Aartreya – Pasca libur Lebaran, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan membahas dan mengesahkan Revisi Undang-Undang (UU) Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Padahal, baru saja DPR mengesahkan Revisi UU Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menimbulkan kekhawatiran rakyat terhadap lahirnya kembali dwifungsi TNI.
Sebelumnya, desakan rakyat meluas di beberapa daerah terkait pembatalan UU TNI. Demonstrasi menolak pengesahan revisi Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004, yang kini telah disahkan menjadi undang-undang, berlangsung di beberapa kota. Diantaranya, unjuk rasa terjadi di Jakarta, Bandung, Malang hingga Kota Bogor.
Pembahasan revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia alias RUU Polri berpotensi menimbulkan polemik seperti yang terjadi pada RUU TNI.
Menukil bbc.com, Terdapat 12 persoalan dalam berbagai usulan pengaturan baru dalam RUU Polri, menurut kajian YLBHI :
Pasal 7 dan 10, kata Isnur, berpotensi mengaburkan sistem pertanggungjawaban para pejabat kepolisian. Karena dua pasal itu tidak mengatur susunan organisasi dan tata kerja Polri secara ketat, Isnur menyebut para pejabat polisi dapat saling melempar tanggung jawab.
Pasal 14 ayat (1) memperluas kewenangan Polri, bahkan berisiko memicu konflik dengan lembaga lain, kata Isnur. Pengaturan ini menambah lima tugas baru polisi sehingga total berjumlah 16 tugas.
Pasal 14 ayat (1) huruf c mengatur bahwa Polri dapat "melaksanakan tugas lain". Isnur menyebut pengaturan itu dapat membuka polisi mengerjakan urusan di luar tugas utamanya.
Seperti dalam liputan BBC News Indonesia sebelumnya, Polri sejak Januari lalu menggelar proyek penanaman jagung seluas 1,7 juta hektare. Proyek itu dikritik karena tak sesuai dengan tugas utama polisi di bidang hukum, tapi disangkal pejabat kepolisian dengan alasan "program pangan adalah bagian dari upaya melayani masyarakat".
Pasal 14 ayat (1) huruf m, kata Isnur, diatur multitafsir sehingga polisi seolah bisa memberi pelayanan kepada masyarakat tanpa batas-batas yang jelas. "Polri dapat kian leluasa melakukan bisnis jasa atas nama pelayanan masyarakat," kata Isnur.
Pasal 14 ayat (1) huruf a disebut Isnur membuka pintu bagi polisi untuk berbisnis dengan memberi jasa penjagaan, pengawalan, dan patroli.
Pasal 14 ayat (2) huruf c memungkinkan Polri berbisnis dalam proyek smart city (kota cerdas) dengan pendekatan sekuritisasi.
Pasal 14 ayat (1) huruf o memberi diskresi yang besar kepada polisi untuk melakukan penyadapan, padahal undang-undang yang mengatur batas-batas penyadapan belum dibuat dan disahkan, kata Isnur.
Isnur menilai pengaturan ini seperti mengistimewakan Polri karena penyidik KPK harus mendapat izin dari Dewan Pengawas KPK sebelum melakukan penyadapan.
Pasal 14 ayat (1) huruf g berkaitan dengan pengaturan pada huruf o, bahwa Polri dapat mengawasi dan membina penyidik di lembaga lain. Isnur berkata, ketentuan ini akan menjadikan Polri sebagai "penyidik super".
Lebih dari itu, pengaturan ini juga disebut Isnur memberi kewenangan pada polisi untuk membina Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa. Isnur menyebut ketentuan ini berpotensi mengulang "sejarah kelam tahun 1998" saat PAM Swakarsa terlibat dalam sejumlah kerusuhan.
Pasal 16 ayat (1) huruf n memberi kewenangan Polri untuk mengangkat penyidik pegawai negeri sipil. Isnur berkata, pengaturan itu memberi lampu hijau bagi kepolisian untuk mengintervensi rekrutmen penyidik di lembaga lain, termasuk KPK.
Pasal 16 ayat (1) huruf p, kata Isnur, membuat mekanisme seolah-olah penyidik dari lembaga lain, termasuk KPK, harus mendapat surat pengantar dari kepolisian, sebelum menyerahkan berkas penyidikan kepada jaksa.
"Pengaturan ini mengganggu independensi KPK dan lembaga lain yang sebenarnya tidak membutuhkan rekomendasi kepolisian dalam meneruskan perkara ke kejaksaan," kata Isnur.
Pasal 16 ayat (1) huruf q memberi kewenangan Polri untuk "melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri". Kewenangan itu, menurut Isnur, berpotensi menekan kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat.
Pasal 16A huruf d memberi kewenangan polisi untuk mencegah, menangkal, dan menanggulangi "ancaman, termasuk keberadaan dan kegiatan orang asing demi kepentingan nasional".
Meski terhadap frasa "dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia", Isnur khawatir pasal ini dapat membatasi solidaritas dan bantuan orang-orang non-WNI dan lembaga internasional terhadap situasi di Indonesia.
Pasal 16A dan 16B memungkinkan polisi menagih data intelijen dari lembaga telik sandi lain seperti BIN, BAIS, dan BSSN, kata Isnur.
Tanpa batasan yang jelas, Isnur menyebut kewenangan mengumpulkan data intelijen "atas dasar kepentingan negara" bisa menyimpangi hak-hak dasar warga.
Pasal 30 menaikkan batas usia pensiun menjadi 60-62 tahun bagi polisi serta 65 tahun bagi polisi yang memegang jabatan fungsional. Isnur menyebut pengaturan ini dapat memicu penumpukan jumlah perwira tinggi dan menengah.
Sumber : bbc.com.nesto