Meskipun masa pendukung Megawati menolak keras Kongres Medan, pemerintah tetap mengakui hasil Kongres tersebut. Pemerintah mengakui secara formal keberadaan DPP PDI hasil Kongres Medan dan menyatakan PDI hasil Kongres Medan sebagai peserta Pemilu 1997. Soeharto menerima 11 pengurus DPP PDI hasil Kongres Medan yang dipimpin Soerjadi selaku Ketum dan Buttu Hutapea selaku Sekretaris Jenderal pada 25 Juli 1996.
Hal ini pun membuat posisi Megawati dan para pengikutnya semakin terpojok. Masa pendukung Megawati menggelar Mimbar Demokrasi di halaman Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro hingga 27 Juli 1996. Hari itu, kantor DPP PDI diserbu ratusan orang berkaos merah yang bermaksud mengambil alih kantor DPP PDI. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Peristiwa 27 Juli atau Kudatuli yang banyak menelan korban jiwa.
Pascaperistiwa Kudatuli, Megawati beserta jajaran pengurus tetap eksis walaupun dengan berpindah-pindah kantor dan aktivitas yang dilakukan di bawah pantauan pemerintah. Pada Pemilu 1997 Megawati melalui pesan hariannya menyatakan bahwa PDI di bawah pimpinannya tidak ikut kampanye atas nama PDI.
Pemilu 1997 diikuti oleh PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi dan hasil Pemilu menunjukkan kuatnya dukungan warga PDI kepada Megawati karena suara PDI merosot tajam dan hanya berhasil meraih 11 kursi DPR. Angin segar bagi PDI pimpinan Megawati datang pada 1998. Di tengah besarnya keinginan masyarakat untuk melakukan reformasi politik, PDI di bawah kepemimpinan Megawati kian berkibar. Pasca-lengsernya Soeharto, dukungan terhadap kepemimpinan Megawati pun semakin kuat.
Selanjutnya, PDI pimpinan Megawati menyelenggarakan Kongres V di Denpasar, Bali pada pada 8-10 Oktober 1998. Dalam Kongres ini, Megawati terpilih kembali menjadi Ketua Umum DPP PDI periode 1998-2003 secara aklamasi. Meskipun pemerintahan sudah berganti, yang diakui Pemerintah masih tetap PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi dan Buttu Hutapea.
Agar bisa mengikuti Pemilu 1999, Megawati kemudian mengubah nama PDI menjadi PDI Perjuangan atau yang lebih dikenal dengan PDIP pada tanggal 1 Februari 1999. Nama itu kemudian disahkan oleh Notaris Rakhmat Syamsul Rizal dan dideklarasikan di Istora Senayan, Jakarta pada 14 Februari 1999
Pemilu 1999 membawa berkah bagi PDIP dengan tampil sebagai pemenang pemilu dan berhasil menempatkan wakilnya di DPR sebanyak 153 orang. Bahkan, Megawati terpilih sebagai Wakil Presiden mendampingi KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur yang terpilih dalam Sidang Paripurna MPR sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia.
PDIP kemudian untuk pertama kalinya setelah berganti nama dari PDI melaksanakan Kongres pada 27 Maret hingga 1 April 2000 di Semarang, Jawa Tengah. Kongres ini menetapkan Megawati sebagai Ketum DPP PDI Perjuangan periode 2000-2005 secara aklamasi tanpa pemilihan, karena 241 dari 243 DPC mengusulkan nama putri Presiden pertama Indonesia itu sebagai Ketum DPP PDIP.
Sayang, meski tampil sebagai partai penguasa, PDIP tidak mampu meraih kemenangan dalam Pemilu 2004, baik di legislatif dan presiden. PDIP hanya mampu memperoleh suara di urutan kedua dengan perolehan 109 kursi DPR RI. Kongres II PDI Perjuangan diselenggarakan pada 28 hingga 31 Maret 2005 di Denpasar. Sejumlah nama pesaing Megawati pun mulai bermunculan ketika itu seperti Guruh Soekarnoputra, Laksamana Sukardi, Roy BB Janis, Arifin Panigoro, hingga dan Sophan Sophiaan.
Namun akhirnya, Kongres II PDIP mengukuhkan Megawati sebagai Ketum DPP PDIP 2005-2010 karena seluruh peserta dalam pandangan umumnya mengusulkan nama putri Proklamator RI itu. Sejak itu, Megawati menjadi simbol perjuangan partai berlambang banteng bulat tersebut. Terakhir pada Kongres IV PDI Perjuangan di Bali pada 8 hingga 12 April 2015, Megawati kembali dikukuhkan sebagai Ketum PDIP periode 2015-2020. (Dari berbagai sumber/ Nesto)