Salam 4 Jari, Kode Signal for Help Dunia Internasional Berlanjut ke Rena Da Frina untuk Kota Bogor Esok

65
Eko Okta Ariyanto

DI BANYAK NEGARA, ada beragam cara untuk meminta bantuan saat seseorang mengalami pelecehan atau tindak kekerasan. Selain menggunakan panggilan telepon, komunikasi non-verbal yang kerap digunakan empat jari, terutama saat berada di ruang publik.

Pada era digital saat ini, simbol empat jari telah menjadi bahasa universal untuk menyampaikan pesan penting, terutama dalam situasi darurat. Sinyal bahaya empat jari merupakan isyarat satu tangan sederhana yang dapat digunakan untuk mengomunikasikan secara diam-diam perlunya bantuan ketika terjadi kasus kekerasan berbasis gender.

Gerakan ini popular dengan sebutan Signal for Help, diinisiasi oleh Women's Funding Network (WFN) dan Canadian Women's Foundation (CWF). Tujuannya, untuk mengatasi peningkatan kekerasan dalam rumah tangga mencakup berbagai bentuk, termasuk finansial, emosional, dan psikologis.

Kampanye ini dianggap sangat penting untuk mewaspadai tanda-tanda bahaya. Signal for Help cukup mudah dipraktikkan, yakni dengan menyelipkan ibu jari ke telapak tangan, mengangkat empat jari ke atas dengan telapak tangan menghadap ke depan, lalu melipat jari ke bawah untuk membentuk kepalan.

Dari sejumlah sumber literasi, memang tidak ada catatan sejarah yang pasti tentang asal-usul kode 4 jari. Namun, popularitasnya meningkat seiring mengantisipasi terjadinya kekerasan atau pelecehan perempuan.

Di Indonesia pada pemilihan presiden 2024 lalu, gerakan salam 4 jari sempat muncul dengan latar belakang keyakinan pilihan. Saat itu, salah satu Capres Anies Baswedan menyebut bahwa gerakan dengan salam 4 jari merupakan sebuah gerakan yang diinterpretasikan sebagai gerakan perubahan.

Di Kota Bogor, salam empat jari kembali popular jelang pilkada. Apakah itu juga merupakan gerakan Signal for Help seperti di Kanada? Memang tidak ada kaitannya, namun mungkin juga sedikit ada persamaan. Jika di Kanada, salam empat jari sebagai tanda isyarat sederhana yang dapat digunakan untuk mengomunikasikan secara diam-diam perlunya bantuan ketika terjadi kasus kekerasan berbasis gender.

Nah, di Kota Bogor, ada salah satu calon kepala daerah (cakada) perempuan. Ia adalah Rena Da Frina. Soal komitmen perjuangan, Rena Da Frina yang pernah menjabat lurah, camat hingga Kadis PUPR Kota Bogor ini juga mengedepankan naluri wanitanya untuk menjadi ibu untuk semua kalangan jika nantinya terpilih sebagai kepala daerah di kota hujan.

Komitmen Rena, ia siap ditagih janjinya mewujudkan Kota Bogor yang ramah perempuan dan anak. Tak hanya itu, wanita usia kepala ‘empat’ yang sejak menjabat lurah gemar blusukan tersebut memiliki mimpi ingin menjadikan Kota Bogor menjadi tempat ramah pendidikan bagi warga pra sejahtera.

Hingga saat ini, masih banyak cerita terdengar soal ijazah siswa SMA atau SMK yang ditahan karena menunggak, serta karena status sosialnya miskin. Sejauh ini, masih terdengar keluhan, mahalnya biaya sekolah swasta hingga impian yang tak pernah tercapai dari keluarga tak mampu ingin anaknya sarjana.

Dan, seperti mengulang cerita, sudah 10 tahun, SD juga SMP negeri tak pernah bertambah untuk menjawab kebutuhan zonasi di Kota Bogor. Malah di Kota Bogor, sebagai gantinya, taman kota yang makin semarak juga narasi pindah ibukota dilingkungan ring road. Sampai saat ini pun, masih banyak yang berharap para wanita yang menjadi kepala keluarga atau janda harus berjuang sendiri menjemput kesejahteraan keluarganya tanpa ada uluran pemerintah daerah yang mewakili negara, dan lainnya.

Lalu, apakah nomor urut 4, Cawalkot Rena Da Frina yang berpasangan dengan Cawawalkot Teddy Risandi juga berarti ‘Signal for Help’? Tafsir itu kembali pada persepsi masing-masing. Yang pasti, gerakan empat jari ‘Signal for Help’ seperti yang sudah digencarkan dunia internasional terkait gender perempuan, juga perlu digelorakan di Kota Bogor.

Perempuan untuk perempuan. Lelaki dukung perempuan. Karena, sejatinya, naluri kasih perempuan yang paling mengerti menyejahterakan keluarga pra sejahtera dimanapun berada, juga untuk hari esok Kota Bogor. Membangun untuk sejahterakan rakyatnya, bukan membangun untuk memperbanyak proyek infrastruktur. Demikian yang pernah disampaikan Rena Da Frina. Salam empat jari.

(Penulis : Rakyat Jelata Kota Bogor, Eko Okta Ariyanto. SE)

         

          

 

SHARE

KOMENTAR