Menolak Lupa dan Pantang Dilupakan!, Saksi Kudatuli Kimung : Bandit Orba Pengadu Domba Politik harus Dijerat Hukum

838
Peritiswa kerusuhan 27 Juli 1996 di Jalan Diponegoro jakarta (Foto : Istimewa)

KOTA BOGOR – Tragedi politik Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli), saat penguasa Orde Baru dengan kepemimpinan Soeharto saat itu, pantang dilupakan dan tak boleh dilupakan. Hingga saat ini, persitiawa tersebut masih menjadi sejarah kelam HAM. Pasalnya, para pelakunya belum tersentuh hukum. Demikian disampaikan Mulyadi atau Kimung yang kini menjadi bagian Badan Pemenangan (BP Pemilu) DPD PDI Perjuangan Jawa Barat.

“Hingga saat ini, saya masih terobsesi dengan Orba. Tak pernah percaya politisi Orba, atau mereka yang dulu pernah jadi antek Orba. Dan, saya anti Orba-isme. Karena, dahulu pernah ikut melewati pasang surut sejarah saat pecah Kudatuli di Jalan Diponegoro, Jakarta,” kenang pria berperawakan atletis kepada media online ini, Selasa (26/7/2022).

Lelaki yang juga Sekretaris Barikade 98 Jabar ini melanjutkan, jelang adu domba politik di tubuh PDI (sebelum PDI Perjuangan.red) saat itu ia masih duduk di bangku kuliah Universitas Pakuan, Bogor. Beberapa nama aktivis PDI yang ketika ikut melakukan perlawanan serta memastikan pro Mega ketika itu, diantaranya Tb Raflimukti, Jefri Ricardo, Karyawan Faturahman, Rudi Harsa Tanaya.

“Saat itu, saya berada di barisan mahasiswa Bogor yang selalu mengenakan ikat kepala bertuliskan  GAS dengan kepanjangan Gerakan Anti Soeharto atau Gerakan Anti Suryadi. Beberapa kawan asal Bogor yang hadir ketika itu, Fery Ariyanto, Kodir, Eko Octa, hingga Fery Hamzah. Jelang Kudatuli, hampir setiap hari kami menggelar mimbar bebas secara bergatian bersama kawan-kawan PDI asal beberapa daerah, juga PRD, di Kantor PDI. Isi orasi kami, semuanya mengecam Soeharto, Suryadi juga para gerombolan Orba,” tuturnya.

Masih menurutnya, dua hari jelang meletus Kudatuli, ia dan rombongan asal Bogor pulang.

“Saat itu bersama almarhum M Sahid, Toga Hutabarat, Lismo Handoko dan lainnya. Kami pulang menggunakan KRL Jabodetabek ke sekretariat FPPHR di Gang Toyib, Ciheuleut, setelah sepekan menginap di kantor PDI Diponegoro. Dua hari setelah itu, kami dapat kabar Kantor PDI Pro Mega diserang. Saya dan kawan-kawan kembali berangkat ke Jakarta, ikut melakukan aksi perlawanan,” ucapnya.

Bagi Kimung, peristiwa Kudatuli masih menyisakan persoalan. Sebab, dari tahun ke tahun, penjahat HAM pengatur skenario politik adu domba tak pernah terjerat hukum.

“Peristiwa Kudatuli, disana ada korban, ada darah, ada tangan jahat politik yang sama sekali tak diproses hukum. Karena itu, Kudatuli setiap tahunnya tak harus jadi peringatan, tapi harus disikapi,  dengan mendesak pemerintah menunaikan janjinya memproses hukum pelakunya. Karena, para dalangnya merupakan pelanggar HAM berat,” tukasnya.

“Tak hanya itu, Kudatuli momen lembar kelam sejarah, kerusuhan massa pertama di ibukota, sejak peristiwa rusuh Malari 1974 dan rusuh Lapangan Banteng 1982. Dan Kudatuli juga menjadi barometer perlawanan aktivis prodem melawan dan menurunkan Soeharto ketika itu. Yang selanjutnya, terbidani lah reformasi. Saya, bagian dari sekian banyak kawan-kawan yang jadi saksi sejarah, minta agar pelaku atau penjahat HAM terkait kasus Kudatuli segera diadili,” tandasnya.          

Sebagai informasi, pecahnya Kudatuli karena adu domba yang dilakukan tangan Orba era Soeharto berkuasa. PDI Pro Suryadi yang didukung Orba, berbenturan dengan PDI Pro Mega dan berebut kantor pusat PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta.

Saat itu, Megawati Sukarnoputri merupakan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PDI hasil musyawaran nasional PDI Jakarta. Sementara, kubu Soerjadi, ketua umum hasil kongres di Medan.

Sabtu pagi, 27 Juli 1996, sejumlah pengikut Soerjadi menyerbu kantor PDI. Pengikuti Megawati mencoba bertahan. Namun, kubu Suryadi yang didukung aparat saat itu langsung merangsek kantor PDI, korban pun berjatuhan, bahkan tak sedikit yang meninggal dunia namun datanya disembunyikan.     

Huru hara pun terjadi. Makin siang banyak pengikut Megawati berdatangan. Mereka berkumpul lebih banyak dan bentrok dengan aparat. Rusuh meruyak. Massa PDI, bahkan warga yang menonton dikejar aparat sampai ke belakang kawasan bioskop Megaria. Ketika kerusuhan ini terjadi, Sutiyoso menjabat Pangdam Jakarta Raya, sementara Susilo Bambang Yudhoyono menjabat kepala staf Kodam Jaya. (Octa)

SHARE

KOMENTAR