Aartreya - Elektablitas lagi-lagi masih menempati posisi teratas. Hasil survei Y-Publica menunjukkan PDI Perjuangan menduduki peringkat pertama dengan elektabilitas 19,2 persen, disusul oleh Gerindra sebesar 11,7 persen.
Dilansir dari wartaekonomi.co.id, sebanyak tujuh partai politik diprediksi lolos ke Senayan, termasuk di antaranya Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Sepanjang satu tahun terakhir elektabilitas PSI cenderung bergerak naik, dan kini mencapai 5,8 persen, atau di atas ambang batas parlemen yaitu sebesar 4 persen.
"PDIP dan Gerindra unggul dalam peta elektabilitas partai politik, sementara itu PSI kembali naik dan berpeluang melenggang ke Senayan," kata Direktur Eksekutif Y-Publica Rudi Hartono dalam press release di Jakarta, pada Selasa (14/2/2023).
Dalam setahun terakhir PDIP mengalami tren kenaikan elektabilitas dan tetap tidak berhasil digeser oleh partai-partai yang lain. Sedangkan Gerindra sempat tersalip oleh Demokrat pada survei bulan November 2022, dan kini kembali ke peringkat ketiga dengan elektabilitas 10,8 persen.
Menurut Rudi, PDIP berkembang menjadi partai yang dominan setelah menang pemilu dua kali berturut-turut. Kemenangan PDIP juga bersimbiosis mutualisme dengan Presiden Jokowi yang memegang kekuasaan eksekutif dengan dukungan koalisi yang dipimpin oleh PDIP.
"PDIP memiliki basis pemilih tradisional dari kalangan nasionalis, dengan identifikasi pada ideologi Marhaenisme dan wong cilik," lanjut Rudi. Modal sosial tersebut memungkinkan PDIP merebut ceruk suara kaum nasionalis, tanpa perlu asosiasi dengan figur atau ketokohan.
Memang PDIP berkembang dari kubu PDI Megawati semasa Orde Baru, hingga kemudian ditabalkan sebagai partai trah Soekarno. Kebetulan pula Megawati terus-menerus menjabat ketua umum, hingga regenerasi yang memunculkan tokoh baru seperti Puan Maharani.
"Realitas politik kontemporer menunjukkan kebangkitan tokoh-tokoh PDIP dari luar trah Soekarno, seperti Jokowi, Ganjar Pranowo, dan Tri Rismaharini," Rudi menjelaskan.
Menurut Rudi, baik yang terjadi adalah kesinambungan ataupun perubahan, PDIP tetap memiliki basis sosial yang relatif kuat. Hal demikian sulit diraih oleh partai-partai lain, katakan Gerindra atau Demokrat. Kedua partai tersebut seolah-olah dibentuk untuk mengusung tokoh-tokohnya sebagai calon presiden.
"Setelah dua periode memerintah, Demokrat melorot drastis suaranya dalam pemilu," tandas Rudi.
"Meskipun bukan satu-satunya faktor, seperti kenaikan elektabilitas Demokrat belakangan karena positioning sebagai kekuatan oposisi," Rudi melanjutkan.
Demokrat tampaknya ingin mengulang strategi PDIP ketika berperan sebagai oposisi selama dua periode.
Namun jika melihat tren perolehan suara dari pemilu ke pemilu, partai-partai yang berorientasi kepada tokoh cenderung mengalami fluktuasi. Demokrat melonjak tajam pada periode kedua pemerintahan SBY, begitu pula dengan Gerindra ketika mengusung Prabowo sebagai capres.
Elektabilitas partai-partai lainnya relatif stabil dalam setahun terakhir, seperti Golkar (8,1 persen), PKB (6,6 persen), dan PKS (5,1 persen). Selebihnya adalah daftar partai-partai yang terancam tidak lolos ke Senayan, di antaranya Nasdem (3,2 persen), PPP (2,2 persen), dan PAN (2,0 persen).
Berikutnya adalah partai-partai baru dan non-parlemen, yaitu Gelora (1,4 persen), Perindo (1,3 persen), dan Partai Ummat (1,0 persen). Lalu ada Hanura (0,5 persen), PBB (0,3 persen), dan Garuda (0,1 persen).
Partai baru lainnya yaitu PKN dan Partai Buruh masih nihil dukungan, dan sisanya tidak tahu/tidak jawab 20,7 persen.
"Sebanyak 18 partai politik dinyatakan sebagai partai politik peserta Pemilu 2024 pada tingkat nasional," pungkas Rudi.
Survei Y-Publica dilakukan pada 1-7 Februari 2023 kepada 1200 orang mewakili seluruh provinsi di Indonesia. Data diambil melalui wawancara tatap muka terhadap responden yang dipilih secara multistage random sampling. Margin of error +/-2,89 persen, tingkat kepercayaan 95 persen. (Sumber : wartaekonomi)