Di Mata Kader Banteng Kota Bogor, Kudatuli Bukti Kejahatan Berdarah Bandit Orba!

103
Kader PDI Perjuangan Kota Bogor saat hadiri peringatan Kudatuli di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta

Aartreya – Perwakilan DPC PDI Perjuangan Kota Bogor yakni Vayireh Sitohang, Eko Okta, Rianto Simanjuntak, Shane Hasibuan dan Abdul Latif ikut menghadiri peringatan 28 tahun peristiwa 27 Juli 1996 atau dikenal dengan Kudatuli pada Sabtu (20/7/2024). Wakil Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Bogor Vayireh Sitohang saat diminta pendapatnya menyampaikan, setuju pendapat Ketua DPP PDI Perjuangan Ribka Tjiptaning.

“Adalah benar yang dikatakan Mbak Ning -panggilan akrab Ribka Tjiptaning-, bahwa tanpa adanya peristiwa Kudatuli atau Kerusuhan 27 Juli 1996, tidak akan lahir Reformasi yang membawa Indonesia pada demokrasi serta kebebasan pers saat ini,” kata pria yang kerap dipanggil Bang Rinto.  

Melalui peringatan Kudatuli, lanjutnya, menjadi pemantik lahirnya iklim demokrasi sekaligus mengakhiri kejahatan politik Soeharto dan Orde Barunya.  

"Kudatuli merupakan lembar hitam sejarah bangsa terkait pelanggaran HAM yang dilakukan Soeharto. Dan, ini mengingatkan kita era Orba itu demokrasi terzolimi dan dikerangkeng. Hingga, akhirnya berlanjut lahirnya reformasi,” imbuh pria mantan aktivis GMNI tersebut.

Sementara, Wakil Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Bogor Eko Okta menyampaikan kenangannya semasa penekanan PDI dan kepemimpinan Megawati oleh pemerintahan Orde Baru rezim Soeharto. Ia menyebut beberapa nama tokoh asal Bogor yang hadir di kegiatan mimbar bebas di Kantor PDI Pro Mega Jalan Diponegoro, Jakarta. Diantaranya, mendiang M Sahid, Lismo Handoro, Toga Hutabarat. Serta, Mulyadi Kimung, Feri Batubara, Karyawan Faturahman, Albert, Jefri Ricardo hingga Raflimukti.     

“Saat itu 1996, bersama para pengurus PDI Pro Mega, Pak Sahid dkk, kami ikut hadir dan menginap di Kantor DPP PDI, Jalan Diponegoro. Masa itu, kami masih mahasiswa, datang menggunakan ikat kepala bertuliskan GAS yang artinya Gerakan Anti Soeharto atau Gerakan Anti Suryadi. Kami dari Kota Bogor, ikut berorasi di mimbar bebas yang digelar. Namun, dua hari sebelum meletus Kudatuli, rombongan dari Bogor, pulang,” tukasnya.

Secara lugas, Eko mengatakan, hingga saat ini dirinya paling phobi dengan Orde Baru.

“Orba dan Soeharto itu meninggalkan kenangan pahit di negeri ini. Ada banyak pelanggaran HAM yang tak pernah terungkap dan tak pernah diadili. Contohnya, seperti Kudatuli, kasus penembakan mahasiswa Trisaskti hingga penculikan mahasiswa, kasus pembakaran Yogya Dept Store yang terjadi di Jakarta era itu. Dan, masih banyak lagi lainnya. Siapa dalangnya? Sampai saat ini masih misterius,” tandasnya.

“Dan, yang perlu diwaspadai, kekinian lahirnya Neo Orba. Tak sedikit para bandit orba terkini beralih wajah menggunakan topeng seolah tangannya tak memiliki dosa berdarah sejarah. Kasus Kudatuli sampaikan pesan tak tersirat bahwa, ada banyak cerita luka sejarah anak bangsa di Indonesia ini yang dizholimi bangsa sendiri dan tak pernah terkuak siapa aktor intelektualnya. Juga, tak pernah berujung di pengadilan,” tuntasnya.

Sebelumnya, PDI Perjuangan menggelar diskusi dalam rangka mengenang 28 tahun peristiwa Kudatuli. Dalam acara ini, Ketua DPP PDI Perjuangan Ribka Tjiptaning mengatakan peristiwa Kudatuli merupakan peristiwa pengambilalihan paksa kantor DPP PDI yang dikuasai Megawati Soekarnoputri oleh massa pendukung Soerjadi. Peristiwa ini terjadi pada 27 Juli 1996.

"Itu sejarah yang tidak bisa dilupakan karena tidak ada Kudatuli atau tidak ada (peristiwa) 27 Juli maka tidak ada reformasi," ujar Ketua DPP PDI Perjuangan Ribka Tjiptaning.

Ia melanjutkan, Kudatuli menjadi tonggak dari reformasi. Adanya reformasi membuka peluang bagi anak bangsa untuk menjadi pemimpin.

"Kalau tidak ada reformasi, tidak ada anak buruh bisa jadi gubernur. Tidak ada reformasi, tidak ada anak petani bisa jadi bupati, wali kota. Tidak ada reformasi, tidak ada anak tukang kayu jadi presiden," tukasnya. (Nesto)

SHARE

KOMENTAR