Mie instan, sudah terbilang sangat popular dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Mudah dimasak, dan langsung membuat kenyang. Tapi, sementara. Memasaknya pun tak sulit, tinggal dicelup, ditunggu sebentar, selanjutnya setelah itu tinggal dikonsumsi. Soal rasanya pun beragam, produk instan ini menyajikan beragam selera dari rasa soto hingga rasa rendang.
Soal mie intan, nyaris memiliki kisah yang sama dengan banyaknya politisi yang juga ‘instan’. Sama sebutannya melalui proses instan, lahirlah karakter yang tanpa ideology. Bahkan, tak memiliki spirit peduli dan tak sadar jika dirinya merupakan petugas partai atau pelayan rakyat, bagi yang menjabat di eksekutif atau legislatif. Ya, semua hadir karena proses instan.
Matangnya pun tiba-tiba, karena serba mendadak. Itu terjadi, karena mereka yang menjabat di eksekutif maupun legilatif tidak lahir melalui proses waktu panjang perjalanan sejarah. Atau, juga tanpa melewati fase kaderisasi. Akhirnya, hadirlah klaster penikmat yang cenderung bersifat apatis atau tak mau tahu dengan persoalan social masyarakat.
Sebagaimana diketahui, sistem atau regulasi yang saat ini tengah berlaku, memungkinkan bagi setiap warga negara Indonesia dapat maju dan mencalonkan diri sebagai pemimpin di eksekutif maupun di legislative. Tanpa harus melalui rekrutmen kaderisasi partai politik, asal bisa mendekati, dan punya uang super wow, jadilah itu barang.
Berlatarbelakang itulah, pentingnya kaderisasi. Kaderisasi bisa diibaratkan sebagi jantungnya sebuah sistem organisasi. Tanpa adanya kaderisasi rasanya sulit bagi suatu organisasi untuk mampu bergerak maju dan dinamis.
Hal ini karena kaderisasi yang menciptakan penurus pengurus baru yang nantinya akan memegang tongkat estafet bagi perjuangan organisasi. Kaderisasi berusaha menciptakan kader yang bukan hanya hebat dalam mengerjakan suatu program tetapi juga lebih dari itu.
Dan, kaderisasi mampu menciptakan kader yang memiliki jiwa pemimpin, memiliki kemampuan mengontrol emosi, kreatif dan mampu menjadi pemberi solusi untuk setiap permasalahan, memiliki mental yang kuat dan yang terpenting dapat menjadi seorang teladan bagi anggotanya.
Mengutip yang disampaikan Bung Karno, politik itu tidak lain ialah machtsvorming dan machtsaanwending, pembentukan kekuatan dan pemakaian kekuatan.
Jadi,melalui proses kaderisasi akan mampu melahirkan kader yang mampu memahami dialektika pemikiran Bung Karno untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa. Hingga kini, ajaran-ajaran Soekarno merupakan kekayaan literasi yang memang wajib diperdalam, dibaca, dan dipahami.
Melalui kaderisasi juga, warisan utama Bung Karno melalui pemikiran bisa dipahami. Itu tertuang dalam berbagai tulisan dan pidato. Dari sekian tulisan dan pidato ada yang monumental yaitu Marhaneisme dan Pancasila. Karena, Bung Karno mengingatkan bahwa bangsa yang bisa memenangkan persaingan adalah yang punya karakter dan jati diri yang kuat.
(Penulis : Aktivis 98 / Wakil Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Bogor, Eko Octa)