Revolusi minta tiga syarat-mutlak: romantik, dinamik, dialektik. Romantik, dinamik, dan dialektik yang bukan saja bersarang di dada pemimpin, tetapi romantik, dinamik, dialektik yang menggelora di seluruh hatinya Rakyat, – romantik, dinamik dan dialektik yang mengelektrisir sekujur badannya Rakyat dari Sabang sampai Merauke.
Tanpa romantik yang mengelektrisir seluruh Rakyat itu, Revolusi tak akan tahan. Tanpa dinamik yang laksana mengkeranjingankan seluruh Rakyat itu, Revolusi akan mandek di tengah jalan. Tanpa dialektik yang bersambung kepada angan-angan seluruh Rakyat itu, Rakyat tak akan bersatu dengan rising demandsnya Revolusi.
Dan, Revolusi akan pelan-pelan ambles dalam padang-pasirnya kemasabodohan, seperti kadang-kadang ada sungai ambles-hilang dalam gurun-gurun-pasir sebelum ia mencapai samudera lautan.
Karena itu maka kita harus memasukkan romantik, dinamik dan dialektik Revolusi itu dalam dada kita semua, kita pertumbuhkan, kita gerakkan, kita gemblengkan dalam dada kita semua, sampai kepuncak-puncaknya kemampuan kita.
Agar, Revolusi kita dan Revolusi Umat Manusia dapat bergerak-terus, menghantam dan membangun terus, mendobrak segala rintangan yang direncanakan dan dipasangkan oleh fihak imperialis dan kolonialis.
Dan sekarang, Revolusi Indonesia yang tak dapat mereka ganyang itu, telah menjadilah satu realitas bagi mereka, satu kenyataan yang tak dapat mereka pungkiri atau mereka hapus. Revolusi Indonesia telah menjadi satu fait accompli bagi lawan dan bagi kawan, satu fait accompli bagi dunia, satu gunung-karang-sarang-petir di tengah-tengah samudera-perjuangan Umat Manusia untuk mendirikan satu Dunia Baru tanpa "exploitation de l'homme par l'homme" dan tanpa "exploitation de nation par nation"
Sungguh: Kamu bukan bangsa cacing, kamu adalah Bangsa berkepribadian Banteng! Hayo, maju terus! Jebol terus! Tanam terus! Vivere pericoloso! Ever onward, never retreat! Kita pasti menang!
Demikian cukilan pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1964 atau yang disebut Tahun Vivere Pericoloso. Yang artinya, menurut sebuah frasa Bahasa Italia berarti hidup penuh bahaya atau hidup yang menyerempet bahaya.
Frasa ini dahulu pernah digunakan oleh Soekarno sebagai bagian dari judul pidato kenegaraan pada peringatan Hari Ulang Tahun ke-19 Republik Indonesia tahun 1964. Judul pidato itu adalah ‘Tahun Vivere Pricoloso’ atau di singkat Tavip, yang berarti Tahun Penuh Bahaya.
Inti pidato tersebut adalah bahwa proses revolusi Indonesia itu seharusnya berjalan kearah yang lebih baik. Perlukah melakukan revolusi, terutama revolusi sikap positif atau revolusi mental? Jelas perlu!
Generasi kekinian, atau yang popular berjuluk ‘generasi rebahan’ atau ‘generasi tik tok’ acap mengkonsumsi segala hal yang serba praktis dan mengesampingkan kerja. Baik itu kerja sosial, kerja kemanusiaan, kerja kepedulian pada sesame. Ironisnya, ‘virus’ itu tak hanya menjangkiti kaum muda, tapi juga politisi, hingga penyelenggara daerah serta negara. Meski tak semua, namun ‘virus’ anti spirit merevolusi diri kini makin terkesan kuat mewabah.
Merujuk buku Ilmu Pengetahuan Sosial 3 karya Ratna Sukmayani, dkk. (2008:91), revolusi adalah perubahan sosial budaya yang berlangsung cepat dan menyangkut pokok-pokok kehidupan masyarakat.
Revolusi terbagi menjadi dua macam, yaitu revolusi direncanakan dan tidak direncanakan. Keduanya dapat membawa perubahan total dalam kehidupan masyarakat. Baik dalam bidang ekonomi, politik, budaya, kepribadian manusia, dan sebagainya.
Dan, mengutip buku Perubahan Sosial Budaya tulisan Sriyana (2020:73), revolusi biasanya timbul karena faktor pemicu dari dalam masyarakat. Contohnya adalah kemunculan ide baru yang memicu pertentangan atau pemberontakan kelompok tertentu.
Sejatinya, ukuran kecepatan revolusi adalah relatif, sebab revolusi juga dapat memakan waktu yang lama. Misalnya, revolusi industri di Inggris yang dimulai sejak tahun 1760 hingga 1850. Kembali pada Revolusi Mental, merupakan suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.
Itu juga yang merupakan gagasan revolusi mental yang pertama kali dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956. Soekarno melihat revolusi nasional Indonesia saat itu sedang mandek, padahal tujuan revolusi untuk meraih kemerdekaan Indonesia yang seutuhnya belum tercapai. (*)
(Penulis : Ketua Front Puan Bogor (FPB) Beni Sitepu)