Aartreya – Salah satu musuh utama dalam setiap penyelenggaraan pesta demokrasi, baik nasional maupun lokal di Indonesia adalah praktek politik uang. Istilah politik uang dimaksudkan sebagai praktek pembelian suara pemilih oleh peserta pemilu, maupun oleh tim sukses, baik yang resmi maupun tidak, biasanya sebelum pemungutan suara dilakukan.
Melalui politik uang, pemilih kehilangan otonominya untuk memilih kandidat pejabat publik melalui pertimbangan rasional, seperti rekam jejak, kinerja, program maupun janji kampanye karena memilih kandidat hanya karena pemberian uang belaka.
Melansir kata data.co.id, pembagian amplop merupakan ciri-ciri politik uang. Direktur Eksekutif Indikator Burhanuddin Muhtadi mengatakan politik uang merupakan mobilisasi pemilih dengan cara memberikan uang, hadiah, atau barang agar mereka mencoblos sang pemberi dalam pemilu.
Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah itu menambahkan, politik uang terbagi menjadi dua. Pertama, jual-beli suara ritel (vote buying). Strategi yang dikenal sebagai “serangan fajar” ini bisa terjadi sebelum pemilihan atau sesudah pemilih memberikan dukungannya.
Kedua, politik uang yang bersifat grosir, kolektif, dan jangka panjang. Politisi biasanya melakukan politik uang ini dengan menyalahgunakan kebijakan, seperti bantuan sosial, hibah, atau dana, untuk kepentingan pemilihan.
Secara teori, Burhanuddin menulis, sistem multipartai yang ekstrem merupakan salah satu faktor yang dipercaya mendorong politik uang. Untuk Pemilu 2024, terdapat 17 partai politik yang akan berpartisipasi memperebutkan 580 kursi di majelis rendah.
Selain itu, sistem pemilihan proporsional terbuka juga dianggap berkontribusi mendorong politik uang. Indonesia mulai menerapkan sistem ini pada 2009. Ini bermuara ke perubahan strategi kampanye ke berbasis kandidat dari berbasis partai dalam sistem proporsional tertutup.
“Akibatnya, tekanan caleg mengejar suara personal meningkat, sehingga taktik kampanye termasuk dengan menggunakan jual-beli suara sebagai bagian diferensiasi dengan caleg sesama partai makin menjadi pilihan,” tulis Burhanuddin dalam jurnal berjudul Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru yang terbit pada 2019.
Berdasarkan survei pasca-Pemilu 2014 dan 2019, Burhanuddin memperkirakan, antara 19,4% dan 33,1% pemilih terpapar pada politik uang. Kisaran ini “sangat tinggi” menurut standar internasional. (Sumber : Tulisan Dzulfiqar Fathur Rahman ditayangkan katadata.co.id)