Aartreya – ‘MK’ ternyata menilai putusan Mahkamah Konsitutusi cacat hukum. Tapi, ‘MK’ yang dimaksud bukan kepanjangan dari Mahkamah Konistusi. Melainkan, aktivis 98 dari Barikade 98, Mulyadi, yang akrab dipanggil ‘MK’ atau ‘Mas Kimung’ olah kalangan dekatnya.
Kepada media online ini, Mulyadi menilai putusan akhir MK terkait Pilpres (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) cacat hukum dan merusak demokrasi karena adanya fakta hukum kecurangan pemilu 2024 seolah jadi ‘kebenaran’ tunggal.
“Hal itu menyimpulkan, adalah bukti nyata kegagalan MK sebagai penjaga kedaulatan rakyat dan konstitusi. Sebab, terdapat dissenting Opinion tiga hakim MK yang menegaskan bahwa telah terjadi kecurangan pemilu secara Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM),” kata Mulyadi atau ‘MK’ pada Selasa (23/4/2024).
Ia berujar, putusan akhir tersebut menunjukkan bahwa MK tak lebih dari perpanjangan penguasa yang bertugas melegitimasi kepentingan kepentingan kekuasaan dan dinasti politik keluarga.
“Jelas diketahui, hakim konstitusi Enny Nurbaningsih dan Saldi Isra menyampaikan pendapat berbeda, yang intinya tidak setuju pendapat lima hakim lainnya yang menolak dalil-dalil permohonan Anies-Muhaimin,” tutur aktivis 98, Front Pemuda Penegak Hak Rakyat (FPPHR).
Mulyadi meneruskan, sejalan dengan sikap politik PDI Perjuangan bahwa MK tak membuka ruang untuk keadilan yang hakiki. Disamping itu, MK juga dianggap melupakan kaidah etika dan moral. Saat ini, sebut Mulyadi, harapannya tinggal PTUN, sebagaimana yang telah didaftarkan tim hukum PDI Perjuangan terkait gugatan terhadap KPU ke PTUN, pada Selasa (2/4/2024) lalu.
“Saya sampaikan kehawatiran yang sama, ke depan, praktik kecurangan pemilu yang dilakukan penguasa akan dianggap lumrah. Dan, saya was-was mendatang, politik dinasti, praktik penggunaan sumber daya negara dan instrumen negara dianggap wajar asal dilakukan penguasa. Yang jelas, demokrasi dan reformasi Indonesia saat ini tengah terkoyak,” tuntasnya. (Eko Okta)