Aartreya – Dinilai ancam demokrasi dan khianati Reformasi 1998, Koalisi Masyarakat Sipil kalangan masyarakat sipil semakin kencang menyuarakan kekhawatiran terhadap arah revisi UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Revisi itu ditengarai bakal mengembalikan dwifungsi TNI seperti masa orde baru, di mana militer masuk ke berbagai bidang baik di pemerintahan dan ruang sipil lainnya.
Melansir hukumonline.com, Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya mengatakan corak militeristik sangat terasa di pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Bisa dilihat dari munculnya berbagai simbol dan kultur militer, penunjukan individu berlatar belakang militer dan menempatkan militer aktif dalam kabinet.
Kebijakan pemerintah juga tak lepas dari cengkraman militerisasi mulai dari Makan Bergizi Gratis (MBG), Food Estate, Dewan Pertahanan Nasional, Pengelolaan dan Penertiban Kawasan Hutan, RUU TNI, pembentukan 100 batalyon teritorial pembangunan, dan wacana menambah 22 komando daerah militer.
Penempatan prajurit aktif di kementerian dan lembaga serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) semakin menjauhkan profesionalitas TNI dan mengganggu meritokrasi birokrasi sipil. Kasus kekerasan yang dilakukan militer menunjukan absennya pengawasan ketat dan membuka celah impunitas karena sampai saat ini pemerintah dan DPR belum merevisi UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (Permil).
“Surpres (Surat Presiden,-red) RUU TNI menjadi manuver politik untuk melegitimasi proses penyertaan dan pelibatan militer dalam tata kelola negara dan urusan sipil,” kata Dimas dalam diskusi bertema Revisi UU TNI Menghidupkan Dwifungsi, Kamis (6/3/2025).
Sementara itu, Komisi I DPR juga tengah membahas RUU TNI. Sejumlah narasumber sudah dihadirkan untuk didengar pendapatnya terkait sejumlah pasal yang jadi perhatian. Menukil kumparan.com, sedikitnya ada 3 tema utama yang jadi sorotan dalam RUU TNI ini, yakni perpanjangan usia pensiun, anggota TNI aktif mengisi jabatan sipil, dan prajurit boleh berbisnis.
Salah satu hal yang mencuat dari RUU TNI, yakni kekhawatiran muncul kembali dwifungsi TNI. Koalisi Masyarakat Sipil memberi catatan terkait hal ini, dikutip Jumat (7/3).
Pertama, usulan perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif menjadi isu yang sangat kontroversial karena hal ini dapat mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil. Hal ini dapat dilihat dalam usulan perubahan Pasal 47 Ayat (2) UU TNI yang mengusulkan penambahan frasa “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”.
Penambahan frasa tersebut sangat berbahaya karena memperluas cakupan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif, yang sebelumnya dibatasi hanya pada 10 kementerian dan lembaga sebagaimana diatur dalam UU TNI.
"Penempatan TNI di luar fungsinya sebagai alat pertahanan bukan hanya salah, tetapi akan memperlemah profesionalisme TNI itu sendiri. Profesionalisme TNI dapat terwujud menempatkan TNI sebagai alat pertahanan negara, bukan dalam jabatan sipil yang sangat jauh dari kompetensinya. Menempatkan TNI pada jabatan sipil jauh dari tugas dan fungsinya sebagai alat pertahanan sama saja dengan menghidupkan kembali Dwifungsi TNI yang sudah lama dihapus," tulis catatan itu.
Di sisi lain, ada peluang kerancuan dalam hal penegakan hukum saat menjabat di jabatan sipil. Sebab, setiap prajurit aktif harus diadili di pengadilan militer.
Hal ini tentu menghambat proses penegakan hukum karena peradilan militer memiliki karakteristik yang berbeda dengan peradilan umum, terutama dalam aspek independensi, transparansi, serta akuntabilitas bagi masyarakat dan media untuk mengawasi jalannya persidangan.
Perubahan Pasal 47 ini nantinya akan semakin merusak pola organisasi dan jenjang karier ASN karena akan semakin memberikan ruang lebih luas bagi TNI untuk masuk ke semua jabatan sipil yang tersedia.
Sebelumnya, Imparsial mencatat terdapat 2.569 prajurit TNI aktif di jabatan sipil pada tahun 2023. Sebanyak 29 perwira aktif menduduki jabatan sipil di luar lembaga yang ditetapkan oleh Undang-Undang TNI. Penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil mengabaikan spesialisasi, kompetensi, pengalaman, serta masa pengabdian ASN di instansi terkait. Hal ini mengacaukan pola rekrutmen dan pembinaan karier ASN yang seharusnya diatur ajeg dan berjenjang.
Kedua, usulan penghapusan larangan berbisnis bagi anggota TNI. Ketentuan ini merupakan pandangan keliru serta mencerminkan kemunduran upaya reformasi di tubuh TNI.
Prajurit militer dipersiapkan untuk profesional sepenuhnya dalam bidangnya yaitu pertahanan, bukan berbisnis. Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit yang akan berdampak pada disorientasi tugasnya dalam menjaga kedaulatan negara.
"Pada titik ini, sudah seharusnya pemerintah tidak lempar tanggung jawab dalam mensejahterakan prajurit dengan menghapus larangan berbisnis bagi prajurit TNI. Penting untuk diingat bahwa, tugas mensejahterakan prajurit merupakan kewajiban negara dan bukan tanggung jawab prajurit secara individu," tulis catatan koalisi.
"Seharusnya alih-alih menghapus larangan berbisnis bagi TNI aktif, pemerintah dan TNI fokus di dalam mensejahterakan prajurit dan bukan malah mendorong prajurit berbisnis," lanjut dia.
Ketiga, Kekhawatiran lain yang muncul adalah adanya usulan perubahan Pasal 65 ayat 2 UU TNI yang menyatakan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum, bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI tahun 1998.
Penting dicatat, reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR No. VII tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Kedua dasar hukum tersebut mengamanatkan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
Pelaksanaan agenda tersebut menjadi penting, tidak hanya sebagai bentuk implementasi prinsip equality before the law sebagai salah satu prinsip penting negara hukum, tapi juga untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, termasuk mencegah impunitas terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum. (*)