Pengadaan Lahan Pasca Lahirnya Badan Bank Tanah

735
Dr Agus Surachman, SH SP1

Bank tanah atau land manager, merupakan istilah standar yang berlaku di dunia internasional. Bank tanah ini memungkinkan negara, memberikan tanah untuk rumah rakyat di perkotaan dengan harga yang sangat murah bahkan gratis. Bank tanah nantinya akan menginventarisasi, melakukan manajemen, serta mengatur peruntukan tanah. Karena, tanah merupakan sumber daya alam (SDA) maupun ruang pembangunan yang kebutuhannya semakin meningkat, misalnya untuk Reforma Agraria sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Seperti apa? Berikut soal bank tanah yang ditulis akademisi, sekaligus dosen pasca sarjana PTS di Bogor, Dr Agus Surachman, SH, SP1.   

LAHIRNYA, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 64 tahun 2021 tentang Badan  Bank Tanah, merupakan  pelaksanaan dari ketentuan pasal 135 Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta kerja. Bank tanah sendiri memiliki makna sebagai pencadangan tanah pemerintah ataupun swasta yang dilakukan sebelum kegiatan pembangunan dimulai sehingga menghindari spekulasi harga tanah, yang seringkali berakhir dengan sengketa yang berkepenjangan.

Bank Tanah adalah salah satu sarana manajemen sumber daya alam berupa tanah yang penting untuk meningkatkan produktivitas pemanfaatan tanah. Metode yang digunakan dalam bank tanah adalah kontrol pasar dan stabilisasi tanah pasar lokal. Karena itulah diperlukan regulasi sebagai payung hukum landasan pelaksanaan Bank tanah di Indonesia dan pengaturan terkait kelembagaan yang berwenang melaksanakan praktik Bank Tanah.

Badan tersebut berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah. meski tujuan bank tanah untuk memudahkan berbagai macam pembangunan, badan tersebut perlu dikawal.  Bisa saja pendirian bank tanah ini jadi jalan pintas sebagian pengusaha swasta atau oligarki untuk bisa mendapatkan tanah secara murah.

Bahkan gratis. Alasannya apabila ada proyek yang dianggap strategis oleh pemerintah yang dikerjakan swasta, pemanfaatan lahan tersebut difasilitasi negara. Tanah tersebut bisa dialihkan pengelolaannya ke swasta. Hal yang menjadi catatan adalah dalam pembebasan tanah tersebut pasti membutuhkan biaya yang cukup besar.

Namun, pengalihan ke swasta dikenakan biaya serendah mungkin. Artinya pemerintah yang menanggung biaya itu untuk kepentingan korporasi. Walaupun tanah itu milik negara, tapi dalam pengeloanya bisa dialihkan ke swasta, . bahwa pada pasal 127 UU Cipta Kerja berbunyi bank tanah dalam melaksanakan tugas dan wewenang bersifat transparan, akuntabel, dan nonprofit. Kata terakhir nonprofit itu  bisa menjadi masalah. “Itu bisa diasumsikan perlu bank tanah tidak perlu untung  dan hanya swasta saja yang mendapatkannya. Karena memang diamanatkan bank tanah tidak mencari profit ( pasal 4 PP  No. 4 tahun 2021).

Di negara lain, Bank Tanah telah diterapkan dengan konsep yang hampir sama, yakni Korea, Jepang, Thailand, Taiwan, Amerika Serikat, Vietnam, Peru, Tunisia, Abu Dabi, Mumbai, Kolombia, dan Brasil Di Korea, tepatnya Korea Selatan 84% penyesuaian kembali lahan (land readjustment) di masyarakat perkotaan.

Di Jepang, setidaknya 1/3 dari keseluruhan lahan  di perkotaan dikembangkan dengan land readjustment dengan faktor potensialnya yakni komunitas dan asosiasi masyarakat yang sangat beragam. Sementara di Taiwan, dalam satu dekade pertama seluas 2.100 Ha lahan di perkotaan ditata dengan land readjustment. Di Indonesia sendiri belum ada kelembagaan yang berfungsi untuk menjaga ketersediaan lahan, sehingga investor dan makelar-makelar semakin merajalela Saat ini.

Pemerintah terus melakukan pembahasan pembentukan Bank Tanah dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU) tersebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Pembentukan bank tanah meliputi luas tanah yang dapat dibeli, mekanisme pengambilan tanah (seluruh atau bagian), cara perolehan asal tanah (dari mekanisme jual-beli atau tanah terlantar), mekanisme pendanaan (usulan mekanisme masuk kas keluar kas) dan apakah tanah yang telah dibeli akan dijual kembali atau hanya disewakan.

Banyak kritik bermunculan, salah satunya adalah telah menghidupkan kembali “ domein verklaring” dijaman penjajahan belanda yang telah dihapus oleh undang-undang pokok agraria yaitu dengan adanya hak pengelolaan yitu hak mengusasi Negara  yang pelaksanaannya bisa dilimpahkan kepada pemegang hak pengelolaan.

Dari segi suasana kebatinan Para perumus UU Cipta Kerja mengabaikan UUPA sebagai terjemahan langsung hukum agraria nasional dari Pasal 33 UUD 1945. Azas dan cara-cara domein verklaring (Negaraisasi Tanah) yang telah dihapus UUPA1960, dihidupkan lagi dengan cara menyelewengkan Hak Menguasai Dari Negara (HMN) atas tanah.

Terlihat dalam pasal tersebut, seakan-akan Negara bertindak sebagai pemilik tanah, sehingga diberi kewenangan teramat luas melalui Hak Pengelolaan (HPL)/Hak Atas Tanah Pemerintah. HPL ini disusun sedemikian rupa menjadi powerful dan luas cakupannya. HPL dapat diberikan pengelolaannya kepada Pihak Ketiga. kemudiandari HPL ini dapat secara langsung diterbitkan macam-macam hak, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) kepada badan usaha dan pemilik pemodal. Tidak adanya pemberian batas waktu HGU dll.

Sehingga, moral hazard kembali muncul, atas dominasi HGU oleh badan usaha (BUMN/PTPN dan swasta). Kemudian perpanjangan dan pembaruan hak dapat dilakukan sekaligus. Disinyalir Bank Tanah Melayani Pemilik Modal, Sarat Monopoli dan Spekulasi Tanah. Untuk menampung, mengelola dan melakukan transaksi tanah-tanah hasil klaim sepihak negara (domein verklaring/negaraisasi tanah) dibentuk Bank Tanah (Bank Tanah).

Lembaga Bank Tanah diberi kewenangan mengelola HPL. Meski disebut sebagai lembaga non-profit namun sumber pendanaannya membuka kesempatan pada pihak ke tiga (swasta) dan hutang lembaga asing. Tata cara kerjanya pun berorientasi melayani pemilik modal. Sehingga para pemilik modal memiliki akses lebih luas dan proses lebih mudah memperoleh tanah melalui skema Bank Tanah. Proses negaraisasi tanah sebagai sumber HPL bagi Bank Tanah, hal ini dapat lebih membahayakan alas hak petani dan rakyat miskin atas tanah- tanahnya, yang belum diakui secara dejure oleh sistem negara antara birokrat dan investor. Bank Tanah juga berpotensi menjadi lembaga spekulan tanah versi pemerintah. Dari sudut pandang politik hukum pertanahan, kembali bergerak kearah dan berorientasi liberalisme untuk kepentingan pragmatis yaitu kepentingan pertumbuhan ekonomi.(*) 

SHARE

KOMENTAR