POLITIK belah bambu diduga kuat tengah dimainkan dengan memunculkan nama Gibran Rakabuming Raka. Tujuannya, diduga untuk memecah persatuan para pendukung Jokowi yang mayoritas berlatarbelakang PDI Perjuangan beralih dukungan dari Ganjar Pranowo.
Sebagaimana diketahui, politik belah bambu yakni dianalogikan seperti belahan yang satu diangkat dan belahan lainnya diinjak. Semakin ingin satu belahan bambu diangkat lebih tinggi, semakin kuat pula kaki menekan belahan bambu yang sedang tertinjak tadi, demikian sebaliknya.
Politik belah bambu merupakan sebuah strategi upaya menempatkan lawan politik, kompetitor atau saingannya berada pada posisi di bawah, sementara di bagian lain mengangkat pihak yang mendukungnya.
Fenomena Gibran yang belakangan ini jadi trending topik dan dikaitkan dengan menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait permohonan gugatan batas minimal usia cawapres, tak berbeda dengan politik belah duren. Istilah belah duren seperti diketahui dipopulerkan lewat pedangdut ternama almarhum Julia Perez alias Jupe. Tapi, yang kita bahas disini bukanlah belah duren ala Jupe. Melainkan kita membahas belah duren dari sudut pandang politik.
Politik belah duren yang dimaksud yakni membagi kekuasaan yang dilakukan dengan cara menyiarkan ke masyarakat. Seolah-olah melibatkan dan untuk masyarakat padahal itu hanya skenario kelompok dengan tujuan menebar ‘aroma’ menyengat dan membius, karena buahnya sudah dimakan oleh orang-orang terdekat yang dengan mudah mendapatkan duren itu.
Dan, fenomena politik kekinian ini boleh juga disebut dengan politik lato-lato. Politik lato-lato merupakan pengistilahan dari pembenturan obyek yang sama yang dimainkan oleh tangan usil atasnama syahwat politik. Pengatur sekenario tentunya akan tertawa terpingkal-pingkal karena libido permainannya dapat tersalurkan, puas dengan melihat dan bisa membenturkan serta berseteru sesama.
Jika dilihat kilas balik sebelumnya, pada tahun 2021 lalu sebelum Gibran menjabat Walikota Solo, Megawati Soekarnoputri memberi pintu kepada putra Jokowi hingga akhirnya sukses menjadi kepala daerah. Jalan politik Gibran boleh dibilang mulus.
Namun, terbaru, Gibran digoda kubu sebelah dengan tawaran Cawapres Prabowo. Tentu saja tawaran ini bukan karena Gibran memiliki segudang prestasi, namun karena ia adalah putra Jokowi. Dan, diduga kuat tujuan politiknya diharapkan hadirnya Gibran sebagai cawapres bisa memecah atau mengalihkan dukungan ke Prabowo dari Jokowimania.
Saat ini, di tahun 2023, Gibran sendiri usianya yang baru 36 tahun dan belum memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memang mensyaratkan capres-cawapres minimal berusia 40 tahun.
Namun, ketentuan tersebut saat ini tengah digugat oleh sejumlah pihak ke MK. Sedikitnya, ada 12 perkara uji materi aturan syarat usia capres-cawapres yang diajukan ke MK. Para pemohon, mulai dari partai politik, kepala daerah, hingga mahasiswa.
Petitum para pemohon perkara ini beragam. Ada yang meminta MK menurunkan syarat usia minimal capres-cawapres menjadi kurang dari 40 tahun, seperti yang diajukan oleh PSI yang meminta usia minimal menjadi 35 tahun.
Ada pula yang meminta syarat usia capres-cawapres diturunkan menjadi 30 tahun, 25 tahun, bahkan 21 tahun dengan alasan disamakan dengan usia minimal calon anggota legislatif. Selain itu, ada pemohon yang meminta MK membuat batas maksimal usia capres-cawapres 65 tahun atau 70 tahun.
Sebagaimana diketahui, putusan MK akan dibacakan pada tanggal Senin, 16 Oktober 2023 mendatang dan sudah bisa dipastikan akan mengubah peta politik. Segala kemungkinan bisa terjadi pasca keputusan MK, diantaranya mengabulkan, menolak, atau bisa juga mengabulkan tapi baru berlaku untuk pilpres yang akan mendatang.
Lalu, bagaimana akhir ceritanya? Jawabannya, tentu pada Senin, 16 Oktober, menunggu putusan MK. Dan, semoga Gibran sebagai putra Jokowi tak tergoda ada game politik dibalik ini, karena nama baik Jokowi pun ikut dipertaruhkan.
Akhir kata, mari bersulang secara online sruput kopi kita wahai para pengamat politik di Tanah Air. Tak perlu ‘kesusu’ menyikapi. Apakah politik belah bambu, politik belah duren atau politik lato-lato akan efektif? Kesimpulannya, silahkan ditafsirkan dengan perspektif masing-masing.
(Penulis, aktivis 98, Eko Okta Ariyanto)