Siapa Pelanjut Gaya Blusukan Jokowi, Capres Berlatar Belakang Orang Biasa atau Lansia?

264
ilustrasi

Jauh sebelum Joko Widodo menjadi Presiden, sosok yang akrab disapa Jokowi ini senang blusukan. Ketika menjadi Presiden, blusukan tetap dilakukannya. Nah, kisah inspiratif kepala negara yang doyan blusukan akankah kembali berlanjut atau tidak? Jawabannya ada di tahun 2024 mendatang.

Dari ketiga capres yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan, ditengarai hanya salah satu capres yang memiliki kemiripan kisah latarbelakang dengan Jokowi. Dia adalah Ganjar Pranowo.           

Gaya pemimpin yang gemar blusukan ini memang menjadi inspirasi, juga sekaligus kebangaan bangsa pada kepala negaranya. Bahkan, jika ditelusuri, meski Jokowi sebagai kepala negara, blusukan masih jadi rutinitas hariannya untuk mendengar langsung keluhan masyarakat. Padahal, kepala daerah, atau wakil rakyat yang kerap mencitrakan diri ‘mendadak merakyat’ saat jelang pemilu, malah terbilang jarang dan sangat langka yang doyan blusukan.     

Untuk urusan yang satu itu Jokowi tak ada lawannya. Karena, Jokowi yang mempertama kali membuat istilah blusukan menjadi populer. Tak heran jika kemudian Jokowi pernah diberi gelar 'Si Krempeng Bertenaga Banteng' oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Saat blusukan, yang kerap dilakukan Mantan Wali Kota Solo itu membagikan amplop berisi uang dan sembako.

Sosok Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo dinilai mirip Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ganjar dikenali sebagai sosok humanis, cerdas dan mau turun ke lapangan ketika menyelesaikan masalah yang ada masyarakat. Tahun 2023 ini, ia berusia 53 tahun.

Ganjar merupakan sosok yang berpengalaman dan teruji dalam bidang legislatif dan eksekutif, terutama saat memimpin Jateng selama dua periode ini. Salah satu keberhasilan Ganjar yakni sukses menekan angka kemiskinan di Jateng.

Banyak kalangan meyakini, Ganjar Pranowo merupakan bakal calon presiden (capres) penerus Presiden Jokowi. Sosoknya sederhana dan berasal dari rakyat biasa, bukan kalangan elite.  Ganjar lahir dari rakyat biasa, bukan dari kalangan bangsawan, bukan anak jenderal, bukan anak orang-orang elite di republik ini. Dia anak seorang purnawirawan Polri berpangkat biasa.

Dan, demokrasi di negeri ini telah membuktikan orang-orang biasa, rakyat biasa dengan sistem demokrasi yang kita pakai, dapat dihantarkan menjadi pemimpin bangsa Indonesia. Jika ditinjau dari latarbelakang usia dan rekam jejaknya, pemimpin bergaya blusukan seperti jokowi, tentunya akan diteruskan Ganjar Pranowo.

Kenapa? Pada usianya yang belum begitu tua, ia masih rutin lari pagi, doyan blusukan dan tak berjarak dengan rakyat. Sera, memiliki rekam jejak politik yang bersih.

Sementara, Prabowo Subianto yang kini berusia 71 tahun, tentu merupakan capres yang beranjak tua. Jika ditinjau dari usia, bukan tak mungkin hal itu akan sangat menyulitkan melakukan rutinitas harian blusukan seperti ke pasar tradisional, ke perkampungan kumuh hingga ke lokasi terpencil.

Diatas usia 60 tahun, menurut tinjauan kesehatan, tergolong lansia. Melansir dari Encyclopedia Britannica, pada masa lansia juga terjadi penurunan sekresi asam klorida oleh lambung juga enzim pencernaan lainnya.

Otak dan sistem saraf Menurut R. Peters dalam jurnal Ageing and the Brain (2006), seiring bertambahnya usia ada perubahan di semua tingkatan dari molekul hingga morfologi (termasuk neurotransmiter sistem saraf). Misalnya, penurunan kemampuan mengecap, mencium, mendengar, dan juga melihat.

Prabowo tentu tak bisa disebut mirip dengan cerita perjalanan Jokowi. Jika Jokowi terlahir dari kalangan biasa, prabowo sebaliknya. Pria kelahiran 17 Oktober 1951 ini adalah anak pejabat para era Orde Baru. Ayahnya, Soemitro Djojohadikoesoemo.

Karier Prabowo melejit pada era Orba setelah menjabat sebagai Wakil Komandan Detasemen Penanggulangan Teror di Komando Pasukan Khusus pada tahun 1983. Ketika jatuhnya Presiden Soeharto, ayah mertuanya, pada bulan Mei 1998, Prabowo menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis.

Dalam empat kali mengikuti konstentasi Pilpres, Prabowo berakhir dengan kekalahan. Dimulai pada 2004, 2009, 2014, dan 2019. Kini menjelang Pilpres 2024, Prabowo kembali maju sebagai calon presiden. Apalagi setelah tiga partai politik, Partai Golkar, PAN, PPP menyatakan dukungannya untuk Ketua Umum Partai Gerindra tersebut.

Kini, sejarah kembali berulang. Situasi politik yang dihadapi Ganjar Pranowo tak beda dengan pilpres lalu saat Jokowi berhadapan dengan kubu Prabowo dan partai pendukungnya. Kesamaannya, Ganjar atau Jokowi, merupakan capres yang juga kader PDI Perjuangan.

Pada Pilpres 2019 silam, Jokowi berpasangan dengan Jusuf Kalla yang didukung PDI Perjuangan, PKB, NasDem, Hanura dan PKPI (partai non-parlemen).  Sementara, kubu sebelah, pasangan Prabowo-Hatta mendapatkan dukungan dari partai-partai parlemen dalam Koalisi Merah Putih yakni Gerindra, Golkar, PAN, PPP, PKS dan PBB (partai non-parlemen).

Jelang Pilpres 2024, terdapat lima partai politik yang mendukung Prabowo Subianto yakni Gerindra, PKB, Golkar, PAN, dan PBB (partai di luar DPR). Sementara itu, Ganjar Pranowo mendapatkan dukungan dari empat partai, yaitu PDIP, Hanura (partai non-DPR), Perindo (partai non-DPR), dan PPP. Dan, Anies Baswedan mendapat dukungan dari tiga partai, yakni NasDem, Demokrat, dan PKS.  

Lalu, bagaimana dengan Anies Baswedan. Sebagai capres, tentu Anies sama sekali tak memiliki kemiripan dengan Jokowi. Sebab, selama hampir lima tahun memimpin DKI Jakarta, Anies Baswedan boleh dibilang miskin prestasi. Program-program unggulannya semasa kampanye dulu pun banyak yang gagal terealisasi dengan baik.

Salah satu contoh,  program rumah DP 0 Rupiah yang realisasinya jauh dari target. Dari 250.000 unit rumah layak huni yang dijanjikan Anies, realisasinya pun tak mencapai 1.000 unit. Sementara, satu-satunya program yang acap diklaim sepihak sebagai suatu keberhasilan hanyalah Formula E. Namun, program yang sudah menggelontorkan anggaran ratusan miliar rupiah tetap menuai polemik. Sebab, balap mobil listrik ini tak tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DKI 2017-2022.

(Penulis : Aktivis 98, Eko Okta)

SHARE

KOMENTAR