Aartreya – Dalam acara bedah buku Merahnya Ajaran Bung Karno yang diselenggarakan oleh Universitas Trunojoyo Madura, Kamis (7/12/2023), Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman menggali ajaran Bung Karno dalam konteks dinamika politik kontemporer Indonesia menuju 2024.
Menurut Airlangga bahwa Bung Karno bersama dengan Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan Tan Malaka menegaskan sistem politik republik sebagai corak utama Indonesia Merdeka.
“Bahkan seperti yang ditegaskan oleh Bung Karno dalam Pidato Lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945 menguraikan bahwa dengan corak sistem republik maka tidak bisa seseorang yang menjadi Presiden kemudian otomatis diteruskan oleh anaknya menjadi kepala negara,” kata Airlangga.
Sehubungan dengan kondisi sekarang, sambungnya, maka arah perjalanan politik Indonesia telah mengingkari kesepakatan para pendiri republik (The Founders of Republic).
“Dimana keluarga khususnya anak dari presiden mendapatkan previledge (keistemewaan) melalui keputusan MK untuk memperoleh kesempatan menjadi wakil presiden,” ucapnya.
Pria alumnus Ph.D dari Murdoch University Australia bertutur, bahwa arah politik yang memperlihatkan menguatnya privilege (keistimewaan) dari keluarga pemimpin, bertentangan dengan nafas Pancasila seperti dikumandangkan oleh Bung Karno dalam Lahirnya Pancasila.
“Dimana beliau menyatakan bahwa Republik Indonesia yang akan dibangun jangan sampai mengagungkan satu orang, memberi kekuasaan pada satu golongan kaya maupun aristokrat. Namun Indonesia dimana negara ini adalah milik semua, semua untuk semua,” tuturnya.
Lontaran penyataan Sukarno ini menurut Airlangga menegaskan bahwa Republik Indonesia yang diperjuangkan oleh Sukarno berusaha membatasi kekuasaan karena itulah esensi dari Republik. Sementara keistimewaan maupun pemanfaatan hukum bagi kepentingan kekuasaan yang tengah terjadi adalah pengingkaran terhadap prinsip republik sebagai esensi dari Pancasila.
“Fenomena penciptaan politik dinasti melalui pemanfaatan institusi hukum ini juga memperlihatkan terjadinya krisis terhadap republik, dimana kekuasaan tak terbatas akan menjadi ancaman bagi fase mutakhir dari pembajakan atas demokrasi. Hal ini, menjadi saat bagi warga negara untuk membela Republik dan membela demokrasi yang diperjuangkan oleh para pendiri republic,” tuntasnya. (Fera Priyatna)