PADA 3 Juni 2025 belum lama ini, diperingati sebagai Hari Jadi Bogor (HJB) ke-543. HJB merupakan momentum pengingat perjalanan panjang sejarah sekaligus komitmen untuk melestarikan warisan leluhur serta membangun masa depan yang lebih cerah.
Tanggal 3 Juni dipilih melalui riset para sejarawan terkemuka, seperti C.C.F.M. Le Roux dan Prof. Saleh Danasasmita yang mengungkap bahwa tanggal tersebut menandai peristiwa bersejarah pelantikan Sri Baduga Maharaja, atau yang lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi, sebagai Raja Pajajaran pada tahun 1482. Peristiwa ini, yang tercatat dalam naskah kuno Carita Parahyangan, menandai dimulainya era keemasan Kerajaan Pajajaran dan puncak peradaban Sunda.
Menyebut Bulan Juni, juga acap disebut Bulan Bung Karno. Karena, memuat beberapa tanggal penting bagi Soekarno, mulai dari tanggal kelahiran, tanggal wafat, hingga lahirnya Pancasila yang diprakarsai oleh Soekarno. Yakni 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, 6 Juni hari lahir Soekarno dan 21 Juni hari wafat Soekarno.
Soekarno memiliki kecintaan yang mendalam terhadap Bogor, khususnya Istana Bogor. Istana Bogor menjadi pilihan Proklamator RI Soekarno sebagai tempat istirahat, inspirasi, sekaligus saksi bisu bagi berbagai peristiwa penting dalam hidup dan perjuangan Soekarno.
Istana Bogor mulai dipakai sebagai istana kepresidenan tahun 1950. Sebelumnya bangunan yang berdiri di tanah seluas 28,8 hektar ini difungsikan sebagai tempat tinggal Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Istana Bogor diketahui dibangun Gubernur Jenderal GW Baron van Imhoff pada 10 Agustus 1744.
Menurut Sejarawan J.J. Rizal, Presiden Soekarno sering menjadikan Istana Bogor sebagai kantor. Namun, Bung Karno tidak menjadikan Istana Bogor sebagai tempat tinggal. Bung Karno membuat rumah pribadinya sendiri untuk ditinggali yang berlokasi di Batutulis, Kota Bogor. Ketika Bung Karno berkantor di Istana Bogor pun, ia tidak tinggal di situ, melainkan di paviliun yang masih berada di kompleks Istana.
Keberadaan Istana Bogor tak dapat dipisahkan dengan Soekarno. Presiden pertama RI itu sangat mencintai Istana Bogor. Kecintaannya pada Istana Bogor juga diungkapkan lewat koleksi lukisan yang terpajang dan tersimpan dalam istana. Diantaranya lukisan berjudul “Dalam Sinar Bulan” karya Basuki Abdullah yang menggambarkan perempuan cantik berpakaian sari India.
Bung Karno bersama rakyat/Foto : penasoekarno.com
Selain Istana Bogor, Bung Karno juga juga membeli tanah pada tahun 1960-an yang kini dikenal dengan nama Istan Batutulis. Saat itu, ia meminta arsitek R.M. Soedarsono untuk merancang sebuah bangunan untuk rumah tinggal dan tempat peristirahatan. Sejumlah elemen gaya bangunan Istana Batu Tulis mirip dengan Istana Tampaksiring di Bali karena arsiteknya pun sama.
Menurut penuturan warga sekitar Istana Batutulis, Bung Karno kerap menginap di Istana Batutulis dan kerap menyapa gemar masyarakat setempat. Kecintaan Bung Karno terhadap kota hujan juga tertulis dalam buku otobiografi "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat" yang ditulis Cindy Adams. Disebutkan, Soekarno berharap dia dimakamkan di wilayah pegunungan saat wafat. Tempat tersebut konon Istana Batutulis, Bogor. Pada buku itu Soekarno berharap ingin dimakamkan di tempat yang sederhana.
"Saya ingin berbaring di antara perbukitan dan ketenangan. Hanya keindahan dari negara yang saya cintai dan kesederhanaan sebagaimana saya hadir. Saya berharap rumah terakhir saya dingin, pegunungan, daerah Priangan yang subur di mana saya bertemu pertama kali dengan petani Marhaen," ucap Soekarno dalam buku tersebut.
Saat Soekarno wafat pada 21 Juni 1970 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, -mengutip yang pernah diwartakan Kompas-, Pemerintah Orde Baru memutuskan memakamkan Soekarno di Blitar, Jawa Timur melalui Keppres RI Nomor 44 Tahun 1970.
Kota Bogor juga menjadi peristiwa bersejarah Soekarno. Dikutip dari berbagai sumber, ketika Sukarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 di Bogor. Tak beberapa lama, Soeharto pada 18 Maret menangkap 15 menteri loyalis Sukarno. Soeharto konon memanfaatkan Supersemar dengan menyalahgunakan kewenangan.
Dalam tulisan John D. Legge terkait Sukarno, Soeharto akhirnya pegang kendali dan mulai menjalankan kebijakan-kebijakan yang sebagian besar bertolak belakang dengan kebijakan Sukarno. Bahkan, disebutkan dalam buku tersebut Soeharto membatasi Sukarno berbicara di hadapan publik.
"'Saya diam dalam seribu bahasa,' katanya ketika melihat kekuasaannya mulai berangsur-angsur diambil dari tangannya, sedangkan ia sangat ingin menyatakan pendapatnya," tulis Legge (hlm. 464).
Seterusnya, atas perintah Soeharto, Sukarno dan keluarganya diultimatum untuk angkat kaki dari Istana Merdeka dan Istana Bogor sebelum 17 Agustus 1967.
Melansir tirto.id, Bung Karno kala itu ditahan di rumahnya di daerah Batu Tulis, Bogor, lalu dipindahkan ke Wisma Yaso, Jakarta pada 1969. Penahanan itu berefek buruk bagi kesehatan Bung Besar. Ini karena tim dokter kepresidenan sebelumnya, yang tahu detail soal kondisi medis Bung Karno, telah dibubarkan. Lebih dari itu, keluarganya pun harus dapat ijin khusus untuk sekadar menemui Bung Karno dengan waktu terbatas.
Dibalik kisah perjalanan Sang Proklamator RI, Bung Karno diketahui sangat mencintai Kota Bogor. Demikian juga putrinya, Megawati Soekarnoputri. Keduanya sama-sama mencintai hijaunya alam kota hujan. (*)
Penulis : Wakil Ketua DPRD Kota Bogor / Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Bogor, H Dadang Iskandar Danubrata, SE, MM