HARI INI, Selasa (21/5/2024) merupakan 26 tahun runtuhnya rezim orde baru. Kejatuhan rezim ini diawali dengan mundurnya Soeharto dari posisinya sebagai Presiden. Soeharto memimpin rezim orba selama 32 tahun. Selam itu, kebebasan berpendapat dan berekspresi dibelenggu.
Mundurnya Seoharto dipicu berbagai macam peristiwa, krisis moneter, penculikan aktivis, tragedi Trisakti, dan kerusuhan Mei yang mendorong ribuan mahasiswa untuk melakukan demonstrasi di gedung DPR/MPR Senayan.
Hingga pada 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden RI. Jabatan Presiden RI kemudian diserahkan kepada Wakil Presiden B.J. Habbibie. Sejarah Hari Peringatan Reformasi 21 Mei Sebelum Soeharto mengundurkan diri, banyak peristiwa mencekam yang mendahuluinya.
Berawal dari 1 Mei 1998, ketika Soeharto menyatakan bahwa reformasi bisa dilakukan setelah 2003. Soeharto diberi mandat MPR untuk menyelesaikan krisis moneter yang berujung pada krisis kepercayaan. Presiden RI ke-2 itu menuding adanya anasir PKI di balik kekacauan negeri seperti demo besar akhir-akhir ini, termasuk dari partai-partai lain yang telah dilarang.
Berikut perjalanan peristiwa sejarah jelang lengsernya Soeharto dan Rezim Orba :
1 Mei 1998: Krisis moneter Reformasi 98, H-20
Memasuki pertengahan 1997 krisis moneter (krismon) melanda Indonesia. Nilai rupiah anjlok terhadap dolar Amerika, yang berfluktuasi Rp12.000-Rp18.000 dari Rp2.200 pada awal tahun. Di tengah situasi ini, tim ekonomi Soeharto justru menaikkan tarif listrik dan bahan bakar minyak. Ekonomi rakyat semakin terpuruk. Soeharto menyiasati situasi rawan pangan dengan kampanye makan tiwul, yang disampaikannya melalui televisi.
Namun Soeharto tetap penuh percaya diri, dan melakukan perjalanan ke luar negeri. Ia terbang ke Jerman untuk berobat.
Krismon membuatnya nganggur dan memutuskan jadi pengamen. Beberapa kali dia datang ke rumah saya dan tak mau diberi sekadar pengganti ongkos. Kali terakhir dia datang saya berhasil memaksanya menerima sejumlah uang. "Lumayan untuk tambahan beli harmonika," katanya.
2 Mei 1998: Kemiskinan tersembunyi. Reformasi 98, H-19
Sidang Umum MPR 98 memberi gelar Bapak Pembangunan kepada Presiden Soeharto. Gelar ini diberikan karena Soeharto dianggap berhasil dalam pembangunan ekonomi. Selama 30 tahun kekuasaannya, pendapatan perkapita meningkat dari US$80 di tahun 1967 menjadi US$990 di tahun 1997. Ekspor meningkat dari US$ 665juta menjadi US$52 miliar.
Namun di balik angka-angka itu tersimpan angka kemiskinan yang besar jumlahnya. Bappenas pernah menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin di tahun 1993 berjumlah 27 juta jiwa. Namun tolok ukur kemiskinan adalah setiap orang yang berpenghasilan Rp20.000/bulan. Bila batas kemiskinan tersebut menggunakan ukuran kebutuhan fisik minimum dari Depnaker tahun 1993 yaitu Rp80.000/bulan,maka sekitar 180 juta jiwa atau hampir 90% rakyat hidup dalam garis kemiskinan.
3 Mei 1998: Gerakan Mahasiswa 1998
Gerakan Mahasiswa terbukti menjadi gerakan yang paling konsisten melawan Orde Baru. Represi dan pemenjaraan tidak menghentikan perlawanan. Sejak 1971 hingga 1988 mereka tak henti-henti melakukan aksi-aksi penggulingan Soeharto.
Tahun 1971 mereka menyerukan golput, untuk tidak memilih dalam pemilu yang mereka anggap sekadar memenangkan Golkar, partai Soeharto. Tahun 1974 mereka kembali bergerak untuk menolak dominasi modal asing dan kepemimpinan Soeharto. Tahun 1978 mereka menuntut sidang istimewa MPR untuk meminta pertanggungjawaban Soeharto atas penyelewengan UUD 45 dan Pancasila. Akhir 1980an mahasiswa kembali bergerak untuk menunjukkan solidaritas kepada kaum tani yang tergusur: Kedung Ombo, Badega, Cimacan, Cilacap dll.
