Belakangan ini, isu kenaikan Bahan bakar Minyak (BBM) jadi salah satu isu serta tuntutan aksi unjuk rasa disejumlah daerah yang disoal. Tak sedikit, sejumlah kalangan yang membandingkan kenaikan BBM antara era kepempinan Soeharto dengan Jokowi. Bahkan, ada yang mengaitkan kenaikan BBM seolah karena salah urus tata kelola pemerintahan. Benarkah? Jelas tidak!
Seperti diketahui, belum lama ini, PT Pertamina resmi menaikkan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Ron 92 atau Pertamax menjadi Rp 12.500-Rp 13.000 per liter dari yang sebelumnya Rp 9.000-Rp 9.400 per liter. Kenaikan tersebut mulai berlaku pada 1 April 2022.
Pemicu kenaikan tersebut bukan dipicu karena salah tata kelola dalam negeri. Namun, disebabkan kenaikan harga minyak mentah dunia di pasar internasional, terutama harga BBM non subsidi turut mengalami kenaikan.
Mengutip data Bloomberg, Minggu (10/4/2022) per pukul 10.00 WIB, harga minyak jenis Brent untuk kontrak pengiriman Juni 2022 naik 2,19% ke level US$ 102,78 per barel. Sedangkan harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Mei 2022 naik 2,32% ke level US$ 98,26 per barel.
Dampaknya, harga minyak mentah dunia pun turut merangkak, termasuk harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) pada Maret 2022 sebesar US$ 113,50 per barel dari yang sebelumnya US$ 95,72 per barel.
Kenaikan harga BBM tak hanya tiba-tiba, apalagi disengaja, atau terkait tuduhan liar tak berdasar versi para politisi yang memposisikan oposisi. Saat ini, harga jual BBM di Indonesia termasuk termurah di dunia. Sebab, hingga saat ini pemerintah masih menggelontorkan subsidi yang besar.
Misalnya jika dibandingkan dengan UK, harga jual BBM setara Pertamax Turbo RON 98 saja di negara tersebut sudah tembus Rp 44.500 per liter. Sementara di Indonesia masih dijual di harga Rp 14.500 - Rp 15.100 per liter, tetap atau tidak berubah dari Maret 2022.
Tak hanya Pertamina, Shell, Vivo, dan BP-AKR juga telah menaikkan harga BBM-nya pada April 2022. Terlepas dari kontroversi, hingga tuduhan bernuansa politis yang dialamatkan kepada pemerintah, fakta menerangkan harga rata-rata BBM di Indonesia masih termurah kedua dibandingkan negara lain di Asia Tenggara. Dari data Global Petrol Prices, negara yang tercatat memiliki harga rata-rata BBM termurah di Asia Tenggara adalah Malaysia, yakni Rp6.965 per liter. Sedangkan harga rata-rata BBM di Indonesia Rp16.500 per liter.
Negara tertangga, Singapura merupakan negara dengan harga BBM termahal di Asia Tenggara, yaitu Rp30.208 per liter, diikuti Laos Rp24.767 per liter, Filipina Rp20.828 per liter, dan Kamboja Rp20.521 per liter.
Dikutip dari Liputan6.com, kenaikan harga Pertamax merupakan dampak kenaikan harga minyak dunia yang sudah sangat tinggi jika dibandingkan dengan harga minyak dunia tahun 2021. Demikian disampaikan Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan.
Hal ini karena harga minyak dunia yang terus naik dimana salah satu persoalannya ada konflik Rusia-Ukraina yang belum juga selesai hingga embargo yang dilakukan negara Barat terhadap produk migas milik Rusia. Sedangkan Rusia memasok 11,4 persen dari total kebutuhan minyak dunia.
Sebagai contoh, harga BBM di Hongkong mencapai Rp 36.176 per liter, Jerman Rp 34.454 per liter, Italia Rp 34.310 per liter, dan Yunani Rp 32.733 per liter. Jadi, sudah sewajarnya Pertamina menyesuaikan harga BBM Umum mereka. Begitu disampaikan Mamit, di Jakarta, Sabtu (9/4/2022).
Artinya, kenaikan harga Pertamax memang sudah tidak ada pilihan bagi pemerintah, untuk menahan lebih lama harga BBM. Sebab harga minyak dunia telah melebihi asumsi yang ditetapkan dalam APBN. Bila terus dipertahankan, maka beban APBN untuk subsidi semakin bengkak dan berpotensi kebobolan.
Terkait perbandingan harga BBM antara era Jokowi dengan Soeharto yang dianggap murah, itu juga tafsir yang keliru. Karena, prbandingannya menggunakan UMR Jakarta dalam beberapa kurun waktu yang berbeda. Menarik disimak tulisan anggota DPR RI, Adian Napitupulu yang disampaikan berdasarkan data dan sangat masuk akal.
Pada tahun 1991 harga Premium Rp 150,- perliter sementara UMR saat itu Rp 18.200 per bulan. Dengan perbandingan itu maka upah pekerja dalam satu bulan hanya mampu membeli sekitar 121 liter Premium.
Tahun 1998 Premium naik sekitar 700% dari tahun 1991. Dari Rp 150 perliter menjadi Rp 1.200,- perliter sementara UMR naik menjadi Rp 154.000 perbulan. Jadi upah satu bulan setara dengan 128 liter Premium. Pada saat SBY dilantik menjadi Presiden harga Premium Rp 1.810,- sementara UMR saat itu Rp 672.000 perbulan. Perbandingan *upah 1 bulan setara dengan 371 liter Premium.
Di akhir pemerintahan SBY pada 2014, mengutip tulisan Adian Napitupulu, harga Premium menjadi Rp 6.500 per liter atau naik sekitar 259% dari harga awal SBY di lantik. Pada tahun terakhir SBY menjabat UMR berada di angka Rp 2.441.000.
Dengan besaran UMR tersebut di banding harga Premium maka upah satu bulan setara dengan 375 liter premium. Pada saat Jokowi di lantik harga Premium Rp 6.500 lalu naik menjadi Rp 7.500 tetapi turun lagi menjadi Rp 6.450 perliter. Pada saat itu UMR perbulan Rp 2.700.000,- atau setara dengan 360 liter Premium.
Jelang delapan tahun pemerintahan Jokowi Premium berkurang drastis dan di gantikan dengan Pertalite yang secara kualitas lebih tinggi dari Premium namun harga juga naik menjadi Rp 7.650 perliter. Jadi kenaikan harga Premium 2014 ke Pertalite 2022 berada di kisaran 16%. Di saat harga Pertalite Rp 7.650 perliter, tingkat UMR saat ini Rp 4.453.000 perbulan. Dengan demikian maka 1 bulan upah setara dengan 582 liter Pertalite.
Singkatnya di Pemerintahan Soeharto BBM naik 700% sementara dalam 10 tahun Pemerintahn SBY BBM naik 259% sedangkan di 8 tahun pemerintahan Jokowi kenaikan BBM Premium ke Pertalite naik sekitar 16% saja. Begitu yang ditulis Adian. Dan, faktanya, memang demikian. Kesimpulannya, kenaikan BBM bukan karena Jokowi salah tata kelola pemerintahan. Namun, penyebabnya, bermula dari harga minyak dunia.
(*Penulis : Yayasan Komunitas Kritis Indonesia, Gunawan Suryana)