PERKEMBANGAN teknologi dan Informasi membawa pengaruh positif dan negatif, ibarat pedang bermata dua. Pemanfaatan teknsologi informasi dan komunikasi disatu pihak memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan peradaban manusia, dilain pihak kemajuan teknologi ITE tersebut dapat dimanfaatkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum, yang menyerang berbagai kepentingan hukum orang, masyarakat dan negara.
Dalam lingkup pelayanan jasa hukum pengacara/advokat, melakukan pekerjaan secara elektronik dapat dikatakan bukan hal yang baru. Advokat telah menyelenggarakan konsultasi secara daring dan pembuatan kontrak elektronik, terkecuali untuk jasa hukum dalam proses litigasi peradilan yang masih membutuhkan kehadiran fisik dan belum dapat sepenuhnya diselenggarakan secara daring.
Untuk Notaris dan PPAT terutama dalam pembuatan akta, masyarakat masih dianggap lambat karena memerlukan kehadiran fisik dan menandatanganinya dihadapan notaris. sesuai perkembangan zaman, tidak hanya masyarakat umum kini para notaris pun telah menggunakan sistem komputer berikut akses internet dalam sistem informasi dan komunikasi di kantornya, selayaknya dinamika teknologi tersebut juga mengakibatkan perubahan paradigma dan perilaku para notaris dalam penyelenggaraan jasanya kepada publik, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Demikian pula pada saat pertanyaan ditayangkan oleh masyarakat umum, mengapa notaris tidak dapat menyelenggarakan jasanya secara elektronik, padahal dalam kesehariannya mereka tidak dapat lepas dari sistem informasi dan komunikasi elektronik yang digunakannya ?
Transaksi elektronik bersifat no face, no sign dan no borders, tidak ada tandatangan, tidak ada tatap muka dan tdak ada batas wilayah. Notaris adalah pejabat umum, yang sebelum melakukan pekerjaannya yang disumpah untuk bertindak Sesuai hukum yang berlaku.
Dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, ada pertentangan antara Pasal 15 ayat (3) dengan Pasal 16 ayat (1) huruf l Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014. Dimana dalam pasal 15 ayat (3) disebutkan “ selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan “. Kemudian, dalam penjelasannya dikatakan “ yang dimaksudkan dengan ‘ kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan ‘ antara lain kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik ( cyber notary ), membuat akta ikrar wakaf, dan hipotik pesawat terbang “ .
Sedangkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-undang nomor 02 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa notaris harus hadir untuk membacakan dan menandatangani akta dan dilakukan di hadapan dua orang saksi, selain itu akta yang dibuat tersebut masih harus memenuhi keotentikan akta yang telah diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) , karena ketentuan dalam Pasal 1868 KUH Per merupakan syarat otensitas akta yang menyatakan bahwa suatu akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang[1]undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuat.
Selanjutnya, pasal pasal 5 ayat (4) UU ITE toh juga mengecualikan akta notaris dalam konteks dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah, sehingga berpotensi permasalahan hukum bagi para notaris, baik secara perdata, administrative atau bahkan mungkin pidana. Walaupun demikian, Cyber notary telah dilaksanakan oleh notaris seperti pelaksanaan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas yang mana aktanya merupakan jenis akta relaas. Hal ini dikarenakan dalam Undang-undang Perseroan Terbatas khususnya Pasal 77 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dapat dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS melihat dan mendengar serta secara langsung berpartisipasi dalam rapat.
Dari uraian tersebut di atas, dapatlah disimpulkan pembuatan akta elektronoik belum dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Regulasi nya terutama Undang[1]undang Jabatan Notaris bahkan UU ITE masih memberikan pengecualian terhadap akta notaris dan PPAT untuk tidak melakukan pembuatan akta elektronik.
(Penulis adalah Akademisi juga Praktisi Hukum, Dr Agus Surachman, SH SP1 )