Aartreya - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan saat ini tengah menulis ulang sejarah Republik Indonesia (RI) yang rencananya akan dipublikasikan pada Minggu (17/8/2025). Penulisan ulang sejarah Indonesia nantinya akan menghasilkan narasi versi baru.
Kekhawatiran potensi pembelokan sejarah diungkap aktivis perempuan kota hujan, Suparti. Dia mengkhawatirkan akan terjadi pengaburan alur cerita seperti yang dulu pernah terjadi pada era Orde Baru.
“Pada masa Orde Baru berkuasa, pernah dilakukan “de-Soekarnoisasi”. Tujuannya, menghilangkan jejak Bung Karno dari ingatan bangsa Indonesia. Saat itu, Nugroho Notosusanto mengajukan pendapat bahwa Mohammad Yamin-lah yang “menemukan” Pancasila. Padahal tercatat dalam sejarah, Soekarno lah yang meggali Pancasila, yang akhirnya hingga kini 1 Juni diperingati Hari Pancasila,” kata wanita yang juga kader PDI Perjuangan Kota Bogor saat diwawancarai Aartreya, pada Senin (9/6/2025).
Era Orba dengan kepemimpinan Soeharto, dimulai 1970 peringatan Hari Lahir Pancasila memang pernah dilarang oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Dan, baru pada 2016 melalui Keputusan Presiden (Kepres) No 24 Tahun 2016, ditetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila sekaligus hari libur nasional.
“Penulisan ulang sejarah ini memang harus diwaspadai. Harus dikawal! Kita, atau bangsa ini tak ingin sejarah kembali diputarbalikan seperti masa Orba lalu. Apalagi, mengingat penulisannya terkesan mengabaikan azas keterbukaan informasi publik,” ucap Suparti.
Dia melanjutkan, penulisan ulang sejarah Indonesia oleh penguasa yang tengah memerintah bukan tak mungkin berpotensi mengaburkan fakta tentang pelanggaran HAM berat di masa lalu yang memiliki indikasi negatif terhadap seorang tokoh. atau peristiwa tertentu.
“Sebetulnya apa ada yang salah dengan sejarah saat ini sehingga harus dibuat penulisan ulang kembali? Jika tidak ada kesalahan sejarah saat ini, pertanyaannya ngapain juga harus ditulis ulang? Dan, kalau ditulis ulang tujuannya untuk apa?,” ucapnya.
“Lalu, siapa yang akan mengambil keuntungan dari penulisan ulang ini? Kalau keuntungannya untuk rakyat, sejauh ini saya sebagai rakyat tak merasa ada yang salah dengan sejarah saat ini yang sudah saya ketahui dan saya pelajari dulu di bangku sekolah. Terus, penulisan ulang sejarah itu buat apa?,” tandas Suparti.
Suparti yang mengemukakakn pendapatnya atas nama aktivis perempuan dan juga bagian dari rakyat Indonesia secara lugas tak berharap penulisan ulang sejarah nantinya menjadi indoktrinasi melalui tafsir tunggal sejarah bangsa.
“Karena itu tidak hanya berpotensi menghapus peran tokoh atau pejuang dalam peristiwa penting di masa lalu, tetapi juga menyulitkan proses pengungkapan kebenaran terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia. Jadi, penulisan sejarah ini harus dikawal agar tak dibelokan,” ucap kader banteng kota hujan yang aktif menggelar kegiatan rutin Jumat Berkah di sejumlah lokasi dan rutinitas senam. (Eko Okta)