Catatan Pak E : Bukan Sekedar Main Gusur!, Kang Mas Bima Perlu Belajar dari Jokowi Soal Tata Kelola PKL

480
Ilustrasi

Urusan tata kelola Pedagang Kaki Lima (PKL), tak berlebihan jika diingatkan, para kepala daerah perlu banyak belajar dan mengadopsi cara yang dilakukan Joko Widodo, semasa menjadi Kepala Daerah Solo. Kenapa? Karena, dibawah kepemimpinannya semasa menjadi walikota, Solo mengalami perubahan yang pesat. Dengan menerapkan branding “Solo: The Spirit of Java“, Jokowi mampu mengangkat reputasi Kota Solo.

Jokowi, sebagai kepala daerah saat itu, juga dijuluki sebagai pejuang PKL. Tak berlebihan. Sebab, Jokowi pernah lakukan terobosan merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari hampir tanpa gejolak untuk merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka. Bahkan, Jokowi secara rutin melakukan komunikasi langsung dan terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) kepada masyarakat, khususnya kepada para PKL.

Dikutip dari beberapa sumber, kisah perjuangan kepedulian rakyat Jokowi di Solo bermula pada tahun 2005. Saat itu, dia baru dilantik menjadi Walikota Solo, dibentuklah tim kecil yang ditugasi mensurvei keinginan warga Kota Solo. Hasilnya, kebanyakan warga Solo ingin PKL dipertahankan dan taman di pusat kota disingkirkan.

Mimpi Jokowi ingin menjadikan solo sebagai kota besar pun menjadi dilemma. Karena, di satu sisi ia harus juga memperjuangkan keinginan masyarakatnya. Akhirnya, kebijakan yang diambil Jokowi bahwa para PKL itu harus direlokasi. Namun, pendekatan yang dilakukan tanpa kekerasan.  

Strategi pun dibuat, sebagai bentuk komunikasi politiknya. Sassarannya, para PKL di daerah Banjarsari, kawasan elite di Solo. Saat itu, di lokasi tersebut, terdapat 989 pedagang yang bergabung dalam 11 paguyuban.

Jurus yang dilakukan Jokowi menyampaikan ajakan makan para koordinator paguyuban di Loji Gandrung, rumah dinas Walikota. Dilansir dari Tribunnews, makan bersama seperti itu berlanjut hingga pertemuan yang ke 53, di mana Jokowi hanya makan bersama dan bersilaturahmi kepada para PKL. Baru pada jamuan ke-54, dimana saat itu semua PKL yang hendak dipindahkan hadir, Jokowi mengutarakan niatnya untuk merelokasi mereka.

Ketika Jokowi mengungkapkan hal itu, tidak ada satu pedagang pun yang menolak. Mereka setuju dengan kebijakan yang diambil Jokowi sepanjang mereka mendapatkan tempat yang baru untuk berdagang. Jokowi berjanji akan memberikan lokasi baru. Dan nantinya, para pedagang hanya akan membayar biaya retribusi sebesar Rp 2.600 perhari di tempat baru yang suasananya lebih bagus dari tempat para PKL berdagang sekarang.

Dengan retribusi sebesar itu, modal pemerintah sebesar Rp 9,8 miliar untuk membangun lokasi baru itu diperkirakan dapat kembali pada kurun 9 tahun. Bukan hanya itu, Jokowi juga akan mempromosikan tempat berdagang baru itu selama empat bulan di media lokal. Jokowi juga memperluas jalan menuju pasar dan membuat satu trayek angkutan kota baru.

Hasilnya, Jokowi berhasil menata ulang pasar di antaranya Pasar Klitikan Notoharjo, Pasar Nusukan, Pasar Kembalang, Pasar Sidodadi, Pasar Gading, pusat jajanan malam Langen Bogan, serta pasar malam Ngarsapura.

Dalam salah satu wawancara dengan media lokal, Jokowi menyatakan bahwa para PKL itu bersedia pindah bukan karena mereka sudah diajak makan, namun karena para PKL itu merasa “dimanusiakan” oleh pemimpinnya. Nah, soal kebijakan Jokowi ini, silahkan dibandingkan dengan kepala daerah lain, termasuk Kota Bogor.

 

(Penulis : Aktivis 98, Eko Octa)  

SHARE

KOMENTAR