Aartreya – Upaya penguasa Orde Baru membonsai PDI (red. sebelum bernama PDI Perjuangan) dengan menekan Megawati di era Rezim Soeharto ternyata mendapat perlawanan keras. Bukan hanya dari para kader PDI, tapi rakyat ikut memberi dukungan. Bos Orba yang berkuasa, Soeharto pun merasa terancam.
Buntutnya, kejahatan politik pun dilakukan dengan menggunakan massa bayaran para pria berperawakan kekar menyerang Markas DPP PDI Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta Pusat. Peristiwa itu dikenal luas sebagai Kudatuli, akronim dari Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli.
Putri Soekarno, Megawati memang sangat bernyali. Wanita yang akrab disapa Adis itu bahkan mampu jadi Ketua Umum PDI yang selanjutnya berubah nama menjadi PDI Perjuangan pada 10 Januari 1999.
Megawati yang semula dianggap tak memiliki karisma oleh Orba yang melakukan kejahatan politik dan ingin ditaklukan, ternyata meleset. Nyatanya, Megawati mampu membungkam rezim Seoharto kala itu setelah rakyat Indonesia mendukung langkah putri Bung Karno.
Menukil voi.id, kala itu, Megawati dianggap sebagai ikon perlawanan terhadap Orba. Figur Megawati bahkan terlampau kuat. Ia digadang-gadang mampu menjadi pilihan alternatif untuk menjadi Ketua Umum PDI. Pucuk dicinta ulam tiba, Megawati bernyali untuk menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI secara de facto pada Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Surabaya pada 1993.
“Waktu berdetak berpacu dengan akhir izin kongres. Aparat polisi sudah bersiap-siap menunggu dentang pukul 00:00. Pada pukul 00.00 itulah ijin KLB berakhir, dan polisi mengambil alih ajang KLB. Di kegelisiahan malam itu, ketika pukul 00:00 kurang 10 menit, Megawati tiba-tiba keluar dari kamar. Pekik gemuruh membelah keheningan menyambut kemunculan Megawati. Ia gunakan pengeras suara suaranya, Megawati melancarkan pidatonya.”
“Dan ini yang paling tidak terduga oleh siapa pun, Megawati menyatakan diri secara de facto sebagai Ketua Umum DPP PDI. Pekik sorak pun tak tertahankan. Dan pada bagian akhir pidato pendeknya tanpa teks itu Megawati mengutip karya pujangga besar India, Swami Vivekananda: Tegakkan mukamu menjadi manusia sejati untuk menegakkan kebenarannya,” tertulis dalam buku Tragedi Megawati: Revisi Politik Massa di Indonesia (2000).
Pemerintah Orba pun bersiasat. Mereka sengaja membuat KLB baru di Medan pada 1996. KLB itu memenangkan Soerjadi sebagai ketua Ketua Umum PDI yang sah. Sedang status kubu Megawati dianggap tidak sah.
Dualisme di dalam tubuh PDI pun terjadi. Bahkan, lebih parah karena mengundang tragedi kemanusiaan seiring aktifnya kubu Megawati menggelar Mimbar Bebas di depan Markas PDI. Peristiwa 27 Juli 1996 atau disingkat Kudatuli pun terjadi.
Kubu Megawati yang mendiami markas ‘Banteng’ di Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta pusat diserang simpatisan kubu Soerjadi yang didukung unsur militer Orba. Wartawan senior Indonesia, Rosihan Anwar menjadi salah satu saksi peristiwa berdarah tersebut. Pun kebetulan kejadian itu berlangsung tak jauh dari rumahnya.
Ia melihat jalan raya di sekitar lokasi kala itu telah dipenuhi oleh anggota-anggota ABRI. Ambulans pun lalu lalang di sekitar lokasi. Ia pun sudah menduga peristiwa yang kemudian memakan korban jiwa sebanyak lima orang meninggal dunia dan ratusan lainnya luka-luka didalangi oleh Soeharto dan militer. Tujuannya tak lain untuk ‘mengusir’ Megawati dari peta politik Indonesia.
“Akhirnya perwira Polri yang tahu saya wartawan senior, mengizinkan insan-insan pers maju lagi 25 meter. Sampailah kami di jembatan kecil yang melingtangi kali Jalan Surabaya. Dari sana kami bisa memandang luas ke kiri. Tampak depan markas PDI laki-laki tegap berpakaian hitam dengan tanda gambar Banteng, dengan potongan rambut cepak, beramai-ramai melemparkan batu ke rumah yang sedang terbakar.”
“Serangan itu dibalas dengan tidak kurang sengitnya oleh pengikut Megawati dengan timpukan batu pula. Seorang penduduk memberitahukan kepada saya bahwa sejak pagi-pagi benar bus-bus datang dan berhenti di jalan sekitar bioskop terdekat. Megaria. Dari bus-bus itu keluar laki-laki yang menjadi barisan penyerang markas PDI. Asap mengepul dari atap yang gentengnya sudah pecah-pecah. Tidak kelihatan mobil pemadam kebakaran. Lama-lama rumah ini bisa terbakar habis, pikir saya,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil ‘Petite Histoire’ Indonesia Jilid 1 (2004). (Dari berbagai sumber/ Eko)