Perjalanan Sejarah Pasang Surut PDI Perjuangan (Bagian 1)

1507
Megawati pidato di kantor PDI sebelum meletus Peristiwa 27 Juli 1996. (Foto: Repro buku Peristiwa 27 Juli)

Partai besutan Megawati Soekarnoputri yang sebelumnya bernama PDI melewati masa pasang surut perjuangan yang panjang. Bermula ketika Orde Baru ingin menyederhanakan partai politik (parpol) melalui proses penggabungan atau fusi dari parpol di masa Orde Lama.

Gagasan fusi parpol pertama kali dilontarkan pada 7 Januari 1970. Saat itu Presiden Soeharto memanggil sembilan pimpinan partai politik untuk berkonsultasi secara kolektif. Dalam pertemuan konsultasi tersebut, Soeharto melontarkan gagasan pengelompokan partai politik.

Lima parpol yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Murba, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) (IPKI) sepakat melebur menjadi satu dengan nama Partai Demokrasi Indonesia (PDI), 10 Januari 1973.

PDI menggelar musyawarah nasional (munas) pertama pada 20 hingga 24 September 1973. Namun, tak ada hasil signifikan yang dicapai dalam Munas tersebut. Bahkan, keinginan untuk menggelar Kongres I PDI tak kunjung terlaksana dan terus tertunda akibat konflik internal. Kongres I PDI akhirnya diselenggarakan pada 12 hingga 13 April 1976. Aroma intervensi pemerintah pada kongres itu sangat kuat. Terbukti, rezim Soeharto saat itu ikut melakukan campur tangan.

Lima tahun berselang, Kongres II PDI diselenggarakan tepatnya pada 13 hingga 17 Januari 1981. Campur tangan pemerintah juga masih terlihat di kongres tersebut, bahkan semakin kuat. Setelah itu, Kongres III PDI diselenggarakan sebelum Pemilu 1987, tepatnya pada tanggal 15 hingga 18 April 1986. Kongres ini semakin menegaskan sangat tergantungnya PDI pada pemerintah. Kongres III PDI akhinya gagal dan menyerahkan penyusunan pengurus kepada Pemerintah.

Konflik internal terus berlanjut sampai dilaksanakannya Kongres IV PDI di Medan, Sumatera Utara pada 21 hingga 25 Juli 1993. Dalam Kongres tersebut muncul beberapa nama calon Ketum DPP PDI antara lain Soerjadi, Aberson Marle Sihaloho, Budi Hardjono, Soetardjo Soerjogoeritno, dan Tarto Sudiro. Muncul pula nama Ismunandar yang merupakan Wakil Ketua DPD DKI Jakarta.

Budi Hardjono saat itu disebut-sebut sebagai kandidat kuat yang didukung pemerintah. Tarto Sudiro maju sebagai calon ketum yang mendapatkan dukungan penuh dari Megawati Soekarnoputri. Saat itu posisi Megawati belum bisa tampil mengingat situasi dan kondisi politik masih belum memungkinkan.

Akhirnya, Soerjadi yang merupakan calon petahana kembali terpilih secara aklamasi sebagai Ketum DPP PDI. Namun, belum sampai penyusunan kepengurusan suasana kembali ricuh karena demonstrasi yang dipimpin Jacob Nuwa Wea berhasil menerobos masuk ke arena Kongres.

Kondisi demikian membuat pemerintah mengambil alih melalui Mendagri Yogie S. Memed dan mengusulkan membentuk caretaker. Dalam rapat formatur yang dipimpin Latief Pudjosakti Ketua DPD PDI Jatim pada tanggal 25 hingga 27 Agustus 1993 akhirnya diputuskan susunan resmi caretaker DPP PDI.

Nama Megawati akhirnya diusung warga PDI untuk menjadi Ketum DPP PDI menyusul gagalnya Kongres IV PDI. Pemerintah mencoba mengadang keinginan warga PDI tersebut dengan memunculkan larangan mendukung pencalonan Megawati dalam Rapimda PDI Sumatera Utara pada 19 Oktober 1993.

Langkah pemerintah itu gagal karena akhirnya Megawati dinyatakan sebagai Ketum DPP PDI periode 1993-1998 secara de facto dalam Kongres Luar Biasa (KLB) yang digelar pada 2 hingga 6 Desember 1993 di Surabaya, Jawa Timur. Megawati kemudian dikukuhkan sebagai Ketum PDI secara de jure dalam Munas PDI yang diselenggarakan pada 22 hingga 23 Desember 1993 di Jakarta. Namun, hal itu belum mengakhiri konflik internal PDI. Kelompok Yusuf Merukh membentuk DPP PDI Reshuffle yang walau tidak diakui oleh pemerintah tetapi kegiatannya tidak pernah dilarang.

Di sisi lain, Soerjadi terus bergerak dengan gencar mencari dukungan ke daerah-daerah agar bisa menggelar Kongres. Dari 28 pengurus DPP PDI, 16 orang anggota DPP PDI berhasil Soerjadi rangkul. Meski ditentang, Kelompok Fatimah Achmad yang didukung pemerintah tetap menyelenggarakan Kongres pada 22 hingga 23 Juni 1996 di Medan. Warga PDI yang tetap setia mendukung Megawati berunjuk rasa besar-besaran pada 20 Juni 1996 yang berakhir bentrok dengan aparat dan dikenal dengan Peristiwa Gambir Berdarah. (Bersambung)

SHARE

KOMENTAR