INTELMEDIA - Saat ini, publik Tanah Air Tengah gaduh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) yang dianggap banyak kalangan cacat hukum. Hal itu disampaikan akademisi Agus Surachman yang menunggu putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) untuk membuat putusan monumental.
Melalui rilis yang diterima redaksi, ia mendesak kepada MKMK bukan sekedar memutus kode etik, tapi juga mempertimbangkan pendapat Prof Denny Indrayana yang menjelaskan mekanisme untuk menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi tidak sah. Dia mengatakan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) dan UU MK memang tidak secara terang bicara soal mekanisme menyatakan putusan tidak sah.
Agus juga mengutip yang disampaikan Denny Inrayana bahwa jika hakim ada CoI (conflict of interest) dan tidak mundur dari perkara, maka putusan menjadi tidak sah. Ia berujar, UU KK sudah menjelaskan soal sanksi administratif, bahkan pidana pada hakim yang tidak mundur, sebagaimana tertulis pada Pasal 17 ayat 6 UU KK yang berbunyi:
"Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Sementara pada Pasal 17 ayat 5 berbunyi: "Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara."
Dikatakan Agus, pada Pasal 17 ayat 7 menjelaskan terkait perkara harus diperiksa dengan majelis hakim yang berbeda. Dengan penjelasan UU KK itu, dibentuklah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang nantinya memutuskan ada pelanggaran etika, bisa menjadi dasar pemberhentian hakim.
“Dengan temuan pelanggaran etika MKMK tersebut, maka putusan MK dengan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi tidak sah berdasarkan Pasal 17 ayat 6 UU KK. Perkara ini terkait syarat capres-cawapres yang telah dikabulkan MK,” tutur pria yang dosen pasca sarjana PTS di Bogor.
“Dalam hal ini harus eksepsional (yang butuh kehati-hatian) karena ini menyangkut kepentingan negara. Karena, hukum – istilahnya-, sudah mau diinjak-injak. Untuk itu harus segra diputus, selain sanksi etik, tapi juga putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak mempunya kekuatan hukum dan tidak mempunyai akibat hukum. Akhirnya, putusan tersebut tak bisa dilaksanakan,” tuntasnya.
Sebagaimana diketahui, dalam putusan MK terbaru itu, kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan umum (pemilu) dibolehkan maju sebagai capres-cawapres sebelum berusia 40 tahun. Upaya pembatalan putusan MK mengenai batas usia capres-cawapres ini berada dalam 'injury time'. Sebab, tidak lama lagi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI bakal menetapkan capres-cawapres yang akan berlaga ke pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
Adapun sejauh ini ada tiga pasangan calon yang telah mendaftar ke KPU RI. Mereka adalah Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Cak Imin); Ganjar Pranowo-Mahfud MD; dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Ketiga pasangan calon tersebut telah dinyatakan melengkapi syarat ketika mendaftar ke KPU RI dan lolos tes kesehatan untuk maju di Pilpres 2024. (Nesto)