dewantara tidaklah asing dalam dunia pendidikan. Pemilik nama lahir Raden Mas Soewardi Soerjaningrat pernah menjabat sebagai Menteri Pengajaran pertama yang menjabat dari 2 September 1945 hingga 14 November 1945.

Melansir tirto.id, pria Bernama lengkap Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara (KHD) lahir pada 2 Mei 1889 di Pakualaman dan meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun. Dia lahir di kalangan bangsawan Jawa, dari keluarga kerajaan Pakualaman. KHD merupakan salah satu cucu Pangeran Paku Alam III melalui ayahnya, GPH Soerjaningrat.

Berkat latar bangsawan ia dapat mengakses pendidikan umum kolonial, sebuah kemewahan yang tidak dapat dicapai oleh sebagian besar penduduk biasa di Hindia. Dikutip dari buku Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian II A: Kebudajaan, ia lulus dari pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda). Kemudian melanjutkan studinya di STOVIA, sekolah kedokteran untuk siswa asli. Namun, ia gagal lulus karena sakit.

Seterusnya, ia pernah bekerja sebagai jurnalis dan menulis untuk banyak surat kabar. Gaya tulisannya populer, komunikatif namun dijiwai dengan idealisme kebebasan dan sentimen anti-kolonialisme.

Mengutip tempo.co, Ki Hajar Dewantara saat menekuni kiprahnya di bidang jurnalisme pernah menulis untuk beberapa surat kabat dan majalah pada waktu itu, antara lain Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Melalui tulisan-tulisannya, dia melontarkan kritik pedas kepada kolonialisme Belanda. Tulisannya terkenal memiliki karakter komunikatif, halus, mengena, tetapi keras.

Salah satu tulisan monumentalnya, “Als ik een Nederlander was” atau “Seandainya Aku Seorang Belanda” yang dimuat dalam surat kabar De Expres pada 13 Juli 1913 berhasil membuat pemerintah merasa terancam. Akibatnya, dia bersama kedua rekannya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo kemudian diasingkan ke negeri Belanda.

Sejak berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908, ia aktif dalam pengabdian dakwah untuk mensosialisasikan dan meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia sebagai persatuan bangsa (khususnya di Jawa). Ia juga menyelenggarakan kongres pertama Boedi Oetomo di Yogyakarta.

Akibat perlawanannya terhadap penjajahan Belanda melalui kritikan yang ia tulis, Seowardi pernah diasingkan ke Belanda bersama dua temannya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoeseomo.

Pada September 1919, Soewardi pulang ke Jawa, Hindia Belanda. Ia pun langsung bergabung dengan kakaknya untuk mendirikan sekolah di kampung halamannya, demikian dikutip dari jurnal Pemikiran Ki Hajar Dewantara dan Maria Montessori tentang Pendidikan Anak Usia Dini.

Latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajarnya kemudian terbukti berguna untuk mengembangkan konsepnya dalam mengajar di sekolah, dengan mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Ampel atau perguruan tinggi nasional untuk meratakan akses pendidikan. Ki Hajar Dewantara telah menciptakan pepatah terkenal untuk menggambarkan cita-cita pendidikannya. Diberikan dalam bahasa Jawa, pepatah itu berbunyi Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.

Pepatah tersebut diterjemahkan sebagai (bagi yang) di depan harus memberi contoh, (untuk yang) di tengah harus membangkitkan semangat, dan (bagi yang) di belakang harus memberi semangat. Pepatah tersebut dijadikan prinsip Taman Siswa. Saat ini, sebagian dari pepatah ini, Tut Wuri Handayani digunakan sebagai semboyan Kementerian Pendidikan Indonesia.

Gelar Doctor Honoris Causa dari UGM Disaksikan Bung Karno

Mengutip void.id, kiprah dan sumbangsihnya Ki Hajar Dewantara dalam dunia pendidikan dikenang di seantero negeri. Universitas Gajah Mada (UGM) pun mengapresiasi jalan panjang Ki Hajar Dewantara memajukan pendidikan dengan memberikan gelar kehormatan Honoris Causa bidang ilmu kebudayaan kepadanya.

Penghargaan itu diberikan UGM di Siti Hinggil, Keraton Yogyakarta pada 19 Desember 1956. Ki Hajar Dewantara saat itu merasa sukacita. Apalagi pada hari itu Presiden Soekarno menjadi salah satu saksi Ki Hajar Dewantara mendapatkan gelar kehormatan.

“Perkenankanlah saya membuka kata sambutan kami ini dengan ucapan terima kasih yang seiklas-iklasnya kepada Dewan Senat Universitas, yang dalam sidangnya tanggal 7 November 1956 telah memutuskan akan pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada kami.”

“Ucapan terima kasih itu saya tunjukkan kepada saudara Prof.Dr. Sardjito yang selaku Presiden Universitas (rektor) telah berhasil mengumpulkan berbagai unsur yang dianggap cukup penting, untuk diapkai sebagai dasar atau alasan guna mempertanggung jawabkan senat tersebut,” ucap Ki Hajar Dewantara dalam pidatonya.

Menteri Pendidikan Pertama Kabinet Soekarno

Mengutip sindonews.com, Ki Hajar Dewantara merupakan Menteri Pendidikan pertama yang diangkat pada masa pemerintahan Ir. Soekarno. Ki Hajar merupakan pendiri taman siswa yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional.

Sebagai bagian dari keluarga bangsawan, Soewardi cukup leluasa menikmati pendidikannya. Ia pernah belajar di Europeesche Lagere School (Setingkat SD), Kweekschool, dan School Tot Opleidong Van Indische Artsen atau STOVIA yang sekarang dikenal dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Ia selalu berpikir bahwa pendidikan merupakan hal terpenting dalam membebaskan Bangsa Indonesia dari bangsa penjajah. Oleh karenanya ia rela melepas gelar kebangsawanan yang ia punya menjadi Ki Hajar Dewantara agar melekat dan mendekatkan diri pada masyarakat kala itu. Ia sempat mempublikasikan artikel Als Ik Eens Nederlander Was pada De Exp Namun akhirnya ditangkap oleh Belanda.

Ia akhirnya harus berhadapan dengan pengadilan Belanda. Tetapi ia melakukannya dengan tenang dan penuh semangat. Pada 3 Juli 1922, ia mendirikan National Onderwijs Instituut Tamansiswa atau yang lebih dikenal sebagai “Taman Siswa.” Sekolah ini dibuka untuk masyarakat Indonesia yang hendak menuntut ilmu.

Sebelumnya, pendidikan ini terbatas pada kolonial Belanda dan bangsawan Jawa saja. Namun akhirnya berkat Ki Hajar Dewantara sekolah ini dapat diakses bangsa Indonesia. Ki Hajar Dewantara terus berkomitmen membangun sekolah di Indonesia dengan menerapkan tiga prinsip dalam dirinya yakni Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani.

Ketika itu sekolah yang ia dirikan dan terdapat 129 cabang kala itu. Ketika Jepang menjajah Indonesia, Ki Hajar Dewantara sempat menjadi anggota Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA). PUTERA dibangun oleh dibangun oleh Jepang untuk memantau orang-orang yang berbahaya bagi Jepang.

Pada saat PUTERA bubar, Ia terpilih sebagai anggota organisasi pendidikan yang dibuat oleh Jepang dan dianugerahi gelar “Bintang Mahaputera” berkat ide-idenya yang cemerlang untuk mengembangkan sistem pendidikan di Indonesia.

Menjadi Menteri Pendidikan pertama, banyak sekali perjuangan yang ia lalui. Ia disebut sebagai pelopor Pers Indonesia hingga akhirnya kelahiran beliau diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lainnya juga ia dapatkan. Seperti Gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) Ada 3.000 benda yang pernah ia gunakan lalu disimpan di Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta. Istrinya mengumpulkan barang-barang itu ketika Ki Hajar Dewantara menghembuskan nafas terakhirnya pada 26 April 1959.

Pidato Hadirknas Bung Karno 2 Mei 1964

Presiden Sukarno pada peringatan Hari Pendidikan Nasional di Istana Olahraga  Gelora Bung  Karno, Jakarta, pada 2 Mei 1964, memotivasi spirit kaum muda, pelajar dan mahasiswa yang hadir saat itu.

Dalam risalah pidatonya berjudul Bercita-citalah Setinggi Bintang di Langit, Bung Karno menceritakan perihal dirinya yang kini menjadi orang yang berarti di dalam maupun luar negeri.

“Aku ini dulu anak miskin. Orang-tuaku miskin. Orang-tuaku itu guru sekolah desa. Mula-mula aku miskin.”

“Tetapi orang-tuaku, bapak-ibuku yang juga miskin, selalu memberi pendidikan kepadaku agar supaya aku ini nanti Insyaallah Subhanahu wata’ala menjadi manusia yang manfaat, manusia yang berarti.”.

Presiden pertama itu pun bertutur jika ibunya kerap memotivasi dirinya semenjak kecil. Sang ibu menyebut Sukarno sebagai putra fajar karena kelahirannya berbarengan munculnya matahari di ufuk timur. 

“Lihat itu fajar. Makin lama makin terang.  Engkau nanti akan melihat matahari  terbit, jadilah manusia jang berarti. Manusia yang manfaat, manusia yang pantas untuk menyambut terbitnya matahari,” kata Sukarno mengutip perkataan ibunya.

Demikian halnya sang bapak. Yang menurut Sukarno, sang bapak kerap mengajaknya nonton pagelaran wayang kulit. “Menurut bapak, wayang kulit itu memberi cita-cita kepada manusia.”.

Dari lakon wayang kulit, Sukarno kecil terinspirasi akan kerajaan Dwarawati. Sebuah kerajaan yang digambarkan subur dan makmur, masyarakatnya hidup berkeadilan dan berkesejahteraan.

“Nah, inilah cita-cita yang pada waktu aku masih kecil sudah tertanam di dalam dadaku.”

Tak kalah penting dari niat dan tekad dalam cita-cita, adalah semangat. Bung Karno lantas mencontohkan kemerdekaan Indonesia, yang didasari semangat. 

“Kita pada waktu itu mempunjai semangat berkobar-kobar. Semangat persatuan Indonesia, semangat merdeka, sekali merdeka tetap merdeka,” katanya.

Pada akhir pidatonya, Presiden Sukarno berpesan kepada para pemuda, agar mempunyai cita-cita setinggi bintang di langit. Dengan pendidikan Pancasila yang telah diberikan, Bung Karno berharap para pemuda, pelajar dan mahasiswa menjadi putra-putri Indonesia yang sejati.

“Putra-putri Indonesia yang benar-benar mengabdi kepada kepentingan umum, mengabdi kepada kebesaran bangsa dan tanah air,” tuntas Bung Karno. (*)

 

Sumber : tirto.id/tempo.co/voi.id/sindonews.com/eko okta

SHARE

KOMENTAR