Aartreya – Jelang lengsernya Soeharto, 21 Mei 1998 ditandai dengan lahirnya Refromasi ada banyak cerita berdarah mendahului perjalanan kelam sejarah bangsa. Diceritakan Cici Mintarsih atau Cici Cempaka, SPd, MSi yang saat itu kuliah di Universitas Pakuan, Bogor, dan tergabung dengan Front Pemuda Penegak Hak Rakyat (FPPHR), setiap hari nyaris tidak ada hari libur berunjuk rasa. Tuntutannya, Soeharto turun dan beberapa agenda Reformasi lainnya.
“Saya bukan tokoh penggerak. Namun, saya ikut turun berunjuk rasa. Beberapa kawan aktivis 98 yang dulu ikut turun ke jalan dari kampus Unpak kini sudah tiada. Mereka yakni mendiang Adi Rianda, Imral Gusti, Iwan Bucos, Hendrik Jambul, Bowie dan beberapa teman lainnya,” kata Cici kepada media online ini Senin, (19/5/2025).
Dia bertutur, saat itu FPPHR yang diketuai Fery Aryanto memiliki dua sekretariat di Gang Toib, Ciheuleut dan Jalan Janaka, Bantarjati, Kota Bogor.
“Suasana tegang saat meletus kerusuhan di Jakarta, pada Rabu, 13 Mei 1998. Perusuh yang tak diketahui identitasnya melakukan penjarahan dan kekerasan dengan sasaran warga Tionghoa di Jakarta. Bersamaan dengan itu terjadi pembakaran mall Yogya di sejumlah tempat pada waktu yang sama di Jakarta. Kebakaran Yogya Dept Store Pasar Anyar juga terjadi saat itu,” kenangnya.
Kerusuhan yang terjadi di Jakarta serta beberapa daerah, sebutnya memicu kemarahan massa aksi mahasiswa.
“Kekacauan itu dipicu oleh krisis finansial Asia yang terjadi sejak tahun 1997. Akibat krisis yang berkepanjangan terdebut mahasiswa melakukan aksi demonstrasi besar-besaran menuntut reformasi,” tukas Cici.
Mahasiswa dari berbagai kampus, lanjutnya, menentang pemerintahan Orde Baru dan menuntut Presiden Soeharto mundur. Puncak aksi yang dilakukan mahasiswa adalah tewasnya empat mahasiswa Trisakti yaitu, Elang Mulia, Heri Hartanto, Hendriawan, dan Afidin Alifidin Royan. Mereka tewas ditembak aparat saat melakukan aksi damai di Grogol pada 12 Mei bersama sekitar 6000-an pengunjuk rasa.
“Pemerintahan Orde Baru dinilai pengnjuk rasa melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) hingga menyeret negara ke pusaran krisis moneter. Demonstrasi marathon yang dilakukan mahasiwa berujung tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti. Peristiwa ini makin memicu amarah sehingga kerusuhan pecah di berbagai titik di Jakarta,” tukasnya.
Dia melanjutkan, 5 hari jelang Soeharto lengser, pada 16 Mei 1998, ia dan beberapa rekan satu kampus bertolak ke Jakarta bergabungn dengan mahasiwa dari beberapa kampus.
“Kami gunakan KRL ke DPR, sebelumnya transit di Pasar Minggu, saat malam, bergabung dengan mahasiwa Universitas Nasional. Esoknya, gunakan mikrolet konvoi menuju Gedung DPR. Di DPR, kami dan beberpa mahasiwa dari kampus berbeda mennggelar unjuk rasa dengan menginap. Mulanya, demonstrasi digelar didepan DPR. Selanjutnya, pada 18 Mei 1998 mahasiswa berhasil pendudukan gedung DPR/MPR RI. Momen ini yang menjadi peristiwa bersejarah kelahiran era reformasi pada 21 Mei 1998,” ucap Cici.
Meski uang di kantong tak cukup, namun saat itu para pengunjuk rasa di DPR dibantu komunitas Suara Ibu Peduli mengkonsumsi nasi bungkus.
“Pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto akhirnya mundur. Mundurnya Soeharto itu bukan inisiatif pribadi. Presiden Kedua RI itu baru sadar diri setelah muncul sejumlah aksi, termasuk Tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa, kemudian pecahnya Kerusuhan Mei 1998,” pungkas wanita yang kini berprofesi sebagai dosen juga Wakil Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Bogor. (Eko Okta)