
Aartreya – Pada 10 Januari 2025 ini, PDI Perjuangan yang dinahkodai Megawati Soekarnoputri akan merayakan hari jadinya ke-52 tahun. Perayaan HUT PDI Perjuangan ini selalu mengusung tema khusus yang berkaitan dengan sejarah.
Seperti pada tahun 2025 ini, HUT PDI Perjuangan mengangkat tema tentang perlawanan terhadap orde baru. Pemilihan tema tersebut berkaitan dengan perjalanan panjang PDI Perjuangan yang sudah ada sejak tahun 1927.
Dikutip dari instagram DPP PDI Perjuangan, 52 tahun merupakan sejarah perjuangan yang panjang. Perjuangan yang hingga saat ini, terus, dan terus diperjuangkan untuk mewujudkan Indonesia Merdeka yang sejati-jatinya. Simbol api nan tak kunjung padam dan semangat Satyam Eva Jayate, jadi suatu energi yang digerakkan oleh daya imajinasi dan cita-cita masa depan Bangsa Indonesia, Indonesia Raya.
Sebelum bernama PDI Perjuangan, juga PDI, perjalanan sejarah diawali tahun 1927. Urutan awal bermula dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno pada tanggal 4 Juli 1927. Selanjutnya, setelah 46 tahun PNI berdiri, pada tahun 1972, PNI memutuskan untuk bergabung dengan beberapa partai seperti Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik.
Partai-partai tersebut melakukan kesepakatan untuk bersatu dan membuat nama baru menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Keputusan itu terjadi pada tanggal 10 Januari 1973.
“Perjalanan sejarah PDI di di Kota Bogor, diawali dengan kepemimpinan Ketua DPC Utoyo. Kemudian, penerus kepemimpinan Ketua DPC PDI Kota Bogor dilanjutkan Subarjo. Seterusnya, Ketua DPC PDI Kota Bogor selama 6 bulan sempat diketuai JP Butarbutar,” kata politisi senior DPC PDI Perjuangan, Jefri Ricardo kepada Aartreya pada Kamis (2/1/2025).
Berlanjut, Ketua DPC PDI Kota Bogor Salmiar Ningsih. Saat terjadi dualisme di PDI, Ketua DPC PDI Kota Bogor, sebelum Bernama PDI Perjuangan, diketuai M Sahid,” imbuh Jefri, keterangan perjalanan sejarah PDI di Kota Bogor, juga disampaikan kader lawas, Yuke Ruhiyatman.
Memasuki tahun 1993, politik pecah belah dilakukan penguasa Orde Baru era itu. Pembentukan awal PDI diwarnai dengan konflik internal yang semakin memuncak karena adanya intervensi dari pemerintah. Persoalan itu akhirnya menemukan solusi dengan mengusung Megawati Soekarnoputri menjadi ketua umum (Ketum) PDI.
Namun, dukungan untuk Megawati ternyata tidak sejalan dengan keinginan pemerintah Soeharto, sehingga diterbitkan surat larangan saat Kongres Luar Biasa (KLB) 2-3 Desember 1993 di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur.
Secara de facto Megawati dinobatkan sebagai Ketum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI periode 1993-1998. Lalu, pada Musyawarah Nasional (Munas) 22-23 Desember 1993 di Jakarta, Megawati Soekarnoputri dikukuhkan menjadi Ketum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI secara de jure.
Konflik berlanjut, meski Megawati sudah dikukuhkan. Hingga, diadakan Kongres pada 22-23 Juni 1996 di Asrama Haji Medan. Pendukung Megawati melakukan unjuk rasa di tanggal 20 Juni 1996 dan terjadi bentrok dengan aparat keamanan.
Seterusnya, pada 15 Juli 1996 pemerintah Soeharto mengeluarkan keputusan yang mencengangkan yakni mengukuhkan Suryadi sebagai Ketum DPP PDI. Keputusan tersebut memancing kemarahan pendukung Megawati hingga menggelar Mimbar Demokrasi pada 27 Juli 1996 di halaman kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta Pusat.
Di sela-sela itu, muncul rombongan berbaju merah kubu Suryadi dan terjadi bentrok dengan pendukung Megawati. Kejadian itu dikenal dengan nama Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli atau peristiwa Kudatuli. Kader PDI Kota Bogor dipimpin M Sahid bersama para aktivis mahasiswa asal Universitas Pakuan mengenakan ikat kepala GAS (Gerakan Anti Suryadi / Gerakan Anti Soeharto) saat itu juga turut hadir di gelaran mimbar bebas selama sepekan di Kantor DPP PDI Jalan Diponegoro, Jakarta.
Tuntas peristiwa Kudatuli, PDI dibawah pimpinan Suryadi mengalami nasib miris, sebab hanya mendapatkan 11 kursi di DPR. Hal itu karena dampak Soeharto lengser pada reformasi 1998.
Sebaliknya, PDI pimpinan Megawati semakin kuat di saat Suryadi melemah. Hingga akhirnya, Megawati diputuskan sebagai ketum DPP PDI periode 1998-2003 pada Kongres ke-V di Denpasar, Bali. Saat itulah nama PDI Perjuangan tercipta karena karena ingin mengikuti pemilihan umum.
Dalam Pemilu 1999 usai tumbangnya Orde Baru, PDI Perjuangan sebagai partai baru saat itu menjadi pemenang dengan meraih 35.689.073 suara dan 153 kursi di DPR RI. Sementara, di Kota Bogor, PDI Perjuangan juga menjadi pemenang pemilu dengan meraih 12 kursi.
“Terhitung usai reformasi, dan setelah menjadi nama PDI Perjuangan pada tahun 1999, Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Bogor yakni M Sahid. Kemudian, Tb Raflimukti.. Selanjutnya, Untung Maryono. Lalu, Dadang Iskandar Danubrata, hingga saat ini,” tutur Jefri Ricardo yang pernah menjabat anggota DPRD Kota Bogor periode 1999-2004.
Tahun 2025, PDI Perjuangan juga akan menggelar kongres. DPC PDI Perjuangan Kota Bogor menyatakan sikap pollitiknya bahwa seluruh kader di kota hujan masih solid untuk mendukung Megawati Soekarnoputri kembali menjadi Ketua Umum PDIP pada Kongres partai di 2025. Hal itu disampaikan Ketua DPC PDI Perjuangan Dadang Iskandar Danubrata. Menurut dia, serangan yang saat ini datang ke partai banteng bermoncong putih itu justru membuat kader PDI Perjuangan kota hujan semakin solid
“Kita tetap semangat. Solid dan fatsun juga siap dukung Ketua Umum Ibu Hj Megawati Soekarnooputri sebagai ketum kembali. Dan,, tetap fokus juga berjuang untuk kesejahteraan rakyat,” ucap Dadang melalui sambungan telepon. (Eko Okta)