Peran Gus Dur dan Megawati Dibalik Perayaan Imlek di Indonesia

1602
Gus SDur dan Megawati

JAKARTA - Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan Presiden Megawati Soekarnoputri masing-masing memiliki peran di balik perayaan Imlek di Indonesia. Sejarah menyebutkan, Perayaan Imlek merupakan ‘oleh-oleh’ dari Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Presiden Megawati Soekarnoputri. Hal itu disampaikan Sejarawan Bonnie Triyana menjadi narasumber dalam agenda DPP PDI Perjuangan merayakan peringatan Tahun Baru Imlek 2021 dengan tajuk "Imlekan Bareng Banteng" di Jakarta, Jumat (12/2/2021).

Sebagaimana diketahui, Gus Dur mencabut larangan perayaan Imlek secara terbuka sebagaimana diatur dalam Inpres No 14/1967.

"Sementara Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Kepres No 19/2002 yang menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional," papar Bonnie Triyana.

Disampaikan Bonnie, pada 1 Juni 1945, Bung Karno menyatakan secara tegas dalam pidatonya bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme modern yang melampui sekat-sekat sempit identitas keagamaan, ras, dan etnisitas.

"Menurut Bung Karno, Indonesia adalah negeri untuk semua golongan yang dipersatukan oleh rasa senasib sepenanggungan dalam menghadapi kolonialisme dan berbagai jenis penindasan oleh manusia terhadap manusia lain, dan oleh sebuah bangsa terhadap bangsa lainnya," jelas Bonnie yang juga menjadi penyunting buku Revolusi Belum Selesai, berisi kumpulan pidato Presiden Soekarno.

Ia melanjutkan, kesadaran kebangsaan tumbuh semakin menguat sejak Ikrar Pemuda digaungkan pada 28 Oktober 1928, memperkokoh kesadaran kebangsaan yang telah dirintis sejak awal Abad ke-20.

"Kesadaran sebagai bangsa yang setara dengan bangsa lainnya itu merupakan sikap tegas menentang kebijakan rasialis pemerintah kolonial Belanda melalui Regeerings Reglement 1854 yang membagi masyarakat Hindia Belanda ke dalam segregasi rasial yakni: pertama, Golongan Eropa, kedua Timur Asing (Cina, Arab, India) dan ketiga Inlanders (bumiputera)," papar Bonnie.

Ikrar Pemuda 1928 menjadi tonggak historis penting dalam perwujudan penguatan kesadaran Keindonesiaan sebagai anti-tesis dari kesadaran pra-Indonesia yang masih terbelenggu diskriminatif dan rasialistis.

"Dengan demikian, politik identitas yang kerapkali dimainkan hingga hari ini merupakan wujud kesadaran pra-Keindonesiaan yang sarat bernuansa kolonial dan tak sesuai dengan jiwa kemerdekaan," tuntas Bonnie. (Nesto)

SHARE

KOMENTAR