Jakarta Mei 1998. Eskalasi aksi mahasiswa menentang Soeharto mulai meluas ke berbagai kota. Mulanya hanya aksi di dalam kampus, kini mereka mulai bergerak melakukan unjuk rasa di jalan-jalan.
4 Mei 1998: Tapos
"Tanah ini milik keluarga kami sejak nenek moyang, tapi mereka merampasnya dengan paksa," tutur seorang petani tentang tanah Tapos yang dikuasai Soeharto dan keluarganya. Peternakan Tapos mulai dibangun tahun 1974 dengan merebut 750 hektar tanah petani. Di kawasan ini lalu dibangun berbagai proyek pertanian dan peternakan, yang sering menjadi tempat pertemuan informal Soeharto dengan para kroninya. Karena pasokan pangan hewan butuh tanah yang lebih luas, para petani dilarang menggarap kebun dan dipaksa menanam rumput gajah.
Haji Dodo petani Tapos yang melawan dan tetap menanami kebonnya harus berurusan dengan aparat yang memenggal pergelangan tangannya. "Sampai sepuluh tahun saya merasa tangan saya masih ada, sering gatal pada bagian yang buntung," katanya. Pada latar belakang tampak pembangunan villa yang mangkrak milik Tommy Soeharto.
6 Mei 1998: Penculikan aktivis 1997-1998
Penculikan aktivis 1997/1998 adalah proses penghilalangan secara paksa atau penculikan terhadap aktivis pro-demokrasi yang terjadi menjelang pemilu 1997 dan SU MPR 1998. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan KONTRAS mencatat 23 orang telah dihilangkan oleh alat negara selama periode 1997-1998. Dari angka itu satu orang dinyatakan mati, sembilan orang dilepaskan dan 13 lainnya masih hilang hingga hari ini.
9 Mei 1998: Forkot
Salah satu elemen mahasiswa yang sering bentrok dengan aparat namanya FORKOT atau Forum Kota. Awalnya beranggotakan sekitar 16 kampus belakangan sempat bengkak menjadi 70an. Mereka bersama FKSMJ tercatat sebagai organ gerakan mahasiswa pertama yang menembus gedung MPR pada 18 Mei 1998. Setelah jatuhnya Soeharto aksi-aksi mereka makin radikal, hal mana sejalan dengan represi yang dilakukan TNI dan Polri. Aksi-aksi mereka menuntut dihapuskannya Dwi fungsi TNI, menentang SI MPR 98, penolakan RUU PKB sering berakhir chaos. Ribuan aktivis Forkot bersama mahasiswa dan organ lain, berani menghadapi panser dan meriam air aparat dengan hanya bersenjatakan tongkat bendera batu dan molotov.
Aksi radikal mereka tak urung mengundang kecaman dan cibiran dari berbagai organisasi yang mendukung Habibie seperti KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam), PAM Swakarsa dan kelompok-kelompok pro-Orde Baru yang antigerakan mahasiswa memplesetkan kepanjangan Forkot sebagai Forum Komunis Total.
10 Mei 1998: Dukungan dari elemen masyarakat
Krisis Moneter telah menyebabkan banyak perusahaan merumahkan karyawannya dalam jumlah besar. Kelas menengah pun tak luput dari imbasnya. Ekonomi kolaps, pengangguran terjadi di mana-mana. Seiring dengan meningkatnya eskalasi gerakan mahasiswa, dukungan dari berbagai elemen masyarakatpun meningkat. Dukungan mulai membanjir dari elite politik, organisasi non pemerintah, buruh dan rakyat. Berbagai gerakan mulai menyokong dan menyumbang pada gerakan mahasiswa. Bahkan tidak jarang secara perorangan.
Di gedung MPR yang mulai diduduki oleh mahasiswa, orang berdatangan dan menyumbang apapun yang dapat disumbangkan. Saya pernah kebagian nasi bungkus yang dibawa oleh seorang ibu sederhana, dan terharu. Situasinya mengingatkan saya pada cerita-cerita tentang zaman revolusi kemerdekaan.
11 Mei 1998: Suara Ibu Peduli
Sejak Orde Baru berkuasa gerakan perempuan telah dikooptasi menjadi perkakas politik negara lewat Dharma Wanita dan Kowani. Peran perempuan yang sebelumnya penting dalam kehidupan sosial direduksi menjadi "kaum Ibu" yang harus tunduk dalam pakem politik patriarki. Pada pertengahan 1980an ketika ide feminisme mulai masuk dalam kesadaran perempuan kelas menengah terpelajar Indonesia, perjuangan menuntut kesetaraan gender mulai disuarakan. Di Jakarta ada Kalyanamitra dan Solidaritas perempuan. Di Yogya muncul Kelompok Perempuan Cut Nya' Dien, dan berbagai tempat terutama pada daerah konflik seperti Aceh, Papua, Timor dlsb.
Pada 1997 saat krisis moneter, aktifvs perempuan dari berbagai lembaga membentuk Koalisi Perempuan Indonesia. Koalisi ini kemudian terlibat dalam aksi-aksi politik mendukung gerakan mahasiswa dan memasukkan perspektif gender dalam tuntutan gerakan reformasi. Awal 1998 ketika krisis makin parah, para aktivis yang tergabung dalam Suara Ibu Peduli (SIP) menuntut penurunan harga susu.
Mereka melakukan demo di Monas. Tiga orang tokohnya diinterogasi semalaman di Polda dan diadili sebulan kemudian. Mereka dinyatakan bersalah karena melanggar KUHP tentang arak-arakan. Mereka adalah Gadis Arivia, Wilasih dan Karlina.
12 Mei 1998: Peluncuran novel 'Saman.'
Pada 12 Mei 1998 itu Teater Utan Kayu (TUK) akan mengadakan peluncuran novel Saman, karya Ayu Utami. Novel itu sedang ramai dibicarakan, karena, selain menang sayembara Dewan Kesenian Jakarta, juga dianggap mendobrak segala tabu: seks, agama, dan politik—seperti membawakan suara zaman yang muak dengan rezim Orde Baru.
Tapi, siang itu terdengar kabar, mahasiswa Trisakti mati ditembak seusai demo damai. Malamnya, peluncuran Saman tetap diadakan, dengan menghilangkan acara hiburan, sebagai tanda belasungkawa. Esoknya, Jakarta telah rusuh. Suatu pembukaan pameran yang direncanakan di TUK tidak dihadiri undangan. Kendaraan umum tidak beroperasi. Jalan tidak aman. Sepuluh hari kemudian, 21 Mei, Soeharto mengundurkan diri. Setelah itu, dunia sastra dilanda eforia kebebasan selama sekitar lima atau tujuh tahun.
13 Mei 1998: Penembakan Trisakti
Tanggal 12 Mei 1998 para Mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta melakukan aksi damai menuju gedung DPR/MPR. Mereka memulai reli dari depan kampus Trisakti di Slipi sambil membagi bagikan bunga. Tapi aparat menghadapi aksi damai mahasiswa dengan tembakan. Empat mahasiswa gugur. Mereka adalah Elang Mulya, Hendrawan Sie, Herry Hertanto dan Hafidin Royan,
14 Mei 1998: Pemakaman dan kerusuhan. Reformasi 1998, H-7
Tanggal 13 Mei 1998, dilakukan pemakaman para mahasiswa yang kemudin dinobatkan sebagai Pahlawan Reformasi. Gugurnya para martir reformasi itu membuat rakyat tersentak dan marah. Indonesia pun berkabung. Televisi, radio, surat kabar dan majalah dipenuhi berita duka dan tangisan dari berbagai pelosok negeri. Siang itu kerusuhan mulai meruyak di sebagian kota Jakarta.
15 Mei 1998: Penjarahan
Rakyat miskin yang kehilangan harapan bagaikan daun kering yang mudah tersulut api provokasi dan kemarahan. Setelah pemakaman empat pahlawan reformasi, kerusuhan mulai terjadi di daerah Grogol dan meruyak ke seluruh Jakarta. Dari tanggal 13-15 Mei terjadi penjarahan dan huru-hara yang meluas ke Bogor, Tangerang, Bekasi bahkan ke Solo dan seantero Nusantara. Korban yang tercatat berjatuhan.
Kompas 16 Mei 1998: menurut Kadispen Mabes Polri Bigjen Dai Bachtiar, jumlah korban yang tewas di wilayah DKI 200 orang, belum termasuk 20 korban yang loncat dari gedung. Sementara di Tangerang 100 orang terpanggang dan jasad para korban sebagian besar dalam keadaan hangus.
Belum pernah Jakarta lumpuh seperti kali ini. Kengerian mencekam, kendaraan umum tidak beroperasi, jalanan dipenuhi warga yang berusaha pulang dengan berbagai cara. Para wanita menjinjing sepatu hak tinggi dan berjalan telanjang kaki menyusuri jalanan yang dipasangi rintangan. Di beberapa lokasi, motor saya (trail warna hijau mirip punya petugas) sempat mengangkut penumpang kaki lecet yang tidak lagi mampu berjalan.
17 Mei 1998: Pembakaran dan penjarahan
Penjarahan terus berlangsung selama 13-15 Mei. Kerusuhan ini telah mengakibatkan kerugian fisik di Jakarta sebesar Rp2.5 triliun. Menurut Gubernur Sutiyoso (Kompas 18 Mei), kerugian terjadi akibat kerusakan 13 pasar, 2479 ruko, 40 Mal, 1600 toko, 45 bengkel, 11 polsek, 380 kantor swasta, 65 kantor bank, 24 restoran, 12 hotel, 9 pom bensin, 8 bis kota, 1119 mobil, 1026 rumah penduduk dan gereja.
Sementara itu Bandara Halim Perdanakusuma dibanjiri pengungsi warga asing dan WNI yang bergabung dalam arus evakuasi dari Jakarta yang dilanda kerusuhan.
Pada malam hari di kantung-kantung permukiman, suasana seperti yang digambarkan pada masa perjuangan 1945. Di setiap sudut jalan para lelaki bersiskamling bergerombol dengan senjata di tangan. Mereka mempersenjatai diri dengan golok, samurai sampai stik golf. Kewaspadaan yang tinggi terutama di daerah perumahan karena ada desas-desus akan terjadi penjarahan.
18 Mei 1998: Mahasiswa bergerak ke DPR/MPR. Reformasi H-3
Pada 16 Mei 1998 ribuan mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta mulai bergerak menuju gedung DPR/MPR di Senayan. Dari waktu ke waktu mahasiswa terus berdatangan memenuhi gedung wakil rakyat bahkan sampai naik ke atas atap gedung. Ribuan mahasiswa menginap dan bertahan di gedung tersebut dengan risiko apapun. Tuntutan mereka satu: Soeharto harus turun dari jabatan presiden. Gedung DPR/MPR telah disita oleh rakyat.
Suasana malam di gedung DPR/MPR terasa mencekam. Walaupun banyak mahasiswa yang bertahan, terutama yang dari luar kota suasananya tetap diliputi ketidakpastian. Mereka mengisi waktu dengan bermain gitar dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan.
19 Mei 1998: Tuntutan mahasiswa: Soeharto turun
Dukungan mulai membanjir dari elite politik, organisasi non-pemerintah, buruh dan rakyat. Kabinet Soehartopun terbelah. Para menteri dibawah Ginanjar Kartasasmita mengundurkan diri dari kabinet.
Bahkan Harmoko, ketua MPR dan loyalis Soeharto, dengan tegas mengeluarkan pernyataan agar Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana. Siaran pers disambut sorak-sorai massa. Akhir perjuangan panjang terasa terasa makin dekat.
Akan tetapi kegembiraan tersebut ternyata datang terlalu cepat. Empat jam kemudian Panglima ABRI Wiranto mengadakan rapat kilat dengan kepala staf dan Kapolri serta para panglima komando operasi di markas besar ABRI dan menyatakan: pernyataan tersebut hanyalah pendapat individual meskipun disampaikan secara kolektif. Sesuai dengan konstitusi pendapat tersebut tidak memiliki ketetapan hukum.
20 Mei 1998: Sidang tahanan politik terakhir Soeharto
Pengadilan Negeri Jakarta Utara melangsungkan sidang putusan terhadap enam orang terkait penyelenggaraan Kongres Rakyat Indonesia. Keenam orang itu: seniman dan aktivis Ratna Sarumpaet serta putrinya Fathom Saulina; pengacara Alexius Suria Tjahaja Tomu (sudah meninggal); aktivis Nandang Wirakusumah dan Joel Taher serta wartawan Ging Ginanjar (sekarang adalah News Editor di BBC Indonesia). Mereka ditangkap saat berlangsungnya Kongres Rakyat Indonesia yang bermaksud memilih secara simbolik presiden versi rakyat, pada 10 Maret 1998, sehari sebelum Soeharto dipilih dan dilantik lagi sebagai presiden.
Keenam orang itu dinyatakan bersalah namun dibebaskan pada hari itu juga -sehari sebelum Soeharto jatuh.
21 Mei 1998: Tumbangnya Orde Baru
Pada 21 Mei 1998 di hadapan para wartawan media seluruh dunia, Soeharto mengumumkan mundur sebagai presiden. Wakilnya, B.J Habbibie, langsung dilantik menjadi presiden RI yang ketiga. Akhir sebuah kediktatoran yang kejam dan congkak berakhir secara dramatis. Di jalan-jalan dan di gedung DPR, rakyat meluapkan kegembiraan dengan berbagai ekspresi. Sebuah fase baru dimulai, perjalanan transisi sebuah bangsa menuju demokrasi.
(Sumber : BBC/ Nesto)