Aartreya - Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMP dan SMA negeri, belakangan ini jadi sorotan di Kota Bogor. Pemicunya, disebut-sebut adanya dugaan penyalahgunaan administrasi kependudukan (adminduk) dari para orangtua siswa. Saat gelaran reses di beberapa tempat, anggota DPRD Kota Bogor Laniasari juga banyak menampung curhat warga yang mengeluhkan anaknya gagal masuk sekolah meski jarak dinilainya dekat.
Apa yang salah dengan penerapan zonasi sekolah negeri di Kota Bogor? Berikut wawancara dengan wakil rakyat yang pernah lama tinggal di Melbourne, Australia, terkait perbandingan penerapan system zonasi.
“Sistem zonasi PPDB bukan hal baru dalam dunia pendidikan. Pemberlakuan di Indonesia, begitu juga di Kota Bogor, setelah terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 51 tahun 2018. Sistem ini tak buruk, mengemban pesan pemerataan dan keadilan pendidikan,” kata Laniasari usai serap aspirasi warga di Kebonpedes, Tanahsareal, kepada pewarta, Jumat (4/8/2023).
Dia melanjutkan, skema sistem zonasi telah lama diterapkan di sejumlah negara-negara maju seperti Australia.
“Di Australia, penyebutan zonasi disana yakni suburb. Siswa diwajibkan masuk sekolah yang berada di suburbnya masing-masing. Nilai tambah system zonasi, dari sisi ekonomi, jarak sekolah dekat dapat menekan biaya transpotasi ke sekolah, dan mengurangi kepadatan lalin. Juga, potensi tawuran,” tuturnya.
Hanya, sambung wakil rakyat asal Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kota Bogor, terkait di Kota Bogor semestinya sekolah negeri diberadakan di tiap kelurahan.
“Di Australia, sekolah negeri terbilang banyak jadi bisa menjawab persoalan zonasi atau kekurangan sekolah. Tak hanya itu, di negeri tersebut, pihak sekolah kerap meminta bukti penyewaan sekurangnya dua tahun untuk memastikan siswa tinggal di daerah tersebut. Dan, orang tua juga diminta untuk menandatangani perjanjian dengan pihak sekolah bahwa bila mereka ditemukan pindah dari zona lokasi maka anak mereka juga harus pindah sekolah,” lanjut Lania.
Sistem zonasi, masih menurutnya, tak buruk. Beberapa hal yang harus dibenahi penuturannya yakni distribusi dan kualitas guru, persebaran sekolah, dan infrastruktur pendidikan yang harus merata dalam penerapan sistem zonasi.
Dia berujar, sarana atau prasarana fasilitas pendidikan merupakan hal wajib diberadakan agar tak membuat jarak stigma sekolah unggulan di masyarakat. Karena, masalah pendidikan bermula dari fasilitas pendidikan yang tak merata sehingga memicu siswa untuk mendaftar di sekolah-sekolah yang fasilitasnya lengkap.
“Bagaimanapun juga, penerapan sistem zonasi merupakan niat baik dan upaya pemerintah mengimplementasikan program nawa cita. Jadi, system zonasi sudah terbilang baik. Hanya perlu perlu dievaluasi dan dilakukan perbaikan secara komprehensif. Misalnya, memprioritaskan membangun sekolah pada kelurahan yang sama sekali belum memiliki sekolah. Atau, daerah padat penduduk namun minim jumlah sekolah,” tuntasnya. (Eko Okta Ariyanto)