Catatan Pak E: Bung Karno dan Perjalanan Sejarah Hari Tani Nasional

1425
Bung Karno bersama petani

Setiap tanggal 24 September, pada tiap tahunnya, diperingati Hari Tani Nasional. Peringatan tersebut untuk mengenang sejarah perjuangan kaum petani dan perjuangannya agar terbebas dari penderitaan, juga intimidasi kaum petani berdasi atau cukong tanah.

Sejarahnya, penetapan Hari Tani Nasional dimulai pada masa pemerintahan Presiden pertama RI Ir. Sukarno dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 169 Tahun 1963. Keppres tersebut ditetapkan untuk mengenang terbitnya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) yang mengamanatkan pelaksanaan reforma agraria. Sehingga penetapan Hari Tani Nasional bisa dibilang sebagai sebuah pemuliaan tertinggi terhadap rakyat tani Indonesia.

Indonesia, dikenal sebagai Negara Agraris dengan sektor pertanian pernah mendominasi sebagai sumber mata pencaharian maupun sebagai penopang pembangunan. Sektor pertanian merupakan penyumbang PDB yang cukup besar. Namun, ironisnya, kesejahteraan petani belum termuliakan karena kerap tidak menutupi modal yang di gunakan. Bahkan, banyak lahan di sejumlah daerah sudah berganti pemilik dimiliki para cukong, berganti bangunan seperti vila, hotel dan sebagainya.      

Peringatan Hari Tani, menjadi pengingat bahwa pertanian yang kerap di gemborkan untuk menopang perekonomian bangsa, agar tidak mengabaikan peran petani. Dan, harus disejahterakan. Bukan sebatas jadi buruh tani, apalagi diperkosa haknya, mengingat Indonesia adalah negara agraris dan mayoritas rakyatnya adalah petani. Berikut perjalanan sejarah Hari Tani Nasional:

Awal Perjuangan

Sejak lepas dari cengkraman Belanda, pemerintah Indonesia selalu berusaha merumuskan UU Agraria baru untuk mengganti UU Agraria kolonial.

Pada tahun 1948, ketika itu ibu kota Republik Indonesia berkedudukan di Yogyakarta. Penyelenggara negara membentuk panitia agraria Yogya. Namun, akibat gejolak politik, usaha itupun kandas.

Setelah diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949 dan persetujuan antara Republik Indonesia dengan Belanda, atas pengakuan kedaulatan politik Negara Indonesia, maka ibukota RI kembali ke Jakarta. Kemudian, Panitia Agraria Yogya diteruskan di Jakarta pada tahun 1951, dengan nama Panitia Agraria Jakarta. Dalam perkembangannya, berbagai panitia yang telah terbentuk, gagal dan tersendat-sendat. Panitia Agraria Jakarta yang sempat mandeg diteruskan oleh Panitia Soewahjo (1955), Panitia Negara Urusan Agraria (1956), Rancangan Soenarjo (1958) dan Rancangan Sadjarwo (1960).

Membersihkan Sisa-sisa Kolonial

Belanda yang masih tidak rela melepaskan wilayah Irian Barat, terus mengulur penyelesaian. Hal ini kemudian membuat Indonesia memberikan tindakan tegas dengan membatalkan perjanjian KMB secara sepihak pada tahun 1956. Diikuti dengan nasionalisasi perkebunan-perkebunan asing.

Pemerintah RI kemudian mengeluarkan UU No 1 tahun 1958, tentang penghapusan tanah-tanah partikelir. Tanah tersebut oleh penguasa kolonial disewakan atau dijual kepada orang-orang kaya, dengan disertai hak-hak pertuanan (landheerlijke rechten). Hak pertuanan artinya sang tuan tanah berkuasa atas tanah, beserta orang-orang di dalamnya. Misalnya, hak mengangkat dan memberhentikan kepala desa, menuntut rodi atau uang pengganti rodi, dan mengadakan pungutan-pungutan. Hak dipertuanan itu seperti negara dalam negara.

Dengan UU No 1 tahun 1958 itu, hak-hak pertuanan hanya boleh dimiliki oleh negara. Kemudian upaya mengambil alih lahan asing ke tangan rakyat atau petani dilakukan dengan ganti rugi. Artinya, reforma agraria dikoordinasikan oleh pemerintah dengan cara ganti rugi untuk meminimalisasi adanya konflik.

RUU Pembaruan Agraria

Tibalah masa penantian selama 12 tahun, melalui prakarsa Menteri Pertanian 1959, Soenaryo. Rancangan Undang-Undang itu digodok Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang kala itu dipimpin Zainul Arifin.

Pada sidang DPR-GR tanggal 12 September 1960, Menteri Agraria saat itu, Mr Sardjarwo dalam pidato pengantarnya menyatakan, "...perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan, khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing."

Kemudian, pada pada 24 September 1960, RUU tersebut disetujui DPR sebagai UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau dikenal dengan Undang-Undang Pembaruan Agraria (UUPA). UU Pokok Agraria menjadi titik awal dari kelahiran hukum pertanahan yang baru mengganti produk hukum agraria kolonial.

Prinsip UUPA

UUPA 1960 merupakan payung hukum (Lex Generalis) bagi pengelolaan kekayaan agraria nasional. Kekayaan agraria nasional tersebut mengacu kepada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi "bumi dan air dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Undang-undang ini lahir dari semangat perlawanan terhadap kolonialisme, yang telah merampas hak asasi rakyat Indonesia selama ber-abad-abad melalui Agrariche Wet 1870.

Prinsip UUPA adalah menempatkan tanah untuk kesejahteraan rakyat. UUPA mengatur pembatasan penguasaan tanah, kesempatan sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak atas tanah, pengakuan hukum adat, serta warga negara asing tak punya hak milik. Tanggal ditetapkannya UUPA, yakni 24 September. Karena itulah kemudian setiap tanggal itu diperingati sebagai Hari Tani Nasional.

Soekarno dan Petani

Proklamator RI, sekaligus Presiden RI pertama Soekarno, tercatat dalam sejarah merupakan sosok presiden yang dikenal cukup dekat dengan petani. Marhaenisme, ideologi yang digagasnya, disebut-sebut terinspirasi dari seorang petani bernama Marhaen yang Soekarno temui di era 1926-an. 

Tak hanya itu, pada beberapa pekan terakhir di media sosial Soekarno ramai disebut-sebut sebagai penemu kata ‘petani’ yang merupakan akronim dari Penyangga Tatanan Negara Indonesia. Bagi para petani, sebutan itu tentu sangat membanggakan, apalagi yang menyematkannya adalah presiden pertama Indonesia.

(Penulis : Aktivis 98, Eko Octa)

SHARE

KOMENTAR