Kritik Kebijakan Distribusi Gas 3 Kg di Pangkalan Resmi, DID : Berdampak Langka dan Sengsarakan Rakyat!

68
Wakil Ketua DPRD Kota Bogor, Dadang Iskandar Danubrata

Aartreya – Banjirnya penampakan warga antri panjang di pangkalan resmi Pertamina di sejumlah lokasi untuk membeli gas melon 3 kg, serta keluhan langka membuat Wakil Rakyat DPRD Kota Bogor, Dadang Iskandar Danubrata prihatin.

Sulitnya diperoleh gas 3 kg yang menjadi kebutuhan vital keseharian masyarakat, tentunya mengancam keperluan pokok keluarga terkait makan dan minum. Bahkan, berdampak usaha kecil kuliner di sejumlah tempat Kota Bogor memilih menutup dagangannya. Wakil Ketua DPRD Kota Bogor yang juga Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Bogor, Dadang Iskandar Danubrata melontarkan kritik keras.    

“Kebijakan pemerintah terkait distribusi gas melon 3 kg yang baru, di mana gas melon tidak lagi boleh dijual di warung-warung dan hanya boleh didistribusikan melalui pangkalan, sangat disesalkan. Alih-alih mempermudah akses masyarakat terhadap kebutuhan pokok ini, kebijakan tersebut justru menimbulkan kelangkaan dan memperburuk kondisi rakyat, terutama kalangan menengah ke bawah,” kata Dadang melalui rilisnya, pada Senin (3/2/2025).  

Kebijakan ini, sambungnya, patut dikritisi karena terkesan tidak mempertimbangkan realitas kehidupan sehari-hari masyarakat. Politisi yang akrab disapa DID menyampaikan, kebijakan ini menciptakan ketidaknyamanan dan kesulitan bagi masyarakat.

“Sebelumnya, warung-warung menjadi titik distribusi yang paling dekat dengan masyarakat. Dengan adanya larangan penjualan gas melon 3kg di warung, masyarakat kini harus pergi ke pangkalan yang lokasinya seringkali jauh dan tidak mudah dijangkau,” tukasnya.

“Bagi masyarakat di daerah terpencil atau mereka yang tidak memiliki kendaraan pribadi, hal ini menjadi beban tambahan yang menyulitkan. Harus bayar ojek atau yang lainnya.  Akibatnya, banyak orang terpaksa mengantri berjam-jam, tidak jarang warga harus hujan-hujanan saat mengantri, sehingga berdampak sakit karenanya. Bahkan, di Pamulang, Tangerang Selatan, sampai meninggal karena kelelahan mengantri,” ucap Dadang.

Yang parah, lanjutnya, setelah lama mengantri tidak mendapatkan gas sama sekali karena stok habis.

“Kebijakan ini justru memperparah kelangkaan gas melon 3k. Dengan hanya mengandalkan pangkalan sebagai titik distribusi, kapasitas penyaluran menjadi terbatas. Pangkalan-pangkalan tersebut seringkali tidak mampu menampung permintaan yang tinggi, terutama di daerah padat penduduk. Akibatnya, stok gas melon 3kg cepat habis, dan masyarakat kesulitan mendapatkan pasokan,” tuturnya.

Dadang berujar, situasi ini diperburuk oleh kurangnya antisipasi pemerintah dalam menyediakan infrastruktur dan logistik yang memadai untuk mendukung kebijakan baru ini.

“Kebijakan ini tidak mempertimbangkan peran warung sebagai tulang punggung distribusi di tingkat akar rumput. Warung-warung kecil telah lama menjadi ujung tombak distribusi gas melon 3kg, terutama di daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh pangkalan resmi dihilangkan perannya,” imbuhnya.

Dengan menghilangkan peran warung, sambung Dadang, pemerintah justru memutus mata rantai distribusi yang sudah terbukti efektif selama ini. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut dibuat tanpa kajian mendalam terhadap realitas sosial dan ekonomi masyarakat.

“Padahal beberapa warung sendiri bisa jadi solusi buat warga yang tak mampu, selain dekat rumah,  warga juga bisa mengambil dulu gas melonnya dan bayar belakangan kalau sudah berlangganan (dihutang),” lanjut Dadang.

Kebijakan ini, analisa dia, berpotensi memicu praktik penimbunan dan pasar gelap. Sebab, dengan keterbatasan akses ke pangkalan resmi, tidak menutup kemungkinan munculnya oknum-oknum yang memanfaatkan situasi ini untuk menimbun gas melon 3kg dan menjualnya dengan harga lebih tinggi di pasar gelap.

“Hal ini akan semakin memberatkan masyarakat, terutama mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi. Dampak dari kebijakan ini sangat terasa di tingkat masyarakat. Ibu-ibu rumah tangga, misalnya, harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengantri di pangkalan, sementara pedagang kecil kehilangan sumber pendapatan dari penjualan gas melon 3kg,” tukas Dadang.

Selain itu, ucap Dadang, masyarakat yang tidak mampu mendapatkan gas terpaksa beralih ke sumber energi alternatif yang lebih mahal atau kurang aman, seperti minyak tanah atau kayu bakar.

“Hal ini tidak hanya memberatkan ekonomi keluarga, tetapi juga berdampak negatif pada kesehatan dan lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera mengevaluasi kebijakan ini dan mempertimbangkan langkah-langkah perbaikan. Beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan antara lain mengembalikan peran warung sebagai titik distribusi gas melon hingga meningkatkan jumlah pangkalan resmi,” tuntasnya. (Eko Okta)  

SHARE

KOMENTAR