JAKARTA – Buntut dari ulah Arteria Dahlan, DPP PDI Perjuangan akhirnya menyampaikan permintaan maaf. Disampaikan Ketua DPP PDIP Said Abdullah, pernyataan itu diucapkan anggota Komisi III, setelah sebelumnya Arteria dahlan juga sampaikan ungkapan pernyataan senada.
Secara lugas, Said Abdullah mengaku malu dengan Arteria Dahlan. Menurutnya, apa yang disampaikan rekannya di DPR tersebut tidak mencerminkan Indonesia yang seperti manik-manik mutiara, disusun atas keragaman suku hingga bahasa. Legislator dapil Madura, Jawa Timur itu juga menyebut sejarah Bandung Lautan Api, yang pantang dilupakan.
Legislator Jawa Timur itu menekankan tidak bermaksud dan niat menjelek-jelekkan masyarakat Jawa Barat, khususnya suku Sunda. Arteria menjelaskan pernyataannya meminta kajati bicara memakai bahasa Sunda diganti adalah semata untuk mengingatkan. Maksud Arteria, jangan sampai ada anggapan yang tidak-tidak karena tak semua orang mengerti bahasa Sunda. Ia pun kembali menyampaikan, permohonan maaf sebesar-besaranya kepada masyarakat Sunda.
Berikut ini permintaan maaf Ketua DPP PDIP Said Abdullah, Jumat (21/1/2022):
Permohonan Maaf Warga ke Warga Jabar
Indonesia laksana manik manik mutiara. Keindonesiaan disusun atas keragamaan banyak hal, suku, bahasa, agama, budaya, ritual, dan masih banyak lagi. Mengerdilkan, apalagi melecehkan salah satu manik maniknya sama halnya merobohkan tiang Keindonesiaan. Oleh sebab itu haram jadah hukumnya mempersoalkan, melecehkan, atau tindakan apapun yang menggerogoti tiang tiangnya Indonesia.
Sungguh saya terkejut, bahkan malu mendengar ucapan saudara saya separtai Arteria Dahlan yang meminta Jaksa Agung untuk memecat Kajati yang menggunakan Bahasa Sunda dalam rapat. Ungkapan itu disampaikan Saudara Arteria Dahlan di Rapat Kerja Komisi III dengan Jaksa Agung. Sesungguhnya menggunakan bahasa daerah sebagai selingan, termasuk kita para anggota DPR adalah hal yang lumrah. Kita semua adalah orang orang daerah, sejak kecil terbiasa dengan dialek daerah. Saya orang Madura, bukan hanya logat Bahasa Indonesia saya kental dengan dialek Madura, saya juga terkadang menyelipkan Bahasa Madura dengan kawan kawan saat rapat di Badan Anggaran. Demikian kawan kawan DPR dan mitra kerja,kerja kerap terselip menggunakan Bahasa Jawa, Minang, Bugis, dll.
Sekalipun DPP dan Fraksi DPR Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan telah memberi peringatan dan sanksi Saudara Arteria Dahlan atas perkataannya yang arogan tersebut, namun luka warga Sunda itu tidak serta merta bisa sembuh. Saya sangat memahami kalau luka batin warga Sunda itu dalam. Kita wajib tahu, tak ada Indonesia tanpa perjuangan rakyat Sunda. Bahkan sesaat setelah Republik Indonesia di proklamirkan oleh Soekarno-Hatta, tak berselang lama dari Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, kita juga mengenal Bandung Lautan Api.
Bandung lautan api adalah saksi sejarah orang orang Sunda mempertahankan kemerdekaan. Peristiwa itu pecah ketika komandan pasukan sekutu Mac Donald di Bandung meminta Gubernur Jawa Barat mengosongkan Bandung dari pasukan pasukan tentara rakyat selambatnya pukul 12.00 tanggal 29 November 1945. Namun rakyat Jawa Barat pantang menyerah, peperangan dengan tentara Sekutu yang diboncengi Belanda terus terjadi. Puncaknya Pada tanggal 23 Maret 1946, sekutu menyampaikan ultimatum kedua kepada Perdana Menteri Syahrir agar selambat-lambatnya mulai pukul 24.00 pada 24 Maret 1946 until meninggalkan Bandung sejauh 10 km. Tidak terima Bandung dikuasai sekutu, tentara dan rakyat Indonesia di Bandung membumihanguskan Kota Bandung agar tidak dikuasai sekutu. Pengorbanan rakyat Sunda ini kita kenang sebagai Bandung Lautan Api hingga kini.
Tidak ada kemerdekaan Indonesia tanpa urun pikir dan tenaga tokoh tokoh Sunda di BPUPKI dan PPKI. Kita mengenal Raden Iwa Kusuma Sumantri (Ciamis), Raden Wiranata Kusuma (Bandung), Raden Oto Iskandar Dinata (Bandung), Mr Achmad Subardjo (Kerawang), Prof. Dr. MA Kusuma Atmadja (Purwakarta), KH Abdul Halim (Majalengka), Jenal Asikin Wijaya Kusumah (Tasikmalaya), Wiranatakoesoema V (Bandung) adalah sederet tokoh tokoh Sunda yang mecurahkan segala tenaga, pikir dan akal budi untuk mempersiapkan kemerdekaan republik ini.
Tak kurang Ir Soekarno atau yang kita kenal Bung Karno, bapak bangsa kita sejak muda digembleng dan menjalani masa pergerakannya di tlatah Pasundan. Lulus dari HBS, Bung Karno melanjutkan studi ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil pada tahun 1921. Kematangan intelektualitas Bung Karno makin besar saat beliau mendirikan Algemeene Studie Club (ASC) bersama para pemikir dari Pasundan. Kelompok studi inilah yang kemudian mengilhami berdirinya Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1929 di Bandung.
Jas Merah atau singkatan jangan sekali kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Bila kita telusuri jejak sejarah PDI Perjuangan adalah rangkaian panjang dari cita cita dan kelahiran PNI yang di dirikan di Bandung, dan itu diantaranya adalah kontribusi besar dari masyarakat Sunda.
Bahkan puncak kematangan intelektualitas Bung Karno terjadi di telatah Sunda. Dari kontemplasi mendalam, dari dialog penguasaan teks yang mendalam dan pengembaraan konteks yang luas, Bung Karno merumuskan ajaran Marhanisme juga di tanah Pasundan. Bermula dari dialog mendalam dengan Mang Aen, petani miskin dari Bandung ini menjadi "manifesto hidup" ajaran Marhaenisme yang dirumuskan oleh Bung Karno. Ajaran ajaran itu terus menjadi garis perjuangan kami di PDI Perjuangan.
Begitu besarnya pengaruh Bung Karno, dan tokoh tokoh Sunda dalam pergulatannya mendirikan negara ini. Sekali lagi saya tertampar malu menghadapi kenyataan dari sikap Saudara Arteria Dahlan. Kader sekaliber Arteria, yang telah duduk menjadi anggota DPR lebih dari sekali, tetapi kurang cermat dan hati hati berbicara, apalagi itu menyangkut hal besar, tiang penyangga republik. (Nesto)