Aartreya - Usai mengesahkan RUU TNI, akan segera menyusul RUU Polri yang menjadi rancangan undang-undang inisiatif DPR. Pembahasannya sudah dilakukan sejak 2024. Sejumlah pasal diusulkan dilakukan perubahan berdasarkan draf RUU Polri.
Misalnya yang tertuang dalam draf RUU Polri Pasal 16 ayat 1 huruf q. Pasal itu menyatakan, bahwa Polri berwenang melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.
Ketua YLBHI Muhammad Isnur mendesak kepada DPR dan pemerintah untuk tidak menyusun undang-undang secara serampangan. Termasuk pembahasan RUU Polri ini.
Dia meminta agar lembaga legislatif memprioritaskan pembahasan RUU PPRT, RUU Perampasan Aset, RUU KUHAP, RUU Penyadapan, hingga RUU Masyarakat Adat. "Kami menolak keras revisi UU Polri berdasarkan inisiatif DPR ini," kata Isnur menukil Tempo.co, pada Minggu (23/3/2025).
Sementara, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai, intervensi polisi dalam membatasi ruang siber berpotensi mengecilkan ruang berpendapat yang dimiliki publik. Selain itu, kewenangan Polri dalam penindakan di ruang siber ini berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian Komunikasi dan Digital, hingga Badan Sandi dan Siber Negara.
Usulan perubahan yang menuai polemik dalam draf RUU Polri terdapat dalam Pasal 14 ayat 1 huruf g. Pasal itu menyatakan, bahwa Polri bertugas untuk mengkoordinasi, mengawasi, dan melakukan pembinaan teknis terhadap Kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, penyidik lain yang ditetapkan oeh UU, dan bentuk pengamanan swakarsa.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai, usulan perubahan pasal ini justru mendekatkan peran Polri sebagai superbody investigator. Tugas pembinaan terhadap pasukan pengamanan swakarsa yang dimiliki Polri juga perlu dievaluasi. Sebab, Koalisi Masyarakat Sipil menilai, tugas itu berpotensi memunculkan pelanggaran HAM maupun ruang bagi "bisnis keamanan".
Pasal lain yang menjadi polemik dalam draf RUU Polri yaitu 16 A, yang mengatur tentang kewenangan Polri untuk menyusun rencana dan kebijakan di bidang Intelkam sebagai bagian dari rencana kebijakan nasional.
Koalisi Masyarakat Sipil memandang, bahwa usulan itu membuat kewenangan Intelkam yang dimiliki Polri melebihi lembaga lain yang mengurus soal intelijen. Lewat usulan pasal ini, Polri diduga punya kewenangan untuk menagih data intelijen dari lembaga-lembaga seperti BSSN hingga Badan Intelijen Strategis TNI.
Usulan penambahan batas usia pensiun bagi anggota Polri juga ditentang oleh masyarakat sipil. Usulan ini tertuang dalam draf RUU Polri Pasal 30 ayat 2. Dalam beleid itu, batas usia pensiun polisi diusulkan diperpanjang menjadi 60 tahun untuk anggota Polri, 62 tahun untuk anggota Polri yang memiliki keahlian khusus dan dibutuhkan dalam tugas, serta 65 tahun bagi pejabat fungsional.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai, penambahan batas usia pensiun anggota Polri itu dikhawatirkan berpengaruh pada proses regenerasi dalam internal kepolisian. Masyarakat Sipil berpendapat, bahwa usulan ini tidak menjadi solusi atas masalah penumpukan jumlah perwira tinggi dan menengah dalam internal Polri.
Pada bagian lain, mengutip law-justice.co, Pengamat Politik dan militer Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting menyatakan bahwa Kepolisian Indonesia (Polri) lebih kaya dibanding dengan TNI secara anggaran.
Pernyataan itu dia sampaikan dalam video yang diunggah di kanal YouTube Abraham Samad Speak Up berjudul "Selamat Ginting: RUU Polri Berbahaya Jadi Lembaga Superbody. Darurat RUU Polri & RUU TNI".
Bahkan, kata Ginting, Polri akan menjadi lembaga superbody karena bisa masuk ke semua lini di kementerian/lembaga, hingga pemerintahan.
"Selama di dalam ketatanegaraan kita hubungan itu tidak equal antara TNI dan Polri, maka di situ juga akan terjadi bentrokan. Kenapa tidak equal? Misalnya TNI dan Polri secara operasional di bawah Presiden. Tapi secara administrasi dan keuangannya tidak boleh berdiri sendiri," katanya, dikutip Minggu, (23/3/2025).
Ginting menjelaskan, TNI berada di bawah Kementerian Pertahanan (Kemehan) terkait dengan anggaran. Sedangkan Polri, bisa langsung minta uang ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
"Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan itu hanya kuasa pemegang anggaran. Tapi Kapolri pemegang anggaran. Nah dia (TNI) kalau ada situasi darurat, nggak punya anggaran nih Panglima TNI, gayanya saja gitu kan," kata Ginting.
"Kalau TNI pemegang anggarannya Kementerian Pertahanan. Nah Polri sih nggak, pemegang anggaran, jadi langsung minta duit ke Kementerian Keuangan. Panglima TNI nggak bisa," sambungnya.
Apalagi, kata Ginting, anggaran Kemhan dibagi menjadi lima, yakni untuk Kemehan, Mabes TNI, Mabesad, Mabesal, dan Mabesau.
"Misalnya, Polri Rp127 triliun, Kemhan Rp140-an triliun, tapi ini kan dibagi. Jadi polisi kaya raya. Jauh lebih besar anggarannya. Nah ini nggak kepantau," kata Ginting.
Ginting pun menyoroti soal Polri yang bisa masuk ke semua kamar di kementerian, bahkan bisa masuk ke pemerintahan.
"Maka saya bilang, kalau gitu, Fakultas Hukum dibubarkan saja, kemudian Program Studi Ilmu Pemerintahan, termasuk STPDN, IPDN, bubarkan saja. Karena (Polri) merambah ke mana-mana. Karena itu menurut saya, yang hal yang barangkali juga luput dari para aktivis, RUU Polri ini berpotensi menjadi polisi menjadi lembaga super bodi, berbahaya," pungkas Ginting.
(Sumber : tempo.co/law-justice.co/nesto)