Guru bukan orang yang paling hebat, tapi banyak orang hebat karena guru. Demikian ungkapannya. Sebutan itu tak berlebihan karena guru adalah pilar dari pendidikan dan sering disebut dengan pahlawan tanpa tanda jasa.
Kekinian, tak sedikit banyak kalangan yang belum tahu makna Hari Guru. Padahal, sebutan guru tak asing lagi. Karena, tanpa jasanya siapapun akan mengerti banyak hal, salah satunya membaca.
Lahirnya Hari Guru bermula dengan PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) pada tanggal 25 Novembe 1945, tepatnya 100 hari pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia. Organisasi guru ini beranggotakan guru bantu, guru desa, kepala sekolah, hingga pemilik sekolah. Diperingatinya tanggal ini sebagai Hari Guru Nasional adalah berdasarkan Kepres (Keputusan Presiden) Nomor 78 Tahun 1994 hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada guru.
Pemaknaan Hari Guru adalah hari untuk menunjukkan penghargaan terhadap guru.
PGRI sendiri terbentuk digagas oleh Rh. Koesnan, Djajeng Soegianto, Amin Singgih, Soetono, Soemidi Adisasmito, Ali Marsaban, dan Abdullah Noerbambang. Semangat juang para guru pada masa kolonial Belanda melahirkan sebuah kesadaran. Sebanyak 32 organisasi guru yang berbeda latar belakang, paham, hingga golongan sepakat untuk bergabung dan mengubah nama dalam PGHB pada tahun 1932.
PGHB merupakan organisasi yang bersifat unitaristik dengan anggota yang terdiri dari guru bantu, guru desa, kepala sekolah, dan pemilik sekolah. Kebanyakan dari guru tersebut bertugas di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat Angka Dua dengan latar belakang pendidikan yang beragam. Sekolah-sekolah tersebut menggunakan bahasa daerah ditambah bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar.
Namun, karena kurangnya semangat kebersamaan dalam perjuangan berbuntut PGHB terkendala untuk memperjuangkan nasib anggotanya. Dikutip dari sejumlah sumber, selain PGHB, ada berbagai organisasi guru lain yang berkembang seperti Persatuan Guru Bantu (PGB), Perserikatan Guru Desa (PGD), Persatuan Guru Ambachtsschool (PGAS), Perserikatan Normaalschool (PNS), Hogere Kweekschool Bond (HKSB).
Pada era pendudukan Belanda, perjuangan guru selain sebagai pendidik juga menjadi perjuangan untuk memerdekakan Tanah Air. Usai PGHB wadah guru berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Namun, semasa pendudukan Jepang tak banyak yang dilakukan karena semua sekolah ditutup. Selanjutnya, pada 23-25 November 1945, diselenggarakan Kongres Guru Indonesia yang pertama. Kongres tersebut berlangsung di Surakarta, tepatnya di Gedung Somaharsana (Pasar Pon), Van Deventer School, Sekolah Guru Puteri (sekarang SMP Negeri 3 Surakarta).
Kongres Guru Indonesia yang pertama tersebut menghasilkan kesepakatan yaitu segala perbedaan antara organisasi guru yang didasarkan perbedaan tamatan di lingkungan pekerjaan, daerah, aliran politik, agama, dan suku, sepakat dihapuskan. Para pendiri PGRI merupakan guru-guru yang aktif mengajar, pensiunan guru yang aktif berjuang, dan pegawai pendidikan Republik Indonesia yang baru dibentuk. Sejak Kongres Guru Indonesia 1, semua guru di Indonesia menyatakan bersatu dalam satu wadah yaitu PGRI.
Guru merupakan pendidik semua insan, juga pengarah tujuan hidup manusia. Bagi siapapun yang menjadi guru, merekalah pelita harapan bangsa pencetak generasi. Sebagaimana dikatakan Ki Hajar Dewantara, “engkau (guru) bagai lilin yang selalu menerangi setiap kegelapan. Semoga setiap lelahmu melahirkan generasi tangguh dan berakhlak mulia”. Selamat Hari Guru Nasional.
(Penulis : Ass Dosen di STIT Universitas Mandiri dan praktisi pendidikan anak usia dini, Rita Wiluyanti)