PDI Perjuangan merupakan partai yang kenyang dengan asam garam politik, melewati fase proses sejarah, dimulai dari dibonsai saat era Orde Baru, diskenariokan politik belah bambu oleh penguasa saat itu, Soeharto hingga melambung raih dukungan terbanyak sehingga unggul dalam pemilu pada tahun 1999.
Bahkan, semasa menjadi partai oposisi, PDI Perjuangan kembali mampu memperjuangkan aspirasi rakyat. Hasilnya, pada pemilu berikutnya, partai besutan Megawati Soekanoputri ini kembali sebagai partai pemenang pemilu.
Tak hanya itu, survey yang digelar beragam lembaga pun sejak dua tahun terakhir selalu menempatkan PDI Perjuangan sebagai partai terunggul dibanding parpol lainnya. Teranyar, pada akhir Desember 2021, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis survei tren pilihan public, PDI Perjuangan masih jadi calon jawara pada gelaran Pemilu 2024 nanti, dengan elektabilitas 25.2 persen.
Survei SMRC tersebut dilakukan pada 8-16 Desember 2021 yang melibatkan 2.420 responden, dengan tingkat respons sebanyak 2.062 responden atau 85 persen dari sampel direncanakan. Populasi dipilih secara random dengan multistage random sampling dengan error sampling ±2,2 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
PDI, -nama parpol sebelum PDI Perjuangan- dibentuk pada 10 Januari 1973. Sejarah PDI Perjuanngan jika dirunut dimulai dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Ir Sukarno pada 4 Juli 1927. Saat itu, PNI bergabung dengan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik. Dan, selanjutnya berfusi menjadi PDI.
Tak ada hari ini tanpa hari kemarin. Demikian ungkapan bijaknya. Di Bogor, saat PDI masih diintervensi pemerintah Soeharto ada beberapa tokoh lawas yang ikut berjuang mendukung kepemimpinan Megawati dengan menggelar aksi unjuk rasa. Mereka yakni alm M Sahid, pada tahun 1999 silam, menjabat sebagai Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Bogor, alm Lismo Handoko, alm Tryono dan beberapa tokoh banteng lainnya. Selain itu, diantaranya ada nama TB Raflimukti, Jefri Ricardo, Rudi Harsa Tanaya, NFR Nasution. Sementara, di Kabupaten Bogor, tokoh lawas PDI Pro Mega saat itu, diantaranya Karyawan Faturahman, hingga Albert Pribadi (red. kini pengurus Partai Nasdem).
Menurut kesaksian aktivis FPPHR sekaligus Aldera yang mendukung kepemimpinan Megawati, Mulyadi Kimung, saat pra Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli), para kader PDI Pro Mega saat itu, mengajak serta aktivis mahasiswa Universitas Pakuan (Unpak) Bogor untuk ikut menjaga Kantor DPP PDI, di Jalan Diponegoro, Jakarta. Ajakan itu pun disambut. Mereka pun kerap menggelar mimbar bebas. Disana, mereka menggunakan ikat kepala GAS, Gerakan Anti Suryadi atau bisa diartikan Gerakan Anti Soeharto.
Tak hanya itu, serangkaian aksi demo berujung bentrokan dengan aparat pun dilalui para aktivis PDI asal Bogor saat itu, bersama para aktivis Unpak, saat gelar demonstrasi di Gambir, Kopo, Soekarno Hatta Bandung hingga perebutan kantor PDI di Lawanggintung Kota Bogor. Tuntutan unjuk rasa saat itu, menolak Suryadi dan mendukung Megawati sebagai ketua umum PDI.
Penyederhanaan partai saat itu tak lepas dari kebijakan kontra-revolusi, depolitisasi, oleh rezim Orde Baru. Salah satu mastermind-nya adalah tokoh intelijen, Ali Moertopo. Strategi kontra revolusi dan depolitidasi itu bisa ditelusuri dalam buku 25 Tahun Akselerasi Modernisasi Pembangunan yang ditulis oleh Jenderal asal Blora, Jawa Tengah itu.
Rezim berkuasa, Suharto, ketika itu, menggunakan Golkar sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan sampai 32 tahun lamanya. "Dengan demikian, rakyat di desa tidak perlu menghabiskan waktu... dalam kancah perjuangan politik. Tetapi menyibukan diri dalam usaha-usaha pembangunan," demikian tulis Ali Moertopo dalam buku tersebut.
Skenario politik Ali Moertopo efektif. Orde Baru menikmati stabilitas politik dan ekonomi sepanjang dekade 1970-an. Hingga, akhirnya keberadaan kelompok Petisi 50 serta munculnya Megawati Soekarnoputri, trah Sukarno, dianggap sebagai lawan Orba.
Max Lane, penulis berkebangsaan Australia, dalam bukunya Unfinished Nation, menulis kemunculan sosok Megawati, yang berasal dari trah Sukarno, sukses mengatrol suara PDI. Mega semakin populer. Perolehan kursi PDI di parlemen juga semakin besar. Meningkatnya popularitas Mega, membuat was-was penguasa Orde Baru.
Konflik antara Suharto dan Megawati, tulis Max, kemudian memuncak pada Juli 1996. Waktu itu, pemerintah hanya mengakui kongres PDI yang memenangkan Soerjadi, pendukung rezim, dan bukan Megawati yang mengantongi dukungan para kader PDI. "Mereka mencabut pengakuan hukum bagi Megawati, menyingkirkan secara hukum dari politik formal," tulis Max dalam buku tersebut. Puncak konflik, meletuslah peristiwa pada 27 Juli 1996 atau Peristiwa Kudatuli. Moementum itu berdampak meningkatnya aksi-aksi protes mulai berjalan. Singkatnya, pada tahun 1999, PDI Perjuangan menuai dukungan rakyat, dan menang pemilu. Dirgahayu PDI Perjuangan ke-49.
(Penulis : Wakil Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Bogor, Bidang Politik, Eko Octa